Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Eh, Jokowi Itu Ternyata Pintar Juga, Ya"

17 Januari 2015   22:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 3234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berhubung tokoh yang saya pandang cocok jadi Presiden RI tak dicapreskan oleh partai atau koalisi partai manapun di Pilpres 2014, saya - yang tak ingin jadi Golput - harus memilih satu dari dua capres yang disodorkan oleh partai-partai.

Memilih antara Jokowi dan Prabowo cukup mudah. Saya yakin Indonesia lebih baik tidak melanjutkan cara-cara Orde Baru dan tidak dipimpin tokoh-tokoh yang dibesarkan oleh rezim Orde Baru, maka memilih Jokowi dibandingkan Prabowo sudah tak perlu dipikir panjang lagi. Lagi pula, Jokowi sudah terbukti bersih dari korupsi dan punya komitmen kuat untuk memberantas korupsi.

Namun, memilih Jokowi bukannya tanpa beban.

Jokowi memang populer. Tapi, terus terang saja, saya meragukan kemampuan beliau untuk memimpin organisasi sebesar NKRI. Berbekal pengalaman jadi pemimpin kota yang tak begitu besar di Jawa Tengah dan jadi gubernur selama 2 tahun di DKI Jakarta, tak cukup meyakinkan saya bahwa beliau akan cukup mampu memikirkan urusan negara. Cakupan pengalaman beliau yang masih lebih banyak urusan lokal (di Solo) dan pengalaman internasional sebagai pengusaha mebel tak memadai sebagai bekal untuk pemimpin negara.

Jejaring yang dimiliki oleh Jokowi - sebagai orang yang baru naik ke pentas politik nasional - juga mengkhawatirkan saya. Siapakah nanti teman-temannya yang akan menjadi orang kepercayaannya dalam membuat keputusan penting bagi negeri ini? Belum lagi posisi Jokowi sebagai non-elit di partai tempatnya bernaung; semakin tidak meyakinkan apakah Jokowi akan lihai bermain di arena politik Tanah Air yang - tak beda dengan di tempat lain - penuh dengan serigala politik yang haus kekuasaan dan tak beretika.

Jokowi mungkin orang baik. Tapi, baik saja tidak cukup untuk jadi pemimpin.

Ketika orang-orang yang saya pandang baik merapat ke sisi Jokowi - seperti Anies Baswedan, Khofifah Indar Parawansa dan Dahlan Iskan - ada sedikit kepercayaan bahwa Jokowi didampingi orang-orang baik. Namun, puluhan atau mungkin ratusan makhluk politik yang 'punya mau' segera berkerumun dan berinvestasi dalam aktivitas Jokowi dengan harapan mendapat bayarannya apabila Jokowi nantinya menduduki jabatan tertinggi di negeri ini.

Jokowi akhirnya terpilih dan dilantik menjadi presiden ketujuh Republik Indonesia. Di balik kegembiraan karena akhirnya calon presiden yang saya pilih memenangi pemilihan, saya mulai kuatir seperti apakah sosok bernama Jokowi ini memimpin negara.

Ternyata beberapa harapan saya terwujud di dalam kabinet yang dibentuknya. Anies jadi menteri pendidikan. Khofifah jadi menteri sosial, sayang Dahlan tak mendapatkan portofolio di posisi mana pun. Masuknya nama-nama politisi yang menyebalkan dalam kabinet tak terhindarkan - saya bisa memahami.

Beberapa hari lalu, Jokowi membuat kegaduhan di negeri ini dengan mengajukan seorang terindikasi masalah tindak pidana korupsi menjadi kepala kepolisian negara. Sungguh mengecewakan. Banyak pendukung dan relawannya menolak melalui aksi langsung - bahkan menemui Jokowi di istana - dan melalui media-media sosial. Saya yang hanya menyumbang satu suara dan bukan relawan dan bukan pula penyuara Jokowi di media sosial hanya bisa melihat dengan gemas. Keraguan saya akan kemampuan Jokowi dalam membuat keputusan dan menahan tekanan sepertinya terbukti. Di mata saya Jokowi telah melakukan blunder.

Apa pun alasannya, Jokowi sudah melanggar komitmen untuk memberantas korupsi dengan memasukkan orang bermasalah ke dalam lembaga kepolisian yang seharusnya justru menjadi salah satu alat negara untuk menangkapi para koruptor. Entah Jokowi mengajukan Budi Gunawan, sang perwira tinggi yang terindikasi korupsi tersebut, karena tekanan dari parpol pengusungnya atau ada alasan lain, pengajuan Budi Gunawan sudah merupakan tanda ketidakmampuan Jokowi untuk memegang teguh komitmennya. Begitu pikiran saya.

Manakala DPR yang biasanya berseberangan dengan Pemerintah menyetujui usul pergantian Kapolri dari Sutarman kepada Budi Gunawan, maka Jokowi dihadapkan pada dilema. Mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri, berarti Jokowi melawan kehendak pendukungnya dan secara nyata meninggalkan komitmen semula. Membatalkan pengangkatan Budi Gunawan, berarti melawan DPR yang sudah meng-approve permintaan Presiden. Pilihan kedua konon akan dibalas oleh DPR dengan interpelasi dan - kata mereka yang sok pintar - bisa berujung pada impeachment.

Keputusan yang rumit. Apa yang akan dilakukan Jokowi? Bakal 'habis'kah Jokowi dimangsa serigala Senayan? Bakal sendirikah Jokowi ditinggal para pendukungnya, dan selanjutnya - tetap saja kelak - akan dimangsa serigala yang sama?

Ternyata Jokowi muncul di televisi pada tanggal 16 Januari 2015 malam dan menyampaikan solusi di luar pilihan yang selama ini disodorkan kepadanya. Beliau menerima keputusan DPR yang telah menyetujui pemberhentian Sutarman dan pengangkatan Budi Gunawan. Namun, karena Budi Gunawan sedang menghadapi masalah hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi, maka pelantikannya ditunda. Sementara itu, Sutarman yang sudah diberhentikan digantikan oleh Wakil Kapolri Badrodin Haiti.

Tadinya, dengan logika saya yang terbatas, skenario mirip seperti ini memang mungkin terjadi, yaitu penundaan pengangkatan Budi Gunawan dan tetap menjadikan Sutarman sebagai Kapolri. Namun, itu akan melawan DPR yang sudah menyetujui juga pemberhentian Sutarman. Pemberhentian Sutarman menjadi sah dan sesuai Undang-undang karena telah juga disetujui oleh DPR pada saat DPR menyetujui pergantian Kapolri dari Sutarman kepada Budi Gunawan.

Pengangkatan Haiti sebagai Kapolri memenuhi janji istana kepresidenan sebelumnya bahwa Indonesia akan segera memiliki Kapolri baru, meskipun masih merupakan pelaksana tugas. Bagaimana pun juga, Jokowi sekarang memiliki Kapolri yang diangkatnya sendiri, bukan pilihan dan lungsuran dari pemerintahan sebelumnya. Solusi sementara ini membuat situasi politik menjadi adem - meskipun mungkin untuk sementara waktu.  Namun, waktu akan berpihak pada Jokowi.

"Eh, Jokowi ternyata Jokowi pintar juga, ya," begitu batin saya yang sempat meragukan kemampuan sang presiden.

Semoga beliau bisa pintar seperti ini terus dan jangan sering-sering buat blunder.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun