Mohon tunggu...
fanny s alam
fanny s alam Mohon Tunggu... -

Pengelola Bandung's School of Peace Indonesia (Sekolah Damai Mingguan Indonesia Bandung) dan penggiat komunitas di kota Bandung untuk kota yang ramah bagi semua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stigma, Siapa yang Salah?

8 Juli 2018   14:18 Diperbarui: 8 Juli 2018   14:29 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang dikemukakan oleh para pakar medis Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, Corrigan dalam Fiorilo, Volpe, Bhugra (2016), stigma biasanya ditujukan kepada orang-orang yang berbeda dengan kondisi yang dianggap umum oleh mayoritas tertentu, khususnya yang menjadi korban kejahatan, kemiskinan, serta kelompok dengan penyakit tertentu, serta pelabelan oleh masyarakat sebagai "yang bersalah". 

Di bagian lain, stigma memiliki korelasi kuat dengan rasa malu serta kecenderungan untuk menyalahkan kelompok yang berbeda dari yang dianggap benar secara nilai mayoritas. Jelas kondisi ini, menurut Paryati et.al 2012, dipengaruhi faktor-faktor relevan, seperti pendidikan, lingkungan, sosial , budaya, ideologi, ekonomi.

Stigma dapat dikaitkan dengan relasi kuasa timpang antara kelompok yang menganggap satu hal lumrah secara mayoritas dan menekan kelompok minoritas yang dianggap tidak sepaham. Relasi kuasa ini dipengaruhi oleh konstruksi budaya yang juga berbaur dengan sistem agama serta sistem ekonomi yang berlaku dan diikuti secara mayoritas. 

Sebagai contoh, stigma terhadap perempuan. Bahwa perempuan yang dikatakan baik itu adalah yang setia dan patuh terhadap suami dan hanya tinggal di rumah mengerjakan pekerjaan domestik. Ketika ada perempuan yang menolak pembagian peran seperti itu, maka tidak hanya suami yang akan berpandangan buruk terhadapnya, tetapi juga masyarakat sekitar dan bahkan kelompok perempuan sendiri. 

Stigma terhadap penderita HIV/AIDS muncul karena masyarakat dan juga keluarga penderita menganggap penyakit ini berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya justru menyudutkan keberadaan penderitanya sendiri seakan-akan mereka tidak layak hidup dalam keluarga dan masyarakat. Banyak stigma terhadap mereka justru datang dari informasi "katanya" atau " dengar-dengar" tanpa menyelidiki atau berusaha bertanya baik-baik alih-alih malah langsung menstigma. 

Hal terbaru sudah tentu mengenai perempuan bercadar karena ada sekelompok mereka melakukan teror kepada aparat kepolisian dan teror bom. Masyarakat pasti bertanya ada apa dengan mereka dan setiap kali melihat mereka dengan pandangan curiga sekaligus mungkin secara tidak langsung menstigma keberadaan mereka dengan pandangan mereka yang dianggap radikal, konservatif, kolot hingga tukang bom.

Siapa yang Salah tentang Stigma

Pertanyaan ini sebenarnya bisa menjadi paradoks karena sejak awal pembahasan selalu berkutat dengan masyarakat kelompok mayoritas yang menstigma versus kelompok minoritas atau yang dianggap lain yang distigma, tetapi lebih jauh dari itu sebenarnya hal ini berkaitan dengan ketidakmauan masyarakat untuk mengetahui lebih dalam kelompok yang mereka stigma. 

Masyarakat yang awalnya tidak peduli tentang kelompok minoritas sekarang berubah memberi perhatian namun dalam konteks menstigma.

Mereka bisa jadi mendapatkan informasi selintas begitu saja tanpa menggali lebih dalam siapa kelompok yang mereka stigma, apa yang sedang dialaminya, mengapa mereka diperlakukan dengan distigma. Kebanyakan masyarakat menstigma karena kekhawatiran yang tidak beralasan dan tidak berlatar belakang informasi yang tepat tentang satu kelompok minoritas atau kelompok yang lain. 

Ditambah pula keinginan masyarakat untuk merasa solidaritas serta dianggap ada oleh kelompok masyarakat yang sepakat untuk menstigma kelompok minoritas serta yang lain tertentu juga merupakan kontribusi mengapa stigma tetap terpapar walau pun akses informasi telah terbuka lebar dan mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun