Mohon tunggu...
fanny s alam
fanny s alam Mohon Tunggu... -

Pengelola Bandung's School of Peace Indonesia (Sekolah Damai Mingguan Indonesia Bandung) dan penggiat komunitas di kota Bandung untuk kota yang ramah bagi semua

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Urgensi Pengesahan RUU PKS

29 Januari 2019   16:19 Diperbarui: 29 Januari 2019   16:30 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Oleh
Fanny S. Alam
Koordinator Kota Sekolah Damai Indonesia Bandung

Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, menjadi saksi bagaimana ditemukannya jasad seorang perempuan berinisial IA yang dibunuh dan dibakar serta sebelumnya mengalami tindak ruda paksa oleh dua orang tersangka dari empat yang tertangkap pada tanggal 20 Januari 2019 silam. Lebih mengenaskan lagi ketika tindakan tersebut dilakukan oleh salah seorang tersangka ketika perempuan tersebut telah meninggal akibat pukulan sebilah kayu oleh tersangka lainnya. 

Kasus ini mengingatkan kita kepada pengalaman mengerikan yang terjadi terhadap Yuyun pada tahun 2016 di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, ketika yang bersangkutan ditemukan meninggal dalam keadaan tangan terikat hingga ke paha serta ditemukan lebam di wajah dan mengalami tindak ruda paksa serta dinyatakan telah meninggal ketika tindak tersebut dilakukan. 14 tersangka ditemukan melakukan ini terhadap Yuyun.

Kasus tersebut akhirnya berimbas kepada pemerintah pusat, dimana saat itu presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan pemerintah pengganti undang-undang kekerasan seksual terhadap anak (Perpu) no 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

 Salah satu tindakan yang tercatat secara legal terhadap para pelaku kejahatan kekerasan seksual ini adalah kebiri secara kimiawi. Apakah Perpu ini berjalan dengan efektif atau tidak sebenarnya bisa dilihat dengan naiknya kasus kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dari angka 259.150 menjadi 335.062 kasus. Ini belum termasuk kasus yang melibatkan korban anak laki-laki, menurut Riri Khairiroh, komisioner Komnas Perempuan.

Sementara itu, usaha yang lebih komprehensif dari sekedar rilis Perpu sebenarnya telah diinisiasi oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, suatu forum yang sudah bekerja secara mendalam dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual serta pendampingan secara telisik kepada korban-korban kekerasan seksual, sehingga mereka dapat mengakses layanan advokasi secara menyeluruh dari medis, psikologis, serta penanganan hukum. 

Upaya penetapan usulan-usulan masyarakat sipil sejak 2015 telah dilakukan sehingga terciptalah tahapan lanjut pengajuan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)  yang menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2016. Sekarang, RUU ini telah berada di tangan Panitia Kerja Komisi VIIl DPR. Hingga ini pengesahan RUU ini masih belum menemukan titik temu positif sehingga keberadaannya masih mengawang-awang pada saat masa kerja para anggota Dewan akan berakhir.

Urgensi RUU PKS

Dilema mengenai kekerasan seksual, terutama yang dipahami oleh aparat dan pejabat negara, sering kali menimbulkan kebuntuan untuk memberikan solusi tepat ke depannya.Termasuk dimensi yang terdapat dalam RUU PKS. Pasal 11 dalam RUU ini mengatur kekerasan seksual yang jauh lebih mendalam daripada tindak ruda paksa semata, termasuk didalamnya adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. 

Dimensi yang lebih luas itu ada karena regulasi pemerintah yang ada diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengatur secara mendalam kasus-kasus yang termasuk dalam kekerasan seksual sehingga regulasi tersebut tidak menyasar pada akar permasalahannya serta minim perlindungan pada korban ( Bantara Munti, Ratna, koordinator jaringan Prolegnas pro Perempuan). 

Konsep ini juga berlaku tidak hanya perlindungan terhadap perempuan, tetapi anak-anak dan laki-laki, orang dengan disabilitas, serta kelompok rentan lainnya akan kekerasan seksual. Perluasan terminologi kekerasan seksual merupakan hal yang sebelumnya tidak diakomodir oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kemungkinan besar akan membiarkan impunitas pelakunya dan cenderung menyudutkan korbannya.

Perspektif negara yang seharusnya melindungi warga negaranya dalam kasus-kasus kekerasan seksual ditantang di sini karena jarangnya mereka memperlihatkan keberpihakan secara total terhadap korban-korban kekerasan seksual (S. Alam, Fanny, Darurat Kekerasan Seksual). Masih belum disepakatinya konsepsi kekerasan seksual dalam pemikiran para aparat serta anggota perwakilan rakyat menyebabkan terhambatnya pengesahan RUU PKS dalam jangka waktu relatif lama. 

Kombinasi peran pemerintah dan masyarakat dalam pengentasan kekerasan seksual dalam RUU PKS dapat terlihat jelas dalam usaha pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual, mulai dari pendampingan hukum, medis, psikologis ditambah psikososial dan aspek pemulihan korban.

Dalam hal pemberdayaan aparatur slpil negara dan penegak hukum lengkap beserta satuan dibawahnya, RUU PKS jelas memasukkan materi penghapusan kekerassn seksual dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi mereka dan dikelola negara (pasal 6 ayat e) serta bagaimana negara membangun dan mengintegrasikan data kekerasan seksual dalam sistem pendataan nasional diatur oleh badan pusat statistik Integrasi peran aparat sipil negara, penegak hukum dan satuan dibawahnya dalam mengentaskan kekerasan seksual secara komprehensif dimulai dengan pemberdayaan pengetahuan yang berbasis kesetaraan gender serta mendorong empati terhadap korban serta membangun sensitivitas terhadap kasus-kasus kekerasan seksual untuk mendorong kerja aparat yang lebih serius dan mendalam.

Urgensi Pengesahan

Dapat dipahami mengapa terdapat hambatan-hambatan signifikan dalam pengesahan RUU PKS ini. Kontroversi yang berada di media sosial menyatakan bahwa RUU ini akan menjadi jalan liberalisasi hubungan seks bebas, lalu inisiasi nilai-nilai feminisme barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. 

Semangat RUU PKS yang jelas-jelas melibatkan tokoh-tokoh akademisi, lembaga kemanusiaan, advokat hukum, tokoh-tokoh pemuka lintas agama, serta elemen pemerintah dan masyarakat setidaknya dianggap kontroversial oleh beberapa kelompok yang berseberangan dengan pengesahan RUU ini. 

Pro dan kontra sebenarnya wajar mengingat pengesahan RUU PKS ini bukan hal yang dianggap setengah-setengah karena ini merupakan upaya perlindungan kepada warga negara Indonesia secara keseluruhan tanpa adanya diskriminasi dan berbasis nilai hak asasi manusia dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya Indonesia. 

Kepentingan demi kepentingan memang tidak mudah dicapai dalam waktu singkat karena banyaknya pertimbangan, akan tetapi terkadang beda pendapat hingga meluas terjadi karena hal-hal yang sebenarnya mudah untuk diatasi, misalnya meningkatkan kapasitas literasi untuk memeriksa ulang sumber informasi sehingga kita tidak terjerumus dalam lingkaran hitam sebaran kabar yang mungkin belum valid. RUU PKS ini tidak mungkin menghilangkan semangat anti kekerasan seksual tanpa mengindahkan nilai-nilai yang sudah ada. 

Sekarang hanya diperlukan 'goodwill' atau niat baik tanpa berprasangka untuk sama-sama membahas isi RUU dengan komprehensif sehingga tidak akan ada penundaan lebih lama jika diperlukan revisi tambahan atau sejenisnya, karena usaha-usaha preventif dan paska kekerasan seksual jauh lebih menanti penanganan serius dari elemen pemerintah dan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun