Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia Ibu

21 Juni 2024   07:14 Diperbarui: 24 Juni 2024   13:41 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak butuh waktu lama ibu mampu menguasai beragam jenis permainan kartu yang digemari kalangan nyonya pengusaha Tionghoa masa itu. Menggunakan kartu Remi, Ceki dan Domino. Termasuk Mayong yang  hanya bisa dimainkan berempat.
Ketika itu permainan yang paling seru adalah Qiu-Qiu . Karena pesertanya tak terbatas. Permainannya juga sangat sederhana. Cukup menggunakan kartu domino yang satu set berisi 28 kartu.
Ibu bertindak sebagai bandar. Duduk di sebuah meja bulat. Dikelilingi peserta yang jumlahnya acap kali mencapai belasan orang. Ia menggunakan dua set kartu guna dibagikan kepada peserta,  masing-masing dua lembar. Bila kartu mereka jumlahnya lebih besar berarti menang. Dinyatakan kalah kalau kartu mereka nilainya sama atau lebih kecil daripada sang bandar. Jadi secara Matematik bandar memiliki peluang menang satu poin lebih besar ketimbang  peserta lain. Dengan alasan itulah setiap kali berjudi ibu lebih suka memilih posisi sebagai Bandar.

Sebagai anak bungsu dan satu-satunya perempuan di rumah aku tidak punya teman bermain. Jadi lebih senang menyusul ibu pergi ke rumah tante Lin  setelah pulang sekolah jam sebelas siang. Ketika itu aku masih duduk di kelas dua SD.  
Biasanya aku betah duduk disamping ibu yang sibuk bertindak sebagai bandar: mengocok dan membagikan kartu, mengamati jumlah uang taruhan setiap peserta yang diletakan di hadapan masing-masing. Lalu kartu dibuka. Ibu akan mengambil atau membayar peserta yang kalah dan  menang. Aku bertindak sebagai asisten. Menyiapkan uang yang harus dibayar atau diterima ibu. Dalam waktu sekejap uang ibu menumpuk. Karena ia lebih sering menang ketimbang kalah.
Semenjak saat itulah keinginanku mengikuti jejak ibu kian membuncah. Karena menurut hematku, satu-satunya jenis pekerjaan yang paling enak dan cepat mendapatkan uang adalah dengan cara berjudi.
Entah mendapat info dari mana ibu menggambarkan enaknya kehidupn para bandar judi di Macau, Las Vegas dan Genting Highland. Mereka hidup mewah bagaikan raja, dimana lantai istana mereka rata-rata terbuat dari batangan emas.
Aku jadi malas sekolah. Tatkala mengerjakan ulangan atau ujian yang rata-rata menggunakan sistem Multiple choice aku lebih senang main tebak ketimbang memikirkan jawaban yang tepat sesuai soal yang ditanyakan. Anehnya dengan cara begini setiap tahun aku berhasil naik kelas. Meskipun nilainya cuma pas-pasan.

Ilmu berjudi yang kudapatkan dari ibu akhirnya kupraktekkan di sekolah guna mendapatkan tambahan uang jajan. Modalnya cuma tiga lembar kartu Remi: Jack-King-Queen.
Sewaktu jam istirahat kuajak teman-teman sekelas main tebak kartu yang kujajarkan dalam posisi tertelungkup di meja. Bila tebakan betul mereka kubayar sejumlah uang yang dipertaruhkan. Bila salah uang mereka menjadi milikku.
Untung teman-temanku tidak menyadari, permainan ini sebenarnya tidak seimbang. Karena kans mereka untuk menang cuma sepertiga, sedang sebagai bandar peluang menangku adalah dua pertiga.
Aku selalu ingat wejangan ibu. Jika ingin berjudi, jadilah penjudi yang cerdas. Hampir dalam setiap perjudian bandar selalu menang.

Sayang kegiatan menguntungkan ini tidak bisa berlangsung lama. Entah mendapat laporan dari mana suatu ketika tas sekolahku digeledah oleh wali kelas. Disamping kumpulan uang receh ditemukan tiga lembar kartu saktiku.
Akhirnya aku digelandang ke kantor guru. Disidang di hadapan kepala sekolah dan guru BP. Tuduhannya tidak main-main.  Aku dianggap melakukan tindak kejahatan serius, karena menggalang perjudian di kalangan anak-anak kelas empat SD.
Aku terancam bakal dipecat dari sekolah bila berani mengulangi perbuatanku.
Setibanya di rumah kututurkan apa yang baru saja kualami kepada ibu.
Ia mengusap kepalaku sambil tersenyum.
"Kamu ini betul-betul anak ibu," ujarnya.
Ia tidak marah terhadap kelakuanku, tetapi malah bangga!
                                                         
                                                                    ***

Ibu meninggal dalam usia limapuluh tujuh tahun. Ia berpulang dengan tenang dalam posisi tengah duduk menonton acara televisi. Mungkin kena serangan jantung yang tak terdeteksi sebelumnya.
Kepergiannya menyisakan lubang hitam dalam diriku. Membuatku terjebak dalam beragam pertanyaan yang tak terjawab.
Dia adalah sosok pribadi unik, yang tak pernah kujumpai dalam diri ibu-ibu  lain. Ia memandang dunia tidak secara hitam-putih. Baginya tidak ada yang buruk, asal dilakukan dengan cara yang tepat.
Ia bukan ibu terbaik di dunia. Sering mengabaikan keluarga. Namun dari dirinya aku belajar membangun sosok pribadi yang teguh. Menyerap nilai-nilai kebaikan yang tidak ia tampilkan dalam hidupnya. misalnya merawat anak-anak dengan baik, memasak bagi keluarga agar suami dan anak-anak menerima asupan gizi yang memadai. Serta memberikan keteduhan guna menciptakan dunia yang hangat dan aman bagi anak-anakku.
Dia adalah sosok Anti-Hero yang kuteladani. Yang menginspirasi diriku agar melakukan apapun yang tidak pernah dilakukannya sepanjang hidup.

Saudara-saudaraku setelah dewasa dan terjun ke masyarakat punya beragam profesi. Kakak sulungku seorang sarjana Ekonomi lulusan UNSOED. Dialah yang mengurusi toko  warisan kakek setelah mereka berpulang. Dengan sistem komputerisasi serta menggunakan tenaga profesional toko itu berkembang menjadi sebuah supermarket dengan kemajuan cukup pesat di kota kami.
Saudara keduaku adalah Dosen yang mengajar mata kuliah Filsafat sebuah universitas swasta di Salatiga. Sementara saudaraku ketiga seorang hakim di Pengadian Negeri Pasuruan.

Ibu punya harapan khusus kepada saudara keempatku yang dropout dari kelas satu SMA dan memilih cara hidup sesuka hati. Ia seorang pemain Bilyard profesional sedari remaja. Menang dalam berbagai kompetisi tingkat kabupaten dan propinsi. Relasinya banyak dan rata-rata usianya jauh di atas dirinya. Ada Polisi, Sekda, Dekan, jaksa dan Anggota Dewan.
Ibu berharap kelak dia bisa terjun ke dunia politik atau mempunyai jabatan struktural di Pemerintahan. Sehingga  bisa mengkorupsi uang negara lantas menikmati hidup mewah.
Aku ingat dia kerap memberi wejangan kepada Kakakku yang keras kepala tersebut.
"Bila mau menjadi koruptor jangan kepalang tanggung. Hartamu harus cukup banyak untuk menyogok aparat hukum ketika keciduk. Sisanya bisa gunakan untuk menghidupi tiga generasi."
Ibu bukan orang yang serakah. Dia mewanti-wanti: "Cukup sampai tiga generasi saja. Untuk generasi keempat dan seterusnya biar anak-cucumu yang ngurusi. Toh engkau tidak mungkin kenal mereka!"  
Cara berpikir ibu cukup canggih. Profitabel banget.

Sayang kenyataannya "jauh panggang dari api".  Setelah menikah kakak tersebut membuka usaha ekspedisi kecil-kecilan guna menafkahi keluarganya.
Boro-boro menjadi anggota DPR. Menjabat ketua RT di kampung istrinya saja ia dicopot sebelum waktunya. Lantaran lebih asyik mengurusi kepentingannya sendiri ketimbang warganya.
Jaringan koneksi yang ia miliki pun hanya mampu ia manfaatkan untuk urusan "recehan" misalnya  terjaring operasi karena truk yang ia miliki ternyata bodong.  Tidak bisa menunjukkan BPKB maupun STNK. Atau untuk mempermudah perpanjangan SIM.
Sedangkan saudara kelimaku akhirnya tumbuh menjadi seorang pedagang Palawija. Ia mengumpulkan hasil panen para petani di lingkungan sekitar. Setelah memproses dan mengeringkannya ia jual ke Jakarta.
Suatu hari libur aku bertandang ke gudangnya. Kami mengenang kembali kenakalan masa kanak-kanak ketika mencampurkan beragam biji-bijian didalam ember sehingga kena hukuman kakek. Peristiwa itu mampu membuat kami tertawa, merekatkan kembali pertalian persaudaraan yang pernah terjalin erat diantara kami berdua.

Setelah lulus dari Fakultas Psikologi universitas negeri aku aku kembali SMA Almamaterku. Bekerja sebagai  guru Pembimbing dan Penyuluhan. Membantu mengatasi kesulitan belajar para siswa, perkelahian dan perselisihan antar murid, guru maupun wali murid. Kubaktikan diriku berkecimpung dalam dunia pendidikan hingga anak-anakku lahir dan aku disibukkan mengurus rumahtangga.

Keluarga kami menjalani hidup sehari-hari sebagai orang biasa. Menjadi warga negara yang paruh hukum dan bertanggung jawab. Tidak ada yang  korupsi atau harus berurusan dengan KPK. Sementara keinginanku menjadi Ratu Judi tingkat Asia kandas begitu saja bahkan sebelum sempat bertunas.

Lama aku berdiri terpekur di depan gundukan tanah merah tempat ibuku dimakamkan. Bersebelahan dengan makam ayah yang telah pergi mendahuluinya enam tahun yang lalu.
Pohon kamboja yang meneduhi makam terhembus angin meluruhkan daun-daunnya yang menguning disertai kelopak bunganya yang merah muda berbau semerbak.
Siang mulai tergulung oleh awan kelabu menghalangi sinar mentari yang mengirimkan sengatannya ke muka bumi.
Beberapa orang pekerja dari Florist sibuk membenahi kerangka bunga papan di sekitar makam agar bisa didaur ulang serta dimanfaatkan dalam peristiwa duka berikutnya.
Kutatap gundukan makam dengan perasaan sendu. menyadari betapa hampa kehidupanku tanpa didampingi sosok ibu. Selama ini aku berusaha memposisikan diri menjadi sosok yang diinginkan ibuku. Karena aku tahu, ia tidak pernah menghendaki kelahiranku. Aku berusaha membuatnya tidak bertambah menyesali kehadiranku di dunia ini.
Hal paling menyakitkan dalam hidup kita terjadi, tatkala kita sadar betapa kita mencintai seseorang justru tatkala ia sudah meninggal (fan.c)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun