Lonceng angin itu tergantung di gerbang masuk SD pemerintah tempat kami berdua menghabiskan masa belajar selama enam tahun. Terbuat dari batang perunggu  berbentuk bambu dipadukan lempengan logam yang pipih. Tatkala angin bertiup kita bisa mendengarkan suaranya yang nyaring, mirip siulan malaikat. Membangkitkan suasana hening dan magis.
Aku tidak tahu sejak kapan lonceng itu ada. Mungkin setara usia sekolah kami yang lebih dari setengah abad dan kian renta dimakan waktu.
Di pojokan kiri gerbang bertengger sebuah pohon Cermai yang sarat daun maupun buahnya. Di bawah pohon itulah aku dan Kencana betah duduk menikmati jam jeda maupun istirahat makan siang kami. Mendengarkan suara lonceng diselingi kicauan Kencana yang ceria dan selalu riang. Ia kerap membagikan bekal makan siang masakan ibuku kepadaku. Lauknya mewah dan sangat beragam. Mungkin ibu sengaja menyediakan porsi banyak untuknya agar bisa disisihkan sebagian untuk putranya.
Telah semenjak usiaku tiga tahun ibu bekerja untuk keluarga pak Tjokro, ayah Kencana. Ia seorang peternak ulat sekaligus produsen benang maupun kain sutra berkelas tinggi. Salah satu pengusaha paling kaya di desa kami. Ibu menjadi juru masak disana, semenjak ayah meninggal karena terjatuh dari pohon kelapa ketika tengah menyadap nira untuk dibuat gula merah.
Kami sungguh tidak punya apa-apa. Menggantungkan hidup sepenuhnya kepada keluarga tersebut. Bahkan rumah berukuran enampuluh meter persegi - bekas dangau tak berfungsi - yang kami tinggali kini juga milik keluarga pak Tjokro. Letaknya di sudut desa. Berdampingan dengan hutan bakau yang jarang dilewati orang. Rumah kami tak kalah renta dengan suasana desa kami. Dilapisi dinding bata yang fungsinya sekedar menahan kami dari hembusan udara luar yang lembab dan dingin.
Satu-satunya pemanis hidup untukku hanyalah Kencana. Karena kami seusia. Tumbuh, bermain dan bersekolah di tempat yang sama. Karena dia adalah pusat napas dan hidupku. Yang membuatku memiliki secercah harapan guna mengukir masa depan bersama.
Desanya bernama  Subur Makmur. Namun pada hakekatnya desa setingkat kecamatan berpenduduk sekitar seratus limapuluh keluarga tersebut hanya dinikmati tiga keluarga saja.
Yang pertama keluarga pak Tjokro. Kedua seorang pedagang besar yang menguasai sendi-sendi perekonomian dari hulu sampai ke hilir. Menyerap hasil kebun dan pertanian penduduk. Lalu mengirimkannya ke berbagai kota besar di pulau Jawa. Selain itu ia juga menjadi agen berbagai produk kebutuhan sehari-hari yang pada masa itu nyaris dikuasai Unilever. Menguasai penjualan minyak, semen, sandang dan papan.
Sang kepala keluarga bernama pak Charles. Seorang lelaki gendut, bermata sipit dan angkuh. Istrinya seorang noni Belanda yang memiliki tinggi badan sepuluh cm diatas pasangannya. Sangat cantik dan dingin. Ditunjang oleh bentuk hidungnya yang bengkok memberi kesan kejam tak berperikemanusiaan.
Konon sang nyonya rumah tak segan-segan mencambuk pembantunya yang berbuat salah. Salah satu diantaranya pernah dilarikan ke rumahsakit dan meninggal di sana. Namun tidak pernah diproses secara hukum.
Yang ketiga adalah keluarga pak Brahmanto, sang Kepala Desa. Ia menikmati kekayaannya dengan cara menjadikan dua keluarga lainnya sebagai sapi perahan. Melalui penggelapan pajak dan berbagai macam permainan tender.
Lantas sisanya? Kebanyakan adalah petani guram, pekerja ladang. Atau mengabdikan seluruh hidupnya menjadi pelayan bagi ketiga keluarga yang mencengkeram hidup kami bagai gurita raksasa. Membuat kami selalu miskin dan sesak napas.
Pak Charles dan ibu Corry -istrinya - punya tiga orang anak. Â Semuanya putra. Si bungsu adalah teman sekolah kami, namanya David. Usianya dua tahun lebih tua daripada kami. Namun duduk di kelas yang sama dengan kami lantaran dua kali tidak naik kelas.
Semenjak bocah ia sudah memasukkan Kencana kedalam radar buruannya. Kerap mengusik dan melontarkan kata-kata cabul untuk menarik perhatian gadis paling cantik di desa kami ini. Sayang sikapnya justru membuat teman karibku  menjadi sebal. Selalu berusaha menjauhkan diri dari bocah tambun dengan bentuk hidung mirip ibunya sedangkan mata mirip ayahnya tersebut.
Mungkin karena iri terhadap kedekatanku dengan gadis yang diincarnya, semenjak kanak-kanak aku kenyang mendapat perlakuan buruk dari David. Dia bukan hanya melontarkan ejekan penghinaan atas statusku sebagai anak pelayan, sesekali ia juga melakukan perundungan secara fisik kepadaku. Mengeroyokku bersama beberapa temannya. Membuatku jatuh tersungkur dan babak belur. Namun aku lebih sering pasrah dan menjauhinya ketimbang melawan. Itu semua kulakukan demi ibuku.
Hidup kami susah. Aku tidak ingin menambahkan kesusahan kami dengan memusuhi anak salah satu keluarga terpandang di tempat kami hidup dan mengais rezeki. Jadi sejak kecil aku sudah belajar berdamai dengan nasib. Bertahan dan bersabar. Membentukku menjadi anak yang bersikap jauh lebih matang ketimbang teman-teman sebaya. Kurasa inilah yang membuat Kencana yang kesepian amat dekat denganku. Karena ia anak tunggal dan dilahirkan tatkala usia ibunya sudah empat puluh satu tahun sementara sang ayah berumur setengah abad.
Kencana kusebut sebagai pengkhayal yang indah. Waktu itu usia kami sudah tiga belas tahun. Duduk sebangku di kelas dua SMP. Ia tumbuh bongsor karena kecukupan gizi yang disediakan ibuku untuknya. Sementara badanku kerempeng. Karena aku dan ibu setiap hari hanya mengkonsumsi sisa-sisa makanan dari dapur rumah pak Tjokro. Namun itu membuatku tetap berbesar hati menjalin kekariban dengan satu-satunya gadis yang kukenal semenjak bocah.
Dibawah rindangan pohon Cermai sambil menikmati suara lonceng gadis itu mengukir mimpinya sambil menatap langit biru dengan matanya yang bening dan teduh. Mata yang mengungkapkan kelembutan serta kebaikan hati pemiliknya.
"Kelak aku ingin menjadi angin," ucapnya seraya mengulurkan tangan. Meremas jari-jariku begitu erat.
"Supaya bebas bisa terbang kemana-mana," lanjutnya. "Termasuk menerbangkanmu bersamaku."
Aku hanya menunduk haru. Menganggap itu omongan bocah yang mimpinya liar sehingga berkembang kemana-mana. Bocah yang tidak membumi, karena dari lahir tidak pernah hidup susah. Ia tidak pernah bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Hidupnya sendiri sudah seindah impian yang menjadi harapan kami semua: cantik, kaya dan manja.
Di sisi lain aku memiliki hari gersang tanpa mimpi. Karena semua yang kuhadapi adalah realita. Setiap pagiku dibangun dengan tekad melangkah lebih maju dan lebih maju. Hingga suatu ketika berhak menangkap mimpi yang seindah kenyataan hidup.
Saat itu satu-satunya mimpiku adalah Kencana yang ingin berubah menjadi angin!
Kelak aku begitu berharap apa yang ia ungkapkan bisa menjadi kenyataan. Aku ingin terbang membubung tinggi bersamanya.
Kami sudah duduk di kelas satu SMA tatkala tragedi dalam hidupku terjadi.
Seperti biasa setiap ada jam jeda pelajaran aku dan Kencana akan duduk dibawah naungan pohon Cermai yang makin menua seiring pertambahan usia kami yang mulai melangkah menuju masa remaja. Pada masa itu kami seperti tidak membutuhkan siapapun guna memperlebar sayap pergaulan dalam mengisi masa muda kami yang penuh semangat. Dunia ini hanya milik kami berdua, terkurung dalam sebuah bola kristal yang bening dan indah. Mereka bisa melihat tanpa pernah bisa menjamah kami. Termasuk David yang entah bagaimana sepertinya ingin menghantam dan menghancurkan bola kristal tersebut guna menerobos masuk ke dunia kami. Itulah yang kemudian ia lakukan.
Aku dan Kencana tengah asyik duduk berdua sambil berbincang  ringan seusai jam pelajaran berakhir tatkala pak Tjokro datang dengan langkah lebarnya yang tergesa-gesa menghambur ke arah kami dengan raut wajah murka. Berjarak sekitar sepuluh meter di belakang beliau David menatap kami dengan wajahnya yang menyeringai beringas. Aku tidak tahu apa yang sudah dikatakannya kepada ayah Kencana sehingga mampu mengundang kemarahan begitu besar.
Tanpa basa-basi ia mencengkeram bahuku dan menarikku berdiri seraya melayangkan kepalannya ke wajahku.
"Bajingan busuk, apa yang sudah kau lakukan terhadap putriku?"
Aku jatuh terjerembab menghujam ke tanah tanpa tahu alasannya. Memandang majikan ibuku tersebut dengan tatapan ngeri. Kencana menyaksikan peristiwa itu dengan ekspresi terkejut disertai jeritan ketakutan.
"Papa.... Apa yang sudah kau lakukan!"
"Anak babu kurang-ajar. Berani-beraninya mengencani putriku!"
Ia berteriak kesetanan sambil menyeret Kencana menjauhiku yang pada saat itu masih terbaring di tanah kesakitan. Pandanganku nanar merasakan wajahku yang perih dan panas. Sementara David melangkah di atasku seraya melayangkan tendangan berulang kali ke tubuhku yang hanya mampu meringkuk mencoba mempertahankan diri. Berulangkali ia melontarkan umpatan kasar bernada menghina yang tidak mampu kucerna di tengah rasa sakit di sekujur tubuh maupun wajahku. Aku hanya bisa pasrah menerima luapan dengki dan amarahnya kepadaku yang sudah ia semai semenjak kanak-kanak hingga tuntas.
Setelah suasana mereda aku tersaruk-saruk pulang. Menelusuri jalan sama yang baru saja ditempuh pak Tjokro guna merengut Kencana dari hidupku.
Hari itu kedua orangtua Kencana memutuskan memecat ibu dan mengusir kami pergi dari gubuk reyot yang sudah kami tinggali sepuluh tahun lebih.
Dengan pilu aku menyaksikan ibu bersujud di hadapan kedua junjungannya, memohon belas kasihan mereka agar membiarkan kami tinggal. Karena kami sungguh tidak tahu harus pergi kemana bila mereka mengusir kami. Namun keduanya tak bergeming. Bu Tjokro dengan kasar mengibaskan tangan ibu yang mencoba memeluk kakinya. Aku belum pernah melihat ibu mampu menempatkan dirinya sehina dan serendah itu di hadapan sesama manusia. Menancapkan duri paling menyakitkan dalam sanubariku yang takkan pernah kulupakan.
                                   ***
Malam itu dibawah guyuran hujan deras disertai sambaran petir aku dan ibu menerobos cuaca sambil membawa beberapa potong pakaian yang tergulung dalam sebuah kain usang beranjak pergi dari desa kelahiranku - tempat ayahku dimakamkan - bagaikan dua ekor anjing kudisan menuju ke pangkalan  tak jauh dari desa. Tempat berkumpulnya truk yang memuat hasil bumi untuk diberangkatkan ke Jakarta. Ibu berharap ada yang bersedia memberi kami tumpangan  ke ibukota. Yang ingin kami tuju adalah rumah paman Bejo, adik  ibu yang membuka usaha warteg di pinggiran kota.
Aku sebetulnya kurang begitu mengenal adik ibuku tersebut, karena sejak masih sangat muda ia sudah pergi mencoba mengadu nasib di ibukota. Menurut cerita ibu semenjak tamat SMP.
Mereka berasal dari keluarga sangat sederhana. Kakekku buruh tani sementara nenekku hanya bekerja paruh waktu sebagai tukang masak dan pencuci pakaian di sebuah keluarga TNI berpangkat rendah. Mereka cuma dua bersaudara, sehingga dalam keadaan putusasa ibu memutuskan pergi menemui sang adik guna mengulurkan tangan membantu kami.
Sore itu kami tiba di Bekasi dalam kondisi sangat mengenaskan. Sekujur tubuh kotor dan berbau keringat. Yang kami bawa hanya gulungan beberapa potong pakaian beserta beberapa ratus ribu rupiah tabungan ibu yang ia simpan dalam sebuah kaleng bekas susu Bendera. Keluarga yang memiliki tiga anak balita tersebut menerima kami dengan gagap. Tidak tahu bagaimana bersikap. Untuk menghindari situasi yang kurang mengenakkan bibi langsung membawa ketiga anaknya masuk ke dalam rumah yang sebagian ruangannya digunakan untuk memasak dan mempersiapkan tumisan, gorengan serta kudapan untuk dijual di wartegnya yang buka dari siang hingga jam 9 malam.
Dengan nada mendesak ibu memohon kepada sang adik agar sudi menerima kami berdua. Ia berjanji akan mengerahkan segala kemampuan serta tenaganya guna membantu pekerjaan di dapur paman. Tidak usah digaji, asal kami bisa menumpang makan dan aku bisa dibiayai untuk melanjutkan sekolah.
Dalam waktu kurang dari tiga hari aku menyaksikan ibu kandungku berlutut -kali ini di hadapan adik kandungnya - guna menyelamatkan nasib kami yang sudah kukacaukan gara-gara mabok cinta. Â
Wanita paruhbaya itu tak satu kalipun menegur atau menyalahkanku. Aku juga tidak melihatnya menitikkan air mata. Raut mukanya membaja, nyaris tanpa ekspresi. Bahkan tatkala ia harus merendahkan martabat dan harga dirinya demi kelanjutan hidup kami berdua.
Aku menyaksikan ulah ibu dengan kecamuk rasa benci dan dendam kesumat. Berjanji tidak akan pernah lagi membiarkannya berlutut di hadapan siapapun untuk ketiga kalinya. Aku bersumpah pada diri sendiri semenjak hari itu akan melakukan apapun guna mempersiapkan masa depan kami berdua. Aku siap merangkak setapak demi setapak hingga punya kekuatan untuk bangkit dan berdiri ditopang kaki sendiri.
Demikianlah kami membuka lembaran hidup baru yang penuh  derita, namun tidak berputus asa.
Semenjak hari itu ibu mencurahkan segenap keahliannya memasak guna menancapkan pengaruhnya di dapur paman Bejo yang sebagian besar karyawannya direkrut dari desa Sidapurna dan Krandon di kabupaten Tegal.
Ibu memiliki ketrampilan yang luar biasa dalam menyajikan beragam masakan serta membuat sambal. Kemampuannya kian terasah semenjak menjadi koki utama dalam keluarga pak Tjokro. Aneka tumisan sayur dan gorengan mampu ia sajikan. Termasuk beragam unggas, ikan dan daging berkelas yang diolah dahulu guna menjamu tamu-tamu pak Tjokro.
Kini kemampuan itu berhasil dimanfaatkan pamanku untuk menambah puluhan menu baru wartegnya yang kini makin laris semenjak kehadiran ibu.
Salah satu kepiawaian ibu adalah membuat berbagai jenis sambal yang sangat digemari pelanggan. Dengan demikian  ibu memiliki posisi tawar tinggi di hadapan adiknya. Ia segera menuntut paman agar bersedia membiayai kuliahku di perguruan tinggi negeri yang berhasil kumasuki berkat prestasi belajarku di bangku SMA.
Masa-masa berat penuh perjuangan berhasil kami jalani karena dorongan kebencianku terhadap garis nasib yang kurasakan tidak adil terhadap kami. Beberapa tahun lamanya kami harus tidur di dapur sesudah selesai memasak dan dibersihkan. Hanya beralaskan tikar. Karena rumah paman Bejo cukup sempit. Tidak punya ruang yang cukup bagi kami berdua. Akibatnya jam tidur kami amat pendek. Dari jam sebelas malam hingga jam empat subuh tatkala dapur harus difungsikan untuk mempersiapkan 40 macam menu bagi warteg paman.
Waktuku habis tercurah hanya untuk belajar. Aku harus meredam seluruh emosi agar tidak terpuruk mengasihani diri sendiri. Termasuk menyisihkan gelora cinta serta rasa rinduku terhadap Kencana. Bagiku saat itu cinta menjadi terlalu mahal untuk dihayati. Aku harus menganulirnya hingga tiba saatnya kelak memiliki cukup modal serta martabat guna menghadap dan meminang putri pak Tjokro. Gadis yang telah menjadi obsesiku sepanjang hidup.
Setelah menjalani masa belajar yang berat guna mempersingkat waktu kuliah aku berhasil lulus menjadi seorang arsitek tatkala usiaku 24 tahun. Sesudahnya aku bergabung dengan perusahaan konstruksi yang cukup besar sebagai tenaga ahli perencanaan pembangunan. Karierku cukup cemerlang. Dalam waktu beberapa tahun mampu mendirikan perusahaan berpartner dengan dua orang bekas teman kuliah. Setahap demi setahap kami melangkah menyambut masa depan yang lebih menjanjikan.
Pada masa itu kesehatan ibu makin merosot. Buku-buku jarinya mengeras karena terlalu sering digunakan untuk mengulek sambal. Ibu menderita Trigger Fingernyang cukup parah sehingga sulit digerakkan.Sudah tiba masanya pahlawan dalam hidupku itu berhenti bekerja karena secara finansial aku sudah mampu membiayai dan menyejahterakan dirinya. Jadi setelah sepuluh tahun turut memajukan wartegnya kami pamit kepada paman Bejo dan keluarganya. Pindah ke sebuah rumah sederhana yang berhasil kubeli dengan cara mencicil.
Kini waktuku telah tiba guna menyambung kembali kisah cinta masa remajaku dengan Kencana. Satu-satunya gadis yang mengisi setiap relung jiwaku. Gadis yang selama hampir satu dasa warsa ini nyaris kuabaikan dalam benakku, karena waktu padatku kuisi  mempersiapkan masa depan kami berdua.
                                 ***
Desa Subur Makmur tampil dalam wajah kusam seperti sebelum kutinggalkan. Alur kehidupan berjalan lambat sebagaimana umumnya desa agraris yang mayoritas penduduknya hidup bertumpu dari hasil bumi dan alam. Suasananya lengang berselimut kabut. Tanpa banyak menunjukkan aktivitas warganya.
Aku tiba di sana tatkala hari masih pagi sekali. Menyusuri jalanan batu berlumpur menuju ke rumah pak Tjokro dengan lingkungan sekitar yang sama sekali tak tersentuh roda pembangunan. Nyaris tanpa perubahan. Atau terlalu banyak berubah bagai tergulung masa?
Yang tampil di hadapanku hanyalah puing-puing, sisa bangunan yang kelihatan habis dilalap sang jago merah. Bangunan yang dahulu begitu megah berwarna hijau, bergaya keratonan.
Aku terpana bagai menyaksikan ending sebuah filem. Tidak mampu mencerna keadaan. Tidak bisa membayangkan bagaimana kini nasib keluarga pak Tjokro yang dulu begitu perkasa, dingin dan angkuh. Keluarga yang begitu bengis -dalam waktu satu hari - menjerembapkan kami ke jurang kenistaan dan kepapaan.
Membawa kecamuk perasaan yang beragam aku berjalan meninggalkan reruntuhan yang kini dikelilingi pagar seng berkarat, tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tujuanku adalah bekas sekolah kami. Karena hanya dari situ aku berharap dapat memperoleh informasi keberadaan keluarga tersebut, terutama buah cintaku Kencana.
Aku lupa ini adalah hari Minggu, sehingga tidak nampak aktivitas belajar sama sekali. Namun itu tak menyurutkan hasratku kembali ke tempat kami dulu memadu kasih dan janji, sebuah bangku semen dibawah naungan pohon Cermai.
Bangku kotak dengan panjang 2 meter itu kini diselimuti lumut kering. Menandakan tidak pernah diduduki dan terlupakan keberadaannya. Pohon di atasnya juga kelihatan meranggas dimakan hama serta usia. Untunglah lonceng angin yang tergantung di pintu gerbang masih bertengger anggun. Tak lekang dimakan jaman. Menguarkan bunyi nyaring yang sayup tertelan deru angin selatan di musim pancaroba.
Menarik napas panjang aku duduk di bangku tersebut. Mengaktifkan kembali kenangan terhadap gadis masa kecilku yang begitu kukangeni, namun  tidak kuketahui keberadaannya kini.
Aku rindu derai tawa Kencana yang lepas dan renyah. Tawa seorang gadis yang semenjak lahir tak pernah dirundung duka. Rindu pada tatapannya yang jernih kepadaku. Menyorotkan rasa kasih serta ketulusan tanpa sekat, walaupun aku hanya anak seorang pelayan. Dimana engkau kini tambatan jiwaku? Bukankah aku sudah menyelesaikan tugasku meraih masa depan yang layak guna ditunjukkan terhadap keluargamu?
Berteman deru angin dan suara lonceng aku terduduk di bangku yang sejatinya membuat pantatku mengeras dan tulang ekorku seperti tertindih batu hingga langit mulai bergulir menuju titik kulminasi. Mengirimkan bayang-bayang panas mendera kulitku. namun tak menyurutkan niatku tetap berada di situ. Menunggu angin mengirimkan isyarat kehadiranku kepada Kencana.
Menjelang sore sesosok bayangan berjalan merunduk menghampiriku.
"Pulanglah nak. Gadis yang kau tunggu tidak akan datang," bisiknya. Suaranya parau dan gemetar.
Seketika aku bisa mengenalinya sebagai mbok Ngasem, partner kerja ibuku di rumah pak Tjokro dulu. Wanita gesit itu kini terlihat renta dan bungkuk. Punggungnya tersandera Kyphosis yang membuatnya sulit bergerak. Dari dialah aku mengetahui tragedi yang menimpa keluarga pak Tjokro tak berapa lama setelah ia mengusir kami dari rumahnya.
Hanya setengah tahun setelah kepergian kami peternakan ulat sutra milik pak Tjokro tiba-tiba diserang virus yang nyaris memusnahkan seluruh populasi akibat kurang sterilnya lingkungan. Akibatnya keluarga tersebut kesulitan memenuhi pesanan benang dan kain sutra yang sudah dibayar oleh pelanggan. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas keluarga tersebut terpaksa meminta bantuan keuangan kepada pak Charles yang selama ini memang menjadi salah seorang distributor produk pak Tjokro.
Malapetaka berikutnya terjadi dua tahun setelah bisnis pak Tjokro ambruk. Rumah tinggal mereka yang bagai keraton tersebut tiba-tiba terbakar. Hampir memusnahkan seluruh bangunan. Semenjak saat itulah hasib keluarga tersebut jatuh di cengkeraman tangan  pak Charles yang sebenarnya telah lama berhasrat menjalin hubungan kekerabatan dengan salah satu mantan orang terkaya di desa kami tersebut.
Tekanan pun mulai dilakukan pak Charles agar ayah Kencana segera membereskan utang-utangnya yang kian hari kian menggunung akibat bunga yang dikenakan cukup tinggi dan ia tidak mampu mencicilnya sepeser pun.
Dengan berat hati pak Tjokro menerima pinangan keluarga tersebut terhadap putri tunggal kesayangan mereka yang sudah lama diincar oleh David. Guna menyelamatkan keluarga Kencana mematuhi keinginan ayahnya untuk dinikahkan dengan pemuda yang selama ini menjadi duri bagi kami berdua.
Demikianlah kekasihku harus menjalani kehidupan bagai neraka semenjak pernikahannya. Karena pada saat itu status mereka tidaklah setara. Kencana lebih dipandang sebagai alat bayar utang ketimbang menantu atau istri dalam keluarga itu. Sepanjang pernikahannya pujaan hatiku menjadi bulan-bulanan suami yang semenjak kanak-kanak tahu sang istri tidak pernah tertarik apalagi mencintainya.
Setahun setelah pernikahan Kencana melahirkan seorang putri. Sayangnya itu tidak mampu mengurangi kebrutalan sikap David terhadapnya. Bahkan kian menjadi-jadi.
David kerap mengundang beberapa teman  ke rumah. Mengadakan pesta miras dan narkoba. Lelaki mesum itu senang melecehkan sang istri dihadapan teman-temannya secara sexual. Menyuruh mereka menggilir dan memperkosa kencana di hadapannya.
Beberapa tahun diperlakukan seperti itu suatu hari Kencana tidak tahan lagi. Hari itu David kembali mengundang tiga lelaki yang sama bejatnya ke rumah. Dalam kondisi terpengaruh narkotika ia menyeret Kencana ke ruang keluarga. Menyuruh kedua teman memegangi kedua tangannya, lalu menelanjanginya.
Dengan pandangan dingin dirasuki amarah yang sudah mencapai puncaknya Kencana membiarkan para teman dan suaminya bergantian memperkosanya. Setelah mereka pulang dan David terkapar di kamar ia pergi ke dapur. Mengambil sebilah pisau lalu menikamnya bertubi-tubi ke tubuh suaminya.
Dalam keadaan terluka parah lelaki yang berat badannya mencapai 110 kg tersebut sempat melakukan perlawanan. Ia berhasil meraih kaki Kencana hingga terguling. Lalu merebut pisau dan balas menikam sang istri beberapa kali.
David tewas kehabisan darah dalam peristiwa tersebut. Kencana sempat dilarikan ke rumahsakit. Setelah empat hari mendapat perawatan nyawanya tak bisa diselamatkan.
Pada saat peristiwa yang mengguncang desa itu terjadi pak Tjokro sudah meninggal. Tak tahan menghadapi bencana tersebut kondisi bu Tjokro menjadi sangat terpuruk. Ia berpulang tiga bulan setelah kepergian putrinya.
Nasib putri Kencana yang menjadi yatim piatu dalam usia tiga tahun tak kalah memilukan. Pak Charles dan bu Corry tak bersedia mengakui bocah itu sebagai cucu mereka lantaran dilahirkan dari rahim seorang pembunuh. Sang kepala desa lantas mengirimnya ke sebuah panti asuhan milik departemen sosial sebagai anak terlantar.
                                   ***
Pagi buta aku memutuskan meninggalkan desa yang telah menorehkan jejak-jejak berdarah dalam batinku bersama Della yang bisa kuajak serta berkat bantuan mbok  Ngasem. Mantan pengasuh Kencana itu berhasil meyakinkan pengurus panti, bahwa aku pantas menjadi ayah angkat bagi gadis kecil tersebut, seperti yang diamanatkan ibunya beberapa saat sebelum meninggal.
Kencana begitu yakin suatu saat aku pasti akan datang menjemputnya, tutur satu-satunya pelayan setia yang tersisa dalam keluarga pak Tjokro.
Gadis cilik yang kini menginjak usia lima tahun itu nampak begitu antusias menyambut pengalamannya naik kereta api menuju ibu kota. Ia kududukkan di sebelah jendela agar dapat menikmati seluruh pemandangan yang silih berganti sepanjang perjalanan kami selama enam jam.
Dengan ceriwis ia terus menerus melontarkan pertanyaan dengan susunan katanya yang kacau-balau kepadaku tentang apa saja yang berhasil ia tanggap dengan mata bulatnya yang begitu bening dan indah. Tentang bentangan sawah dan anak petani yang duduk di atas kerbau, tentang deretan rumah kumuh di sepanjang jalur kereta api. Juga tentang rumah masa depan kami di Jakarta yang sudah barang tentu tak sebesar dan semegah rumahnya dulu. Namun aku berusaha meyakinkannya, rumah itu akan menjadi hunian yang dipenuhi cinta dan kehangatan. Karena ia akan punya seorang nenek berhati lembut dan pandai memasak. Ia bisa minta dimasakkan apa saja, sesuai keinginannya. Aku juga akan mengirimkannya ke sekolah dan mendampinginya membuat PR. Serta mengajaknya jalan-jalan ke Dufan dan Ancol bila hari libur tiba.
Lelah berceloteh akhirnya gadis itu mengantuk. Tak lama kemudian tertidur dalam pelukanku. Membangkitkan kerinduan dan kenanganku kepada ibunya. Wanita malang yang sangat kucintai, yang punya cita-cita konyol dan sederhana. Dia hanya ingin menjadi angin agar bisa membawaku terbang bersamanya (fan.c)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI