Mohon tunggu...
Fanny Wiriaatmadja
Fanny Wiriaatmadja Mohon Tunggu... profesional -

just an ordinary woman bark2talk@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demi Kartini

21 April 2016   10:10 Diperbarui: 21 April 2016   10:24 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber : Kompas"][/caption]

 

Tulisan ini ditujukan memang untuk misuh-misuh, alias murang maring alias ngomel-ngomel... maklumi saja, karena sebagai seorang emak, ada tugas tak tertulis untuk ngomel-ngomel..iya kan ? iya dong.

Sejak kemarin Jakarta diguyur hujan lebat, mendadak kakaknya Jibran bilang bahwa sekolahnya mewajibkan murid-murid untuk memakai pakaian daerah pada hari ini, 21 April untuk memperingati hari Kartini.

Boleh percaya atau tidak... (kalau ga percaya sih kebangetan banget), semua salon/ tukang rias yang menyediakan jasa penyewaan baju daerah menyatakan diri kehabisan stock baju daerah untuk disewakan, karena penyewa membludak tentu saja, bukan karena bajunya kebawa banjir. Di tengah keputusasaan mendapat penolakan terus-menerus (cieeee..akhirnya aku ngerasain gimana jeritan hati para jomblower.. :p), aku dan Mang Gojek yang setia menemani memantapkan hati dan nekat menerobos hujan lebat untuk mendatangi dukun...eh..salah...mendatangi penjual baju betawi di daerah Setu Babakan, Jakarta Selatan.

Sialnya, penjual kostum itu yang biasa menjual 1 set pakaian khas betawi lengkap (baju, celana, sabuk, peci) dengan harga 200 ribu, kemarin mendadak menerapkan ilmu ekonomi mengenai supplydandemand.. naikin harga karena peminatnya banyak, alhasil itu pakaian dibanderol dengan nilai Rp. 340 rb/ set lengkap. Yaaah...berhubung aku ini pada dasarnya memang pelita harapan alias pelit dan juga kremesan alias kere, maka aku hanya beli pakaian, celana dan sabuknya saja, dengan harga Rp. 220.000,- . Harga itupun didapat setelah aku mengeluarkan segala jurus sinetron dan drama korea yang termehek-mehek tapi sepertinya tetep ngga ngefek.. *sigh*.

Selama perjalanan pulang yang masih juga diikuti hujan deras, petir dan geluduk, dan tetap setia didampingi Mang Gojek yang rela dibooking pulang pergi (setelah disogok sebungkus rokok agar ga rewel), aku yang merasa teraniaya oleh si pedagang kostum, merasa butuh marah, butuh protes.

Kalau marah sama Mang Gojek, nanti aku dipaksa turun di tengah jalan, kalau marah sama tuhan nanti aku kena azab disambar petir, marah sama suami ntar aku durhaka, apalagi marah sama anak yang Cuma dapet perintah dari sekolahan...Akhirnya aku memutuskan untuk marah sama sekolahan aja, gila apa..kasih perintah mendadak, untuk apa coba anak SMP memperingati hari Kartini dengan baju daerah..relevansinya apa?

Apa hubungan antara memperingati Hari Kartini dengan baju daerah? Bukannya Hari Kartini itu adalah simbol dari emansipasi wanita ya seharusnya?

Kenapa harus pake baju daerah ? kalau anak TK sih maklum, namanya juga lucu-lucuan dan biar sekolah TK itu keliatan ada kegiatan, walau aku masih nyengir kuda membayangkan anak piyik itu pake konde dan kain yang pasti bikin mereka repot kalau jalan dan pipis. Ini anak SMP, yang seharusnya peringatan Hari Kartini tidak lagi sebatas selebrasi ngawur dan sekedar simbol. Buat apa ? Seharusnya sekolah lebih menekankan bagaimana cara agar siswa-siswi di sekolahnya mampu menyerap dan mengadopsi nilai- nilai dari seorang Kartini. Kenapa tidak menugaskan membuat karya tulis, essay atau apa kek yang kiranya akan membangkitkan rasa hormat dan kagum pada Kartini ?

Apa dengan berpakaian daerah anak-anak itu menjadi paham pola pikir seorang Kartini? Mungkin mereka bahkan tidak tahu bahwa di Jepara ada museum Kartini.

Mungkin mereka tidak tahu bahwa Museum Kartini ini terbagi menjadi 4 bagian. Pertama adalah Museum Kartini, Kedua Museum Sasrokartono, Kakak RA Kartini yang berpengaruh terhadap kepribadian Kartini, Ketiga Museum Peninggalan barang-barang kuno yang ada di Jepara, Keempat adalah Museum Kerajinan Kota Jepara.

Kenapa siswa-siswi di sekolah tidak dididik untuk nyinyir dan kritis terhadap kondisi museum yang tidak terurus, kumuh dan berdebu ?

Kenapa mereka tidak diajari untuk peduli pada barang-barang antik yang terbuat dari Emas dan Platina sudah tidak ada, yang ada cuma fotonya saja..  yang entah dibuat tahun berapa, menurut penjaga Museum barang-barang tersebut di bawa ke Museum Gajah, dan dan konon kabarnya, barang-tersebut sudah tidak berada disana..menguap..hilang bagai butiran debu..

Harusnya siswa-siswi itu merasa sedih untuk hal-hal yang seperti itu saja kita tidak bisa mendatanya, apalagi dengan hal-hal besar yang terjadi didalam bangsa ini... cepat terlupa begitu saja... banyak PR yang tidak dikerjakan, masuk kedalam peti yang berdebu dan ditaruh diruang bawah tanah pojok museum yang tidak terawat..

Dan kenapa para siswa tidak diajari untuk menggali informasi menarik tentang sosok yang terpinggirkan oleh nama besar Kartini yaitu RM Panji Sosrokartono yang juga punya nama lain yaitu Joko Pring dan Mandor Klungsu?

Jangan sampai deh peringatan Hari Kartini direduksi menjadi sekedar Kain, Konde dan selebrasi tanpa makna. Kasian generasi muda negeri ini yang menghayati Hari Kartini menjadi sekedar Hari Pakaian Daerah....dan hasilnya hanya membuat seorang emak sakit kepala tiada akhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun