Krisis Identitas: Di tengah globalisasi dan modernisasi yang cepat, banyak individu mengalami krisis identitas. Mereka mungkin merasa tercerabut dari akar budaya atau agama mereka, dan mencari jati diri di tengah perubahan sosial yang cepat. Dalam situasi seperti ini, kelompok radikal dapat menawarkan identitas yang kuat dan jelas, sering kali melalui pemahaman yang sempit tentang agama.
Ketidakpercayaan terhadap Pemerintah: Pemerintah yang korup atau dianggap tidak mewakili rakyatnya sering kali menciptakan ruang bagi kelompok-kelompok radikal untuk mendapatkan dukungan. Ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga negara membuat orang mencari alternatif, termasuk ideologi radikal yang menjanjikan sistem yang lebih "adil" atau "murni."
Pengaruh Eksternal: Banyak gerakan radikal mendapatkan dukungan dari luar negeri, baik secara ideologis maupun finansial. Ini dapat berupa pengaruh dari negara atau kelompok di luar negeri yang memiliki agenda politik tertentu. Dukungan eksternal ini sering kali memperkuat gerakan radikal di dalam negeri dan membantu mereka bertahan dalam jangka panjang.
Upaya Deradikalisasi
Menghadapi ancaman radikalisme agama memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pendekatan keamanan seperti penangkapan dan penindakan hukum penting, tetapi tidak cukup. Pemerintah dan masyarakat sipil juga perlu bekerja sama dalam program-program deradikalisasi yang bertujuan untuk merehabilitasi individu-individu yang terlibat dalam gerakan radikal. Program ini biasanya mencakup pendidikan, dialog antaragama, serta pelatihan keterampilan yang membantu mantan ekstremis kembali ke masyarakat.
Di Indonesia, pemerintah telah meluncurkan berbagai program deradikalisasi, termasuk pelatihan agama yang moderat, reintegrasi sosial, dan pemantauan terhadap individu yang dianggap berpotensi menjadi radikal. Upaya-upaya ini bertujuan untuk membendung penyebaran ideologi radikal sekaligus mendorong pemahaman yang lebih inklusif dan toleran tentang agama.