Mohon tunggu...
fanny s alam
fanny s alam Mohon Tunggu... -

Pengelola Bandung's School of Peace Indonesia (Sekolah Damai Mingguan Indonesia Bandung) dan penggiat komunitas di kota Bandung untuk kota yang ramah bagi semua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gender dan Kemiskinan, Paradoks di Indonesia dan Timor Leste

10 Agustus 2018   10:10 Diperbarui: 10 Agustus 2018   20:58 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia dan Timor Leste memilki akar sejarah panjang sejak Timor Leste atau yang pada saat tersebut disebut Timor Timur menjadi bagian  dari republik Indonesia pada tahun 1976 sebagai provinsi ke 27. 

Situasi yang amat pelik karena setelah pada saat tersebut portugal tidak dapat mengkolonisasi daerah tersebut akhirnya meninggalkannya. Proses integrasi tersebut disinyalir memakan korban banyak dari pihak Timor, sehingga pada akhirnya setelah reformasi di Indonesia tahun 1998, karena PBB tidak menerima tindakan integrasi tersebut maka suatu referendum dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah perjanjian yang disponsori Indonesia dan Portugal diikuti kedatangan pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor pada tanggal 20 September 1999 dan setelah itu pada tanggal 20 Mei 2002, dunia internasional mengakui Timor timur dengan nama Timor Leste.

Akar Masalah

Kedua negara memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri dalam isu gender dan kemiskinan, dua isu penting yang justru bisa saling berkaitan satu sama lain jika melihat keduanya sebagai bagian dari pembangunan masing-masing negara. 

Gender menjadi signifikan karena kesetaraan peran laki-laki dan perempuan menjadi kontribusi ketika proses pembangunan melibatkan peran dari kedua jenis kelamin tanpa melibatkan diskriminasi peran dan seksisme, suatu hal yang masih terjadi hingga hari ini di kedua negara. 

Kedua negara sebenarnya telah sama-sama menerbitkan undang-undang negara yang mendukung kesetaraan gender serta peraturan pemerintah yang mendukung peran serta perempuan dan laki-laki setara dalam pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik. 

Dalam implementasinya, kedua negara masih mengalami kendala yang berasal dari sistem budaya yang berlaku di daerah yang sebenarnya mungkin disadari oleh pemerintah masing-masing negara. 

Hal tersebut menyebabkan masalah klasik dalam implementasi kesetaraan gender, yaitu relasi kuasa timpang antara jenis kelamin yang dianggap lebih kuat mengopresi yang lebih lemah kedudukannya dalam hierarki masyarakat dan keluarga. 

Di samping itu, masalah ini menimbulkan pembagian peran kerja tidak setara antara dua jenis kelamin, yang lebih berpihak pada jenis kelamin yang dianggap lebih berkuasa. 

Baik Mansour Fakir dan Suharti sama-sama mengingatkan gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, mengalami konstruksi sosial dan budaya berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, dan fungsi. 

Secara spesifik, Indonesia masih mengadopsi produk hukum yang menghadang pemenuhan hak-hak perempuan, seperti UU no 1/1974 tentang perkawinan serta banyak perangkat peraturan daerah yang berpotensi mendiskriminasi perempuan. Lalu, masih banyaknya jumlah kekerasan fisik, verbal yang dialami oleh perempuan, eksploitasi seksual, serta perdagangan perempuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun