Introduksi
Dilanjutkannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goal (SDGs) oleh Indonesia, membuat negara ini harus secara integratif memperkuat inisiatif pembangunan yang salah satunya adalah penguatan kesetaraan gender.Â
Beberapa tahun silam, Indonesia termasuk dalam kelompok negara penanda tangan MDGs, Tujuan Pembangunan Millenium, kembali salah satu tujuannya adalah kesetaraan gender.Â
Lebih jauh lagi, MDGs telah selesai pada tahun 2015, dengan capaian target yang telah dicapai, target yang menunjukkan kemajuan signifikan, dan target yang masih memerlukan upaya keras pencapaiannya (hmpd.fk.ub.ac.id/mdgs-to-sdgs).Â
Disoroti bahwa target 1 mengenai penanggulangan kemiskinan dan kelaparan bagi Indonesia sendiri telah berhasil dengan indikator turunnya masyarakat berpenghasilan dibawah 1 dollar US per hari, penurunan garis kemiskinan masyarakat, serta turunnya tingkat malnutrisi pada anak-anak.Â
Sama halnya dengan target 3 mengenai kesetaraan gender, diperlihatkan capaian peningkatan rasio angka partisipasi murni perempuan terhadap laki-laki di SD hingga SMP meningkat sama halnya dengan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki.
Sementara itu, ratifikasi konvensi PBB tahun 1979 tentang penghapusan segala jenis diskriminasi terhadap perempuan telah dilakukan oleh pemerintah Timor Leste pada tahun 2002 dalam konstitusi Republik Demokratik Timor Leste pada bagian II hak, kewajiban, dan kebebasan asasi pada pasal 17 yang berbunyi "Perempuan dan Laki-laki memiliki hak dan  kewajiban yang sama dalam bidang kehidupan keluarga, budaya, sosial, ekonomi, dan politik" (Lourenco Gusmao, Budaya dan Gender di Timor Leste). Di sisi lain, salah satu indikator capaian pembangunan yang paling jelas adalah ekonomi.Â
Masih teringat pada 2017 menjelang pemilu presiden Timor Leste 20 Maret ketika fokus utama para kandidat adalah berdasarkan kegagalan sebaran kekayaan dari pendapatan minyak dan gas diikuti tingginya angka pengangguran (Metrotvnews, Kesulitan ekonomi meningkat ketika Timor Leste memilih presiden, 21 Maret 2017).Â
Walaupun demikian, Timor Leste yang pernah mencapai angka indeks kemiskinan cukup signifikan dengan angka 39,7 persen yang sama artinya dengan dua dari lima orang di Timor Leste tidak mampu memenuhi syarat konsumsi pangan dan non-pangan diikuti dengan pendapatan per orang per bulan rata-rata $ 1.84 (tirto.id, Bagaimana Ekonomi Timor Leste setelah 16 tahun merdeka, 29 Juni 2018) sudah bangkit dengan pesat, terutama karena pengaruh investasi asing yang kencang, terutama ketika kementerian keuangan Timor Leste bergabung dengan Asian Infrastucture Investment Bank yang berbasis di Beijing.
Digambarkan dengan pertukaran pengetahuan dari para teknisi China kepada pegawai negeri Timor Leste serta para teknisi lokal mengenai metode pertanian terbaru, perencanaan perkotaan, pengembangan pariwisata, dan lain sebagainya selain penggelontoran dana sebesar $ 50 juta sebagai pinjaman lunak (The Diplomat).Â
Potensi ekspor terbesar dari Timor Leste adalah kopi yang menjadi primadona sejak tahun 2000, serta jika diambil hitungan rata-rata maka pendapatan petani kopi bisa mencapai $ 127 per produksi rumah tangga (UNDP report)..
Indonesia dan Timor Leste memilki akar sejarah panjang sejak Timor Leste atau yang pada saat tersebut disebut Timor Timur menjadi bagian  dari republik Indonesia pada tahun 1976 sebagai provinsi ke 27.Â
Situasi yang amat pelik karena setelah pada saat tersebut portugal tidak dapat mengkolonisasi daerah tersebut akhirnya meninggalkannya. Proses integrasi tersebut disinyalir memakan korban banyak dari pihak Timor, sehingga pada akhirnya setelah reformasi di Indonesia tahun 1998, karena PBB tidak menerima tindakan integrasi tersebut maka suatu referendum dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah perjanjian yang disponsori Indonesia dan Portugal diikuti kedatangan pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor pada tanggal 20 September 1999 dan setelah itu pada tanggal 20 Mei 2002, dunia internasional mengakui Timor timur dengan nama Timor Leste.
Akar Masalah
Kedua negara memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri dalam isu gender dan kemiskinan, dua isu penting yang justru bisa saling berkaitan satu sama lain jika melihat keduanya sebagai bagian dari pembangunan masing-masing negara.Â
Gender menjadi signifikan karena kesetaraan peran laki-laki dan perempuan menjadi kontribusi ketika proses pembangunan melibatkan peran dari kedua jenis kelamin tanpa melibatkan diskriminasi peran dan seksisme, suatu hal yang masih terjadi hingga hari ini di kedua negara.Â
Kedua negara sebenarnya telah sama-sama menerbitkan undang-undang negara yang mendukung kesetaraan gender serta peraturan pemerintah yang mendukung peran serta perempuan dan laki-laki setara dalam pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik.Â
Dalam implementasinya, kedua negara masih mengalami kendala yang berasal dari sistem budaya yang berlaku di daerah yang sebenarnya mungkin disadari oleh pemerintah masing-masing negara.Â
Hal tersebut menyebabkan masalah klasik dalam implementasi kesetaraan gender, yaitu relasi kuasa timpang antara jenis kelamin yang dianggap lebih kuat mengopresi yang lebih lemah kedudukannya dalam hierarki masyarakat dan keluarga.Â
Di samping itu, masalah ini menimbulkan pembagian peran kerja tidak setara antara dua jenis kelamin, yang lebih berpihak pada jenis kelamin yang dianggap lebih berkuasa.Â
Baik Mansour Fakir dan Suharti sama-sama mengingatkan gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, mengalami konstruksi sosial dan budaya berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, dan fungsi.Â
Secara spesifik, Indonesia masih mengadopsi produk hukum yang menghadang pemenuhan hak-hak perempuan, seperti UU no 1/1974 tentang perkawinan serta banyak perangkat peraturan daerah yang berpotensi mendiskriminasi perempuan. Lalu, masih banyaknya jumlah kekerasan fisik, verbal yang dialami oleh perempuan, eksploitasi seksual, serta perdagangan perempuan.Â
Untuk hal ini dialami oleh baik kedua negara. Jika dielaborasi lebih jauh dari struktur negara, kedua negara telah memiliki menteri perempuan, anggota parlemen perempuan, khususnya di Indonesia yang mewajibkan setiap partai politik memiliki kuota 30 persen perempuan untuk di parlemen, akan tetapi hal tersebut belum menjamin keterwakilan suara perempuan secara keseluruhan karena hingga sekarang diskriminasi masih terus dialami perempuan.
Kemiskinan merupakan masalah klasik yang masih juga ada di kedua negara. Dampak dari pembangunan yang bisa bersifat positif dan negatif tidak dapat dihindarkan, salah satunya adalah kemiskinan.Â
Pembangunan yang hanya berkonsentrasi terhadap sifat industrial tanpa mengembangkan kearifan lokal satu daerah di kedua negara tentu akan membawa dampak negatif serius, terutama bagi penduduknya.Â
Kemajuan suatu negara bukan hanya dilihat dari keberhasilan pembangunan infrastruktur saja, akan tetapi sinergi infrastruktur untuk mendukung aktivitas penduduk tanpa mengorbankan nilai-nilai lokal serta kebutuhan dasar para penduduknya akan dapat mendukung pembangunan itu sendiri untuk menyejahterakan penduduknya.Â
Kontroversi justru muncul ketika contohnya Indonesia telah merefleksikan keberhasilan pencapaian target MDGs dalam pengentasan kemiskinan, beberapa hal muncul sebagai kritik atas pencapaian tersebut, seperti contohnya belum terbebasnya masyarakat Indonesia dari belenggu kemiskinan, ketidakadilan sumber daya dan lingkungan, serta terpaparnya banyak kelompok masyarakat rentan.Â
Peran pemerintah Indonesia dinilai tidak signifikan dalam pencapaian poin-poin yang berhubungan dengan perbaikan kondisi masyarakat miskin karena dianggap master plan yang berhubungan dengan pembangunan daerah dan ekonomi tidak berpihak kepada kelompok masyarakat miskin, melainkan kepada kelompok pemodal dan investor asing, menurut Jopi Peranginangin, Koordinator Kampanye Sawit Watch.Â
Sementara itu, hal berlawanan diperlihatkan klaim pemerintah tentang keberhasilan pembangunan merata kota dan desa, akan tetapi perempuan pedesaan secara dominan menjadi target ekspor tenaga kerja atau buruh migran (Retno Dewi, ketua ATKI).Â
Kekhawatiran tentang kemiskinan pun mulai menghantui Timor Leste, yang dikabarkan mungkin mengalami bencana ekonomi karena hampir habisnya cadangan minyak dan gas karena pemerintah setempat memompa sebagian besar uang yang dihasilkan dari minyak ke dalam skema pembangunan besar.Â
Keadaan seperti ini diperburuk dengan jumlah 42 persen masyarakat Timor Leste yang mengalami kemiskinan kebanyakan dari mereka memulung potongan sampah (Timor Leste Bisa Hadapi Bencana Ekonomi, timoroman.com, 31 July 2017).
Refleksi
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang diprediksi sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia serta Timor Leste sebagai negara yang bertetangga dengan Indonesia merupakan dua negara yang memiliki komitmen untuk selalu berkembang demi kepentingan dan kesejahteraan warga negaranya.Â
Menjaga komitmen tersebut bukanlah hal yang mudah, mengingat dua masalah besar mengenai gender dan kemiskinan masih berada menaungi Indonesia dan Timor Leste.Â
Sejumlah perangkat perundangan telah ditandatangani dan merupakan hasil ratifikasi kovenan internasional PBB yang diadopsi kedua negara digunakan untuk kepentingan negara serta warga negara masing-masing demi upaya untuk mengurangi tindak diskriminasi terhadap perempuan, terutama, untuk tercapainya kesetaraan gender.Â
Perangkat perundangan tersebut sebenarnya memberikan peluang sekaligus perluasan peran khususnya bagi perempuan dalam bidang-bidang strategis hingga akar rumput agar setiap keputusan yang diambil dapat mempertimbangkan suara mereka sehingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pun bisa berdampak positif terhadap perempuan dan kehidupannya.Â
Pada kenyataanya, baik kedua negara masih menghadapi jalan panjang untuk menyikapi masalah-masalah seputar isu gender. Peran aparat pemerintah kedua negara yang dinilai masih belum sensitif gender dalam melihat permasalahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, terutama di masyarakat akar rumput, sehingga peminggiran terhadap peran perempuan dan dampaknya bagi perempuan sendiri terus berlanjut.
Ketika berbicara mengenai masyarakat akar rumput sebenarnya kita membicarakan hal yang beririsan dengan kemiskinan yang jelas terpapar di hadapan mereka.Â
Kedua negara telah berusaha untuk mengeliminasi masalah kemiskinan yang pada akhirnya bisa berdampak secara luas bagi pembangunan kedua negara. Sekali lagi, perangkat perundangan kedua negara menjamin peran serta masyarakat, siapapun mereka, untuk bersama membangun daerah dan negara.Â
Pemerataan ekonomi dan pendidikan menjadi sangat sentral untuk memutus mata rantai kemiskinan karena sejatinya masyarakat kedua negara harus terjamin kebutuhan primernya serta pendidikan untuk kesejahteraan masa depannya. Tetap pada pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan.Â
Pengentasan kemiskinan seakan - akan menjadi jargon pembangunan yang kadang-kadang justru tidak berpihak kepada apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh kelompok masyarakat miskin yang masih rentan dan sering digunakan sebagai sapi perah politik.Â
Hal ini menyebabkan antipati masyarakat tersebut kepada pemerintah daerah hingga negara karena para aparat pemerintah kedua negara diragukan keberpihakannya kepada mereka.Â
Alih-alih pemerintah masing-masing negara terus mengkampanyekan hentikan kemiskinan, jumlah masyarakat miskin di sana terpapar masalah ekonomi dan sosial yang memberatkan, sementara di satu sisi pembangunan di kedua negara tetap berlangsung.
Jadi, sebenarnya bagi siapakah keadilan serta kesetaraan gender dan upaya pengentasan kemiskinan bagi kelompok masyarakat rentan itu ditujukan?
Oleh Fanny S Alam
Koordinator Sekolah Damai Mingguan Indonesia Bandung
Koordinator Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H