Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lonceng Angin

22 Januari 2025   02:31 Diperbarui: 22 Januari 2025   02:31 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Lonceng angin itu tergantung di gerbang masuk SD pemerintah tempat kami berdua menghabiskan masa belajar selama enam tahun. Terbuat dari batang perunggu  berbentuk bambu dipadukan lempengan logam yang pipih. Tatkala angin bertiup kita bisa mendengarkan suaranya yang nyaring, mirip siulan malaikat. Membangkitkan suasana hening dan magis.
Aku tidak tahu sejak kapan lonceng itu ada. Mungkin setara usia sekolah kami yang lebih dari setengah abad dan kian renta dimakan waktu.
Di pojokan kiri gerbang bertengger sebuah pohon Cermai yang sarat daun maupun buahnya. Di bawah pohon itulah aku dan Kencana betah duduk menikmati jam jeda maupun istirahat makan siang kami. Mendengarkan suara lonceng diselingi kicauan Kencana yang ceria dan selalu riang. Ia kerap membagikan bekal makan siang masakan ibuku kepadaku. Lauknya mewah dan sangat beragam. Mungkin ibu sengaja menyediakan porsi banyak untuknya agar bisa disisihkan sebagian untuk putranya.
Telah semenjak usiaku tiga tahun ibu bekerja untuk keluarga pak Tjokro, ayah Kencana. Ia seorang peternak ulat sekaligus produsen benang maupun kain sutra berkelas tinggi. Salah satu pengusaha paling kaya di desa kami. Ibu menjadi juru masak disana, semenjak ayah meninggal karena terjatuh dari pohon kelapa ketika tengah menyadap nira untuk dibuat gula merah.
Kami sungguh tidak punya apa-apa. Menggantungkan hidup sepenuhnya kepada keluarga tersebut. Bahkan rumah berukuran enampuluh meter persegi - bekas dangau tak berfungsi - yang kami tinggali kini juga milik keluarga pak Tjokro. Letaknya di sudut desa. Berdampingan dengan hutan bakau yang jarang dilewati orang. Rumah kami tak kalah renta dengan suasana desa kami. Dilapisi dinding bata yang fungsinya sekedar menahan kami dari hembusan udara luar yang lembab dan dingin.
Satu-satunya pemanis hidup untukku hanyalah Kencana. Karena kami seusia. Tumbuh, bermain dan bersekolah di tempat yang sama. Karena dia adalah pusat napas dan hidupku. Yang membuatku memiliki secercah harapan guna mengukir masa depan bersama.

Desanya bernama  Subur Makmur. Namun pada hakekatnya desa setingkat kecamatan berpenduduk sekitar seratus limapuluh keluarga tersebut hanya dinikmati tiga keluarga saja.
Yang pertama keluarga pak Tjokro. Kedua seorang pedagang besar yang menguasai sendi-sendi perekonomian dari hulu sampai ke hilir. Menyerap hasil kebun dan pertanian penduduk. Lalu mengirimkannya ke berbagai kota besar di pulau Jawa. Selain itu ia juga menjadi agen berbagai produk kebutuhan sehari-hari yang pada masa itu nyaris dikuasai Unilever. Menguasai penjualan minyak, semen, sandang dan papan.
Sang kepala keluarga bernama pak Charles. Seorang lelaki gendut, bermata sipit dan angkuh. Istrinya seorang noni Belanda yang memiliki tinggi badan sepuluh cm diatas pasangannya. Sangat cantik dan dingin. Ditunjang oleh bentuk hidungnya yang bengkok memberi kesan kejam tak berperikemanusiaan.
Konon sang nyonya rumah tak segan-segan mencambuk pembantunya yang berbuat salah. Salah satu diantaranya pernah dilarikan ke rumahsakit dan meninggal di sana. Namun tidak pernah diproses secara hukum.
Yang ketiga adalah keluarga pak Brahmanto, sang Kepala Desa. Ia menikmati kekayaannya dengan cara menjadikan dua keluarga lainnya sebagai sapi perahan. Melalui penggelapan pajak dan berbagai macam permainan tender.
Lantas sisanya? Kebanyakan adalah petani guram, pekerja ladang. Atau mengabdikan seluruh hidupnya menjadi pelayan bagi ketiga keluarga yang mencengkeram hidup kami bagai gurita raksasa. Membuat kami selalu miskin dan sesak napas.

Pak Charles dan ibu Corry -istrinya - punya tiga orang anak.  Semuanya putra. Si bungsu adalah teman sekolah kami, namanya David. Usianya dua tahun lebih tua daripada kami. Namun duduk di kelas yang sama dengan kami lantaran dua kali tidak naik kelas.
Semenjak bocah ia sudah memasukkan Kencana kedalam radar buruannya. Kerap mengusik dan melontarkan kata-kata cabul untuk menarik perhatian gadis paling cantik di desa kami ini. Sayang sikapnya justru membuat teman karibku  menjadi sebal. Selalu berusaha menjauhkan diri dari bocah tambun dengan bentuk hidung mirip ibunya sedangkan mata mirip ayahnya tersebut.
Mungkin karena iri terhadap kedekatanku dengan gadis yang diincarnya, semenjak kanak-kanak aku kenyang mendapat perlakuan buruk dari David. Dia bukan hanya melontarkan ejekan penghinaan atas statusku sebagai anak pelayan, sesekali ia juga melakukan perundungan secara fisik kepadaku. Mengeroyokku bersama beberapa temannya. Membuatku jatuh tersungkur dan babak belur. Namun aku lebih sering pasrah dan menjauhinya ketimbang melawan. Itu semua kulakukan demi ibuku.
Hidup kami susah. Aku tidak ingin menambahkan kesusahan kami dengan memusuhi anak salah satu keluarga terpandang di tempat kami hidup dan mengais rezeki. Jadi sejak kecil aku sudah belajar berdamai dengan nasib. Bertahan dan bersabar. Membentukku menjadi anak yang bersikap jauh lebih matang ketimbang teman-teman sebaya. Kurasa inilah yang membuat Kencana yang kesepian amat dekat denganku. Karena ia anak tunggal dan dilahirkan tatkala usia ibunya sudah empat puluh satu tahun sementara sang ayah berumur setengah abad.

Kencana kusebut sebagai pengkhayal yang indah. Waktu itu usia kami sudah tiga belas tahun. Duduk sebangku di kelas dua SMP. Ia tumbuh bongsor karena kecukupan gizi yang disediakan ibuku untuknya. Sementara badanku kerempeng. Karena aku dan ibu setiap hari hanya mengkonsumsi sisa-sisa makanan dari dapur rumah pak Tjokro. Namun itu membuatku tetap berbesar hati menjalin kekariban dengan satu-satunya gadis yang kukenal semenjak bocah.
Dibawah rindangan pohon Cermai sambil menikmati suara lonceng gadis itu mengukir mimpinya sambil menatap langit biru dengan matanya yang bening dan teduh. Mata yang mengungkapkan kelembutan serta kebaikan hati pemiliknya.
"Kelak aku ingin menjadi angin," ucapnya seraya mengulurkan tangan. Meremas jari-jariku begitu erat.
"Supaya bebas bisa terbang kemana-mana," lanjutnya. "Termasuk menerbangkanmu bersamaku."
Aku hanya menunduk haru. Menganggap itu omongan bocah yang mimpinya liar sehingga berkembang kemana-mana. Bocah yang tidak membumi, karena dari lahir tidak pernah hidup susah. Ia tidak pernah bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Hidupnya sendiri sudah seindah impian yang menjadi harapan kami semua: cantik, kaya dan manja.
Di sisi lain aku memiliki hari gersang tanpa mimpi. Karena semua yang kuhadapi adalah realita. Setiap pagiku dibangun dengan tekad melangkah lebih maju dan lebih maju. Hingga suatu ketika berhak menangkap mimpi yang seindah kenyataan hidup.
Saat itu satu-satunya mimpiku adalah Kencana yang ingin berubah menjadi angin!
Kelak aku begitu berharap apa yang ia ungkapkan bisa menjadi kenyataan. Aku ingin terbang membubung tinggi bersamanya.

Kami sudah duduk di kelas satu SMA tatkala tragedi dalam hidupku terjadi.
Seperti biasa setiap ada jam jeda pelajaran aku dan Kencana akan duduk dibawah naungan pohon Cermai yang makin menua seiring pertambahan usia kami yang mulai melangkah menuju masa remaja. Pada masa itu kami seperti tidak membutuhkan siapapun guna memperlebar sayap pergaulan dalam mengisi masa muda kami yang penuh semangat. Dunia ini hanya milik kami berdua, terkurung dalam sebuah bola kristal yang bening dan indah. Mereka bisa melihat tanpa pernah bisa menjamah kami. Termasuk David yang entah bagaimana sepertinya ingin menghantam dan menghancurkan bola kristal tersebut guna menerobos masuk ke dunia kami. Itulah yang kemudian ia lakukan.

Aku dan Kencana tengah asyik duduk berdua sambil berbincang  ringan seusai jam pelajaran berakhir tatkala pak Tjokro datang dengan langkah lebarnya yang tergesa-gesa menghambur ke arah kami dengan raut wajah murka. Berjarak sekitar sepuluh meter di belakang beliau David menatap kami dengan wajahnya yang menyeringai beringas. Aku tidak tahu apa yang sudah dikatakannya kepada ayah Kencana sehingga mampu mengundang kemarahan begitu besar.
Tanpa basa-basi ia mencengkeram bahuku dan menarikku berdiri seraya melayangkan kepalannya ke wajahku.
"Bajingan busuk, apa yang sudah kau lakukan terhadap putriku?"
Aku jatuh terjerembab menghujam ke tanah tanpa tahu alasannya. Memandang majikan ibuku tersebut dengan tatapan ngeri. Kencana menyaksikan peristiwa itu dengan ekspresi terkejut disertai jeritan ketakutan.
"Papa.... Apa yang sudah kau lakukan!"
"Anak babu kurang-ajar. Berani-beraninya mengencani putriku!"
Ia berteriak kesetanan sambil menyeret Kencana menjauhiku yang pada saat itu masih terbaring di tanah kesakitan. Pandanganku nanar merasakan wajahku yang perih dan panas. Sementara David melangkah di atasku seraya melayangkan tendangan berulang kali ke tubuhku yang hanya mampu meringkuk mencoba mempertahankan diri. Berulangkali ia melontarkan umpatan kasar bernada menghina yang tidak mampu kucerna di tengah rasa sakit di sekujur tubuh maupun wajahku. Aku hanya bisa pasrah menerima luapan dengki dan amarahnya kepadaku yang sudah ia semai semenjak kanak-kanak hingga tuntas.
Setelah suasana mereda aku tersaruk-saruk pulang. Menelusuri jalan sama yang baru saja ditempuh pak Tjokro guna merengut Kencana dari hidupku.

Hari itu kedua orangtua Kencana memutuskan memecat ibu dan mengusir kami pergi dari gubuk reyot yang sudah kami tinggali sepuluh tahun lebih.
Dengan pilu aku menyaksikan ibu bersujud di hadapan kedua junjungannya, memohon belas kasihan mereka agar membiarkan kami tinggal. Karena kami sungguh tidak tahu harus pergi kemana bila mereka mengusir kami. Namun keduanya tak bergeming. Bu Tjokro dengan kasar mengibaskan tangan ibu yang mencoba memeluk kakinya. Aku belum pernah melihat ibu mampu menempatkan dirinya sehina dan serendah itu di hadapan sesama manusia. Menancapkan duri paling menyakitkan dalam sanubariku yang takkan pernah kulupakan.

                                                                      ***

Malam itu dibawah guyuran hujan deras disertai sambaran petir aku dan ibu menerobos cuaca sambil membawa beberapa potong pakaian yang tergulung dalam sebuah kain usang beranjak pergi dari desa kelahiranku - tempat ayahku dimakamkan - bagaikan dua ekor anjing kudisan menuju ke pangkalan  tak jauh dari desa. Tempat berkumpulnya truk yang memuat hasil bumi untuk diberangkatkan ke Jakarta. Ibu berharap ada yang bersedia memberi kami tumpangan  ke ibukota. Yang ingin kami tuju adalah rumah paman Bejo, adik  ibu yang membuka usaha warteg di pinggiran kota.

Aku sebetulnya kurang begitu mengenal adik ibuku tersebut, karena sejak masih sangat muda ia sudah pergi mencoba mengadu nasib di ibukota. Menurut cerita ibu semenjak tamat SMP.
Mereka berasal dari keluarga sangat sederhana. Kakekku buruh tani sementara nenekku hanya bekerja paruh waktu sebagai tukang masak dan pencuci pakaian di sebuah keluarga TNI berpangkat rendah. Mereka cuma dua bersaudara, sehingga dalam keadaan putusasa ibu memutuskan pergi menemui sang adik guna mengulurkan tangan membantu kami.

Sore itu kami tiba di Bekasi dalam kondisi sangat mengenaskan. Sekujur tubuh kotor dan berbau keringat. Yang kami bawa hanya gulungan beberapa potong pakaian beserta beberapa ratus ribu rupiah tabungan ibu yang ia simpan dalam sebuah kaleng bekas susu Bendera. Keluarga yang memiliki tiga anak balita tersebut menerima kami dengan gagap. Tidak tahu bagaimana bersikap. Untuk menghindari situasi yang kurang mengenakkan bibi langsung membawa ketiga anaknya masuk ke dalam rumah yang sebagian ruangannya digunakan untuk memasak dan mempersiapkan tumisan, gorengan serta kudapan untuk dijual di wartegnya yang buka dari siang hingga jam 9 malam.
Dengan nada mendesak ibu memohon kepada sang adik agar sudi menerima kami berdua. Ia berjanji akan mengerahkan segala kemampuan serta tenaganya guna membantu pekerjaan di dapur paman. Tidak usah digaji, asal kami bisa menumpang makan dan aku bisa dibiayai untuk melanjutkan sekolah.
Dalam waktu kurang dari tiga hari aku menyaksikan ibu kandungku berlutut -kali ini di hadapan adik kandungnya - guna menyelamatkan nasib kami yang sudah kukacaukan gara-gara mabok cinta.  
Wanita paruhbaya itu tak satu kalipun menegur atau menyalahkanku. Aku juga tidak melihatnya menitikkan air mata. Raut mukanya membaja, nyaris tanpa ekspresi. Bahkan tatkala ia harus merendahkan martabat dan harga dirinya demi kelanjutan hidup kami berdua.
Aku menyaksikan ulah ibu dengan kecamuk rasa benci dan dendam kesumat. Berjanji tidak akan pernah lagi membiarkannya berlutut di hadapan siapapun untuk ketiga kalinya. Aku bersumpah pada diri sendiri semenjak hari itu akan melakukan apapun guna mempersiapkan masa depan kami berdua. Aku siap merangkak setapak demi setapak hingga punya kekuatan untuk bangkit dan berdiri ditopang kaki sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun