Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lonceng Angin

22 Januari 2025   02:31 Diperbarui: 22 Januari 2025   02:31 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Demikianlah kami membuka lembaran hidup baru yang penuh  derita, namun tidak berputus asa.
Semenjak hari itu ibu mencurahkan segenap keahliannya memasak guna menancapkan pengaruhnya di dapur paman Bejo yang sebagian besar karyawannya direkrut dari desa Sidapurna dan Krandon di kabupaten Tegal.
Ibu memiliki ketrampilan yang luar biasa dalam menyajikan beragam masakan serta membuat sambal. Kemampuannya kian terasah semenjak menjadi koki utama dalam keluarga pak Tjokro. Aneka tumisan sayur dan gorengan mampu ia sajikan. Termasuk beragam unggas, ikan dan daging berkelas yang diolah dahulu guna menjamu tamu-tamu pak Tjokro.
Kini kemampuan itu berhasil dimanfaatkan pamanku untuk menambah puluhan menu baru wartegnya yang kini makin laris semenjak kehadiran ibu.
Salah satu kepiawaian ibu adalah membuat berbagai jenis sambal yang sangat digemari pelanggan. Dengan demikian  ibu memiliki posisi tawar tinggi di hadapan adiknya. Ia segera menuntut paman agar bersedia membiayai kuliahku di perguruan tinggi negeri yang berhasil kumasuki berkat prestasi belajarku di bangku SMA.

Masa-masa berat penuh perjuangan berhasil kami jalani karena dorongan kebencianku terhadap garis nasib yang kurasakan tidak adil terhadap kami. Beberapa tahun lamanya kami harus tidur di dapur sesudah selesai memasak dan dibersihkan. Hanya beralaskan tikar. Karena rumah paman Bejo cukup sempit. Tidak punya ruang yang cukup bagi kami berdua. Akibatnya jam tidur kami amat pendek. Dari jam sebelas malam hingga jam empat subuh tatkala dapur harus difungsikan untuk mempersiapkan 40 macam menu bagi warteg paman.
Waktuku habis tercurah hanya untuk belajar. Aku harus meredam seluruh emosi agar tidak terpuruk mengasihani diri sendiri. Termasuk menyisihkan gelora cinta serta rasa rinduku terhadap Kencana. Bagiku saat itu cinta menjadi terlalu mahal untuk dihayati. Aku harus menganulirnya hingga tiba saatnya kelak memiliki cukup modal serta martabat guna menghadap dan meminang putri pak Tjokro. Gadis yang telah menjadi obsesiku sepanjang hidup.

Setelah menjalani masa belajar yang berat guna mempersingkat waktu kuliah aku berhasil lulus menjadi seorang arsitek tatkala usiaku 24 tahun. Sesudahnya aku bergabung dengan perusahaan konstruksi yang cukup besar sebagai tenaga ahli perencanaan pembangunan. Karierku cukup cemerlang. Dalam waktu beberapa tahun mampu mendirikan perusahaan berpartner dengan dua orang bekas teman kuliah. Setahap demi setahap kami melangkah menyambut masa depan yang lebih menjanjikan.
Pada masa itu kesehatan ibu makin merosot. Buku-buku jarinya mengeras karena terlalu sering digunakan untuk mengulek sambal. Ibu menderita Trigger Fingernyang cukup parah sehingga sulit digerakkan.Sudah tiba masanya pahlawan dalam hidupku itu berhenti bekerja karena secara finansial aku sudah mampu membiayai dan menyejahterakan dirinya. Jadi setelah sepuluh tahun turut memajukan wartegnya kami pamit kepada paman Bejo dan keluarganya. Pindah ke sebuah rumah sederhana yang berhasil kubeli dengan cara mencicil.
Kini waktuku telah tiba guna menyambung kembali kisah cinta masa remajaku dengan Kencana. Satu-satunya gadis yang mengisi setiap relung jiwaku. Gadis yang selama hampir satu dasa warsa ini nyaris kuabaikan dalam benakku, karena waktu padatku kuisi  mempersiapkan masa depan kami berdua.

                                                                  ***

Desa Subur Makmur tampil dalam wajah kusam seperti sebelum kutinggalkan. Alur kehidupan berjalan lambat sebagaimana umumnya desa agraris yang mayoritas penduduknya hidup bertumpu dari hasil bumi dan alam. Suasananya lengang berselimut kabut. Tanpa banyak menunjukkan aktivitas warganya.
Aku tiba di sana tatkala hari masih pagi sekali. Menyusuri jalanan batu berlumpur menuju ke rumah pak Tjokro dengan lingkungan sekitar yang sama sekali tak tersentuh roda pembangunan. Nyaris tanpa perubahan. Atau terlalu banyak berubah bagai tergulung masa?
Yang tampil di hadapanku hanyalah puing-puing, sisa bangunan yang kelihatan habis dilalap sang jago merah. Bangunan yang dahulu begitu megah berwarna hijau, bergaya keratonan.
Aku terpana bagai menyaksikan ending sebuah filem. Tidak mampu mencerna keadaan. Tidak bisa membayangkan bagaimana kini nasib keluarga pak Tjokro yang dulu begitu perkasa, dingin dan angkuh. Keluarga yang begitu bengis -dalam waktu satu hari - menjerembapkan kami ke jurang kenistaan dan kepapaan.
Membawa kecamuk perasaan yang beragam aku berjalan meninggalkan reruntuhan yang kini dikelilingi pagar seng berkarat, tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tujuanku adalah bekas sekolah kami. Karena hanya dari situ aku berharap dapat memperoleh informasi keberadaan keluarga tersebut, terutama buah cintaku Kencana.

Aku lupa ini adalah hari Minggu, sehingga tidak nampak aktivitas belajar sama sekali. Namun itu tak menyurutkan hasratku kembali ke tempat kami dulu memadu kasih dan janji, sebuah bangku semen dibawah naungan pohon Cermai.
Bangku kotak dengan panjang 2 meter itu kini diselimuti lumut kering. Menandakan tidak pernah diduduki dan terlupakan keberadaannya. Pohon di atasnya juga kelihatan meranggas dimakan hama serta usia. Untunglah lonceng angin yang tergantung di pintu gerbang masih bertengger anggun. Tak lekang dimakan jaman. Menguarkan bunyi nyaring yang sayup tertelan deru angin selatan di musim pancaroba.
Menarik napas panjang aku duduk di bangku tersebut. Mengaktifkan kembali kenangan terhadap gadis masa kecilku yang begitu kukangeni, namun  tidak kuketahui keberadaannya kini.
Aku rindu derai tawa Kencana yang lepas dan renyah. Tawa seorang gadis yang semenjak lahir tak pernah dirundung duka. Rindu pada tatapannya yang jernih kepadaku. Menyorotkan rasa kasih serta ketulusan tanpa sekat, walaupun aku hanya anak seorang pelayan. Dimana engkau kini tambatan jiwaku? Bukankah aku sudah menyelesaikan tugasku meraih masa depan yang layak guna ditunjukkan terhadap keluargamu?
Berteman deru angin dan suara lonceng aku terduduk di bangku yang sejatinya membuat pantatku mengeras dan tulang ekorku seperti tertindih batu hingga langit mulai bergulir menuju titik kulminasi. Mengirimkan bayang-bayang panas mendera kulitku. namun tak menyurutkan niatku tetap berada di situ. Menunggu angin mengirimkan isyarat kehadiranku kepada Kencana.
Menjelang sore sesosok bayangan berjalan merunduk menghampiriku.
"Pulanglah nak. Gadis yang kau tunggu tidak akan datang," bisiknya. Suaranya parau dan gemetar.
Seketika aku bisa mengenalinya sebagai mbok Ngasem, partner kerja ibuku di rumah pak Tjokro dulu. Wanita gesit itu kini terlihat renta dan bungkuk. Punggungnya tersandera Kyphosis yang membuatnya sulit bergerak. Dari dialah aku mengetahui tragedi yang menimpa keluarga pak Tjokro tak berapa lama setelah ia mengusir kami dari rumahnya.

Hanya setengah tahun setelah kepergian kami peternakan ulat sutra milik pak Tjokro tiba-tiba diserang virus yang nyaris memusnahkan seluruh populasi akibat kurang sterilnya lingkungan. Akibatnya keluarga tersebut kesulitan memenuhi pesanan benang dan kain sutra yang sudah dibayar oleh pelanggan. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas keluarga tersebut terpaksa meminta bantuan keuangan kepada pak Charles yang selama ini memang menjadi salah seorang distributor produk pak Tjokro.
Malapetaka berikutnya terjadi dua tahun setelah bisnis pak Tjokro ambruk. Rumah tinggal mereka yang bagai keraton tersebut tiba-tiba terbakar. Hampir memusnahkan seluruh bangunan. Semenjak saat itulah hasib keluarga tersebut jatuh di cengkeraman tangan  pak Charles yang sebenarnya telah lama berhasrat menjalin hubungan kekerabatan dengan salah satu mantan orang terkaya di desa kami tersebut.
Tekanan pun mulai dilakukan pak Charles agar ayah Kencana segera membereskan utang-utangnya yang kian hari kian menggunung akibat bunga yang dikenakan cukup tinggi dan ia tidak mampu mencicilnya sepeser pun.
Dengan berat hati pak Tjokro menerima pinangan keluarga tersebut terhadap putri tunggal kesayangan mereka yang sudah lama diincar oleh David. Guna menyelamatkan keluarga Kencana mematuhi keinginan ayahnya untuk dinikahkan dengan pemuda yang selama ini menjadi duri bagi kami berdua.
Demikianlah kekasihku harus menjalani kehidupan bagai neraka semenjak pernikahannya. Karena pada saat itu status mereka tidaklah setara. Kencana lebih dipandang sebagai alat bayar utang ketimbang menantu atau istri dalam keluarga itu. Sepanjang pernikahannya pujaan hatiku menjadi bulan-bulanan suami yang semenjak kanak-kanak tahu sang istri tidak pernah tertarik apalagi mencintainya.

Setahun setelah pernikahan Kencana melahirkan seorang putri. Sayangnya itu tidak mampu mengurangi kebrutalan sikap David terhadapnya. Bahkan kian menjadi-jadi.
David kerap mengundang beberapa teman  ke rumah. Mengadakan pesta miras dan narkoba. Lelaki mesum itu senang melecehkan sang istri dihadapan teman-temannya secara sexual. Menyuruh mereka menggilir dan memperkosa kencana di hadapannya.
Beberapa tahun diperlakukan seperti itu suatu hari Kencana tidak tahan lagi. Hari itu David kembali mengundang tiga lelaki yang sama bejatnya ke rumah. Dalam kondisi terpengaruh narkotika ia menyeret Kencana ke ruang keluarga. Menyuruh kedua teman memegangi kedua tangannya, lalu menelanjanginya.
Dengan pandangan dingin dirasuki amarah yang sudah mencapai puncaknya Kencana membiarkan para teman dan suaminya bergantian memperkosanya. Setelah mereka pulang dan David terkapar di kamar ia pergi ke dapur. Mengambil sebilah pisau lalu menikamnya bertubi-tubi ke tubuh suaminya.
Dalam keadaan terluka parah lelaki yang berat badannya mencapai 110 kg tersebut sempat melakukan perlawanan. Ia berhasil meraih kaki Kencana hingga terguling. Lalu merebut pisau dan balas menikam sang istri beberapa kali.
David tewas kehabisan darah dalam peristiwa tersebut. Kencana sempat dilarikan ke rumahsakit. Setelah empat hari mendapat perawatan nyawanya tak bisa diselamatkan.
Pada saat peristiwa yang mengguncang desa itu terjadi pak Tjokro sudah meninggal. Tak tahan menghadapi bencana tersebut kondisi bu Tjokro menjadi sangat terpuruk. Ia berpulang tiga bulan setelah kepergian putrinya.
Nasib putri Kencana yang menjadi yatim piatu dalam usia tiga tahun tak kalah memilukan. Pak Charles dan bu Corry tak bersedia mengakui bocah itu sebagai cucu mereka lantaran dilahirkan dari rahim seorang pembunuh. Sang kepala desa lantas mengirimnya ke sebuah panti asuhan milik departemen sosial sebagai anak terlantar.

                                                                      ***

Pagi buta aku memutuskan meninggalkan desa yang telah menorehkan jejak-jejak berdarah dalam batinku bersama Della yang bisa kuajak serta berkat bantuan mbok  Ngasem. Mantan pengasuh Kencana itu berhasil meyakinkan pengurus panti, bahwa aku pantas menjadi ayah angkat bagi gadis kecil tersebut, seperti yang diamanatkan ibunya beberapa saat sebelum meninggal.
Kencana begitu yakin suatu saat aku pasti akan datang menjemputnya, tutur satu-satunya pelayan setia yang tersisa dalam keluarga pak Tjokro.
Gadis cilik yang kini menginjak usia lima tahun itu nampak begitu antusias menyambut pengalamannya naik kereta api menuju ibu kota. Ia kududukkan di sebelah jendela agar dapat menikmati seluruh pemandangan yang silih berganti sepanjang perjalanan kami selama enam jam.
Dengan ceriwis ia terus menerus melontarkan pertanyaan dengan susunan katanya yang kacau-balau kepadaku tentang apa saja yang berhasil ia tanggap dengan mata bulatnya yang begitu bening dan indah. Tentang bentangan sawah dan anak petani yang duduk di atas kerbau, tentang deretan rumah kumuh di sepanjang jalur kereta api. Juga tentang rumah masa depan kami di Jakarta yang sudah barang tentu tak sebesar dan semegah rumahnya dulu. Namun aku berusaha meyakinkannya, rumah itu akan menjadi hunian yang dipenuhi cinta dan kehangatan. Karena ia akan punya seorang nenek berhati lembut dan pandai memasak. Ia bisa minta dimasakkan apa saja, sesuai keinginannya. Aku juga akan mengirimkannya ke sekolah dan mendampinginya membuat PR. Serta mengajaknya jalan-jalan ke Dufan dan Ancol bila hari libur tiba.
Lelah berceloteh akhirnya gadis itu mengantuk. Tak lama kemudian tertidur dalam pelukanku. Membangkitkan kerinduan dan kenanganku kepada ibunya. Wanita malang yang sangat kucintai, yang punya cita-cita konyol dan sederhana. Dia hanya ingin menjadi angin agar bisa membawaku terbang bersamanya (fan.c)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun