Sudut di ujung ruangan sebelah kiri diisi oleh lapak-lapak yang eksteriornya terlihat eksotis. Bosnya seorang tante berrambut panjang yang suaranya sering melengking kalau memanggil pelayan. Di sana ada lapak pedagang steak yang dijagai oleh pedagang yang sering dikunjungi pacar bulenya. Lapak kedua pedagang yang menyediakan makanan Eropah, khususnya Perancis. Yang ketiga adalah lapak yang berjualan mangut ikan dan ayam asap; pedagangnya suka memejamkan mata ketika berbicara, mungkin karena sering kena asap ketika menyiapkan masakannya.
Sudut di ujung ruangan sebelah kanan terlihat agak seram. Dinding di empat lapak yang ada di sana digantungi dengan asesori yang tak lazim, mulai dari rantai-rantai besar, gari dan rangkasepeda motor trail; ada juga beberapa kaos t-shirt berwarna hitam dengan gambar Che Guevara. Koordinator klaster ini tampangnya mirip bos mafia; tiga anak buahnya yang lelaki dan satu yang perempuan kelihatan sangar-sangar. Keempat anak buahnya memanggil sang bos dengan istilah "Godfather". Kalau mereka sedang berkumpul dan kita kebetulan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan, kata yang sering berulang terdengar adalah kata "rampok". Entah apa maksudnya.
Tapi mungkin, hanya tampang mereka yang seram. Salah satu anak buahnya - yang lelaki kurus semampai - berdagang sop buntut sangat ramah dan gemar menyapa," Salam damai!" Anak buahnya yang lain tubuhnya agak kecil mirip Oki dalam komik "Oki dan Nirmala" di majalah Bobo; dagangannya nasi ayam, nasi gurih, nasi lemak dan nasi kandar. Yang satunya lagi, tinggi besar, berdagang aneka sea food, menu andalannya kepiting kenari saus tiram. Yang perempuan satu-satunya, sedikit gemuk, berjualan aneka sate bumbu pedas, mulai dari sate madura hingga sate padang, tapi tak ada sate kacang.
Kami suka mencicipi makanan dari berbagai counter yang ada di food court itu. Tidak semuanya aku suka; favoritku adalah colenak, pempek dan sate padang. Meskipun sering mampir di food court tersebut kalau lagi belanja di super market di seberangnya, aku tak selalu menyadari adanya perubahan yang terjadi di food court itu, karena setiap ke sana aku masih menemukan colenak, pempek dan sate padang.
Suatu hari aku menyadari hanya ada tinggal lima lapak pedagang yang masih beroperasi. Selain ketiga penjualan makanan favoritku, masih ada pedagang ikan dan ayam asap dan paguyuban pedagang soto . Pengunjung masih tetap ramai - malah mungkin tambah ramai - karena lapak yang ditinggal oleh pedagang yang tergusur digunakan untuk ekspansi oleh pedagang yang masih berjualan.
Jumat berikutnya, aku baru menyadari si penjual pempek pun sudah tidak di sana. Aku mulai merasa kehilangan. Duduk-duduk sambil menikmati colenak aku mulai memperhatikan lebih seksama pengunjung-pengunjung lain. Ternyata orang tidak lagi datang sekedar untuk makan dan minum, tapi untuk mendukung pedagang favoritnya. Yang berpromosi bukan lagi si pedagang, tapi para "fans"nya. Alih-alih duduk tenang menikmati hidangan yang dipesannya banyak pengunjung yang riuh memuji-muji makanan di lapak yang dikunjunginya dengan harapan orang yang melintas akan mampir di lapak itu.
Di setiap lapak terdengar teriakan yang kadang-kadang lebay, semisal," Oh my God, this is just fantastic! The best in the world!" Dari lapak lain terdengar, "This is great! What a masterpiece. Bahkan chef hotel Ritz- Carlton akan minder jika mencicipi makanan ini."
Seringkali ungkapan pujian disampaikan dengan cara berdiri dan berteriak kepada para pengunjung supermarket di luar food court. Jika tidak ditanggapi, maka mereka yang jadi penggemar salah satu kedai akan mengaminkan pujian yang lain dengan berdesis cukup keras, "Yes...Yes...Yes!"
Tidak biasanya di tempat makan orang banyak bicara, apalagi berteriak-teriak. Tapi - begitulah yang kusaksikan - di sini orang lebih banyak menggunakan lidahnya di meja makan untuk mengeluarkan kata-kata daripada mengecap makanan dan minuman yang telah terhidang.
Minggu berikutnya si pedagang ayam dan ikan asap yang tak lagi di sana. Sebenarnya aku tak begitu suka dagangannya, tetapi tepat sebelum dia digusur, aku sempat mencicipi ayam asapnya, dan ternyata - di luar dugaanku selama ini - memang enak. Tapi, dia tak dibolehkan lagi berdagang di sana, karena jumlah langganannya terrendah di bandingkan yang lain. Tinggallah tiga pedagang yang kulakan di tiga pojokan. Lapak-lapak di ujung kiri dalam ruangan telah dibongkar dan diisi oleh kursi untuk mengakomodasi pengunjung yang semakin membeludak saja.
Fast forward ke cerita minggu lalu. Ternyata pedagang soto yang kena giliran harus keluar dari food court. Tersisa dua pedagang, satu di dekat pintu masuk yaitu pedagang colenak, dan satu lagi di ujung ruangan yaitu pedagang sate. Mereka berdua sudah merenovasi lapak masing-masing menjadi lebih besar dan ada neon sign yang lebih mencolok di tiap lapak. Di lapak pertama tertera : Colenak Granat, sesuai dengan colenaknya yang dibentuk seperti granat tangan lengkap dengan sumbunya. Di lapak kedua tertulis : Sate SHAM, konon kepanjangannya adalah "Sampai Habis Air Mata", katanya satenya begitu enak dan begitu pedas, sampai-sampai orang tak sadar sudah menghabiskan puluhan tusuk dan air mata terkuras karena kepedasan.