Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia Ibu

21 Juni 2024   07:14 Diperbarui: 24 Juni 2024   13:41 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sayangnya ibu bukan lawan  yang seimbang bagi nenek. Saat itu ia cuma seorang ibu rumahtangga yang naif. Hari-harinya tersita untuk mengurus anak dan pekerjaan rumah. Yang memberi nafkah bulanan juga nenek, meskipun tidak langsung. Tapi melalui ayah.
Sementara meskipun buta huruf, nenek punya kepandaian menghafal angka. Contoh sederhana: dia bisa mengingat nama dan manfaat tujuhpuluh empat macam jamu Jago yang dijual di toko. 17 untuk jamu Pegal Linu, 34 itu Sehat Lelaki, 42  jamu Sari Rapat untuk perempuan....dan seterusnya.
Dia juga hafal modal ribuan jenis barang yang dijual di toko serta harga penjualannya. Aku sering menyaksikan ia dengan lantang menjawab harga suatu barang yang tidak bisa diingat kakek, ayah atau para karyawan. Karena semua barang di toko tersebut dijual tanpa label harga. Semata-mata mengandalkan daya ingat.
Intinya ayahku memiliki seorang ibu yang piawai dan perkasa. Bisa memasak, membereskan semua urusan rumah, dilanjutkan mengatur arus keluar-masuk barang dan uang di toko.
Dia masih mencari tambahan keuntungan dengan mengikuti beragam arisan sistem "Piauw" dimana pesertanya diwajibkan menyetor uang dalam jumlah tertentu setiap bulan.
Bagi yang membutuhkan dana, bisa memakai uang tersebut lebih awal, asal membayar kompensasi kepada anggota yang masih tersisa dan belum mendapatkan hak pengembalian uang arisan.
Setiap bulan nenek mendapat tambahan penghasilan cukup lumayan melalui kegiatan tersebut. Ia lebih sering menjadi peserta terakhir yang menikmati hasil iuran seluruh peserta arisan. Sehingga uang yang dia dapatkan utuh, tidak ada potongan apapun. Padahal  ia menerima kompensasi berupa pengurangan iuran setiap bulan dari anggota lain.
Pada masa itu kakek-nenek tidak mengenal dunia Perbankan. Semua uang tunai disimpan di sebuah lemari besi yang kuncinya dipegang nenek.

Perseteruan mertua-menantu di rumah kami tak kalah heboh dengan suasana menjelang Pilpres di negara kita. Masing-masing kandidat berusaha memikat hati rakyat agar bisa membela kepentingannya.
Nenekku yang bermulut tajam dan galak bukanlah lawan tanding ibu. Apalagi ia punya sumber logistik tak terbatas guna memenangkan hati para cucunya: roti kongguan, coklat cap kupu, mentos, roti gula dan aneka ragam permen buatan RRT.  
Sedangkan senjata ibu sangat terbatas, yaitu anak-anaknya. Dia bersumpah bakal tidak mengakui anak yang tidak bisa membelanya dalam menghadapi nenek. Biasanya berupa mogok kunjungan. Tak seorang cucunya pun boleh berkunjung ke toko hingga kemarahan ibu mereda. Biasanya bisa sampai dua minggu. Membuat nenek kelimpungan.
Kami terpaksa patuh karena tidak punya pilihan. Bila ibu tidak mau mengakui kita sebagai anaknya, lantas kita anak siapa? Bingung kan?

Berbagai alasan dipakai nenek untuk meluncurkan ratusan kata-kata makiannya yang punya kecepatan seperti meteor. Sumber kesalahan ibu banyak sekali. Halaman rumah kotor, anak-anak salah mengancingkan kemejanya. Aku tidak disisiri secara rapi sehabis mandi sehingga tampilannya mirip gembel. Rumah dan halaman kotor.
Memaki itu hampir sama dengan berdoa. Kita membutuhkan sarana bahasa guna menyalurkan permohonan, harapan maupun luapan emosi dan perasaan yang mengendap dari bawah alam sadar untuk diangkat ke alam sadar. Sama dengan bahasa yang digunakan untuk membingkai mimpi kita tatkala sedang tertidur. Bahasa itu adalah "Bahasa Ibu".  
Bahasa ibu nenekku merupakan campuran dialek Hakka dan Mandarin yang sulit dipahami siapapun selain kakek dan ayah. Jadi setiap menerima makian nenek ibu hanya terpaku tidak bisa melawan. Karena sesungguhnya ia tidak tahu artinya.

Diatas sudah aku ceritakan, kakak kelimaku orangnya genius. Kreativitasnya tidak ada yang bisa menandingi.
Suatu siang sehabis pulang sekolah dia mengajakku main ke toko kakek. Entah dapat ide dari mana dia mengambil tong besar. Lantas mulai mencampurkan  kacang tanah, kedelai, kopi, kacang hijau jadi satu.  Kalau toko ramai dan ada yang mau membeli beberapa jenis palawija kan tinggal ditimbang sekaligus. Hemat waktu dan kantong kertas.  Karena alasannya cukup masuk akal aku jadi menurut ketika disuruh membantunya.
Menyaksikan ulah kami berdua wajah kakek spontan membeku. Dengan garang ia menyuruh kami memilah biji-biji tersebut kembali sesuai asalnya.
Dia mengancam akan melaporkan kami berdua ke kantor polisi bila tidak mau.

"Alasannya apa?" Kakakku yang pada dasarnya bukan seorang pengecut bertanya menantang.
Dengan nada datar dan berwibawa kakek menjawab "Berbuat kerusuhan!"
Kendati saat itu usianya baru sembilan tahun, kakakku itu melek hukum. Dia paham seseorang memang bisa dipenjara gara-gara berbuat kerusuhan. Jadi dengan patuh ia mengajakku mengambil beberapa buah baskom plastik. Kami berjongkok sambil memilihi biji-biji keparat itu satu demi satu guna dikelompokkan menurut jenisnya.
Merasa bersalah dia diam saja ketika kumarahi. Alasan pertama karena bosan. Kedua, kakiku mulai kesemutan lantaran terlalu lama berjongkok. Ketiga, lapar dan tidak ditawari makan oleh nenek yang ikut jengkel oleh keisengan kami berdua.

Kami baru tiba kembali di rumah berbarengan dengan jam tutup toko, sekitar pukul sembilan malam. Itupun pekerjaan kami belum selesai. Tapi nenek menyuruh kami pulang karena melihat kami sudah sangat lelah.
Entah bagaimana cara menyampaian kakak kepada ibu, yang kena getah justru ayahku. Ibu mencaci-maki dirinya   beserta segenap leluhur habis-habiskan.
"Dasar orangtua gila, masa cucu sendiri mau dilaporkan ke polisi !"

Dengan sabar ayah menjelaskan duduk persoalan yang membuat kami kena hukuman. Sayangnya  itu tidak menyurutkan hasrat ibu guna mengumpat mertuanya. Merembet hingga ke asal-usul dan klan keluarga.
"Anak-anak bisa begitu kan karena keturunan kalian. Mau diapain?"
Ibu berkecak pinggang sambil memajukan kepalanya dengan garang.
Ayah bungkam. Jelas ia tidak bisa merunut kami ke garis keturunan ibu yang memang tidak jelas rekam jejak asal-usulnya.
Sejak saat itu apapun yang kami lakukan -terutama yang bersifat negatif - selalu dikaitkan ibu dengan faktor genetik yang kami warisi sebagai keturunan marga Tan. Ia akan mengumpat dengan mantap "Dasar She-Tan!"

Orangtuaku tidak terlalu tertarik terhadap pendidikan anak-anaknya. Terutama ibu yang setiap hari di rumah. Ia tidak pernah menanyakan hasil ulangan maupun PR anak-anak.
Ketika kakak ke empatku tidak naik  sehingga harus mengulang di kelas yang sama tahun berikutnya ia juga tidak tahu. Kalau ada yang bertanya anaknya kelas berapa sekarang ia bingung menjawabnya. Karena tidak hafal.
Setiap kuartal ia juga tidak mau memenuhi undangan guru untuk mengambil rapor. Padahal kesempatan itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk berkonsultasi dengan wali kelas secara individual mengenai progres pendidikan anak-anaknya.  
Setiap masa penerimaan rapor yang setahun berlangsung tiga kali kami enam bersaudara sibuk mencari orangtua pengganti yang bersedia mewakili mengambil rapor. Karena laporan hasil belajar per kuartal tersebut tidak boleh diberikan langsung ke para murid.
Akibatnya setiap tahun tiga kali kami bisa berganti-ganti orangtua. Masing-masing berbeda. Membuat bingung semua wali kelas, karena tidak pernah mengenal orangtua kami yang sah.

Berbeda dengan ayah-ibuku  nenek pada dasarnya orang yang sangat peduli dengan perkembangan para cucunya yang di rumah sama sekali tidak pernah mendapat sentuhan budaya dan tradisi kultural nenek moyangnya.
Ia menganggap warga keturunan Cina yang tidak mengenal bahasa maupun adat istiadat leluhur sebagai "Manusia berkaki empat". Dalam bahasa Hakka disebut "Shi-kiok-Sa". Umumnya mereka sudah beberapa generasi lahir dan mengenyam pendidikan di Indonesia. Ibu dan kami anak-anaknya kelihatannya termasuk golongan ini.  
Meskipun kami dilahirkan dari rahim wanita yang dia anggap setengah hewan, namun nenek tidak bisa memungkiri kami adalah generasi penerus keluarganya. Jadi ia berinisiatif mengundang seorang guru privat untuk mengajari kami bahasa dan aksara Mandarin.
Seminggu sekali kami diharuskan mengikuti kursus di tokonya selama 2 jam. Seusai pelajaran untuk menyenangkan hati serta memotivasi kami ia akan memberi hadiah. Bisa berupa tambahan uang saku, biskuit atau permen keluaran mutakhir. Sayangnya sogokan itu kurang diminati para kakakku. Setelah beberapa bulan satu demi satu mulai membolos. Tersisa aku yang sempat mengikuti les tersebut selama dua tahun.
 Anehnya ibu sangat antusias mendukungku belajar bahasa Mandarin. Ini membuatku lega, akhirnya ia sadar juga pentingnya pendidikan bagi kemajuan anaknya.
Sayang aku keliru. Ternyata ia hanya ingin agar aku membantu menterjemahkan arti kata-kata makian nenek yang selama ini ditujukan terhadapnya, yang membuat ia terlihat bego karena tidak menangkap maksudnya. Selain itu ia juga memintaku mengajarinya kata-kata umpatan dalam bahasa Mandarin. Tujuannya untuk balas dendam!

                                                                       ***

Kami bertetangga dengan pasangan paruh baya dari Medan tanpa anak. Suaminya seorang pengepul baja dan besi bekas. Sang istri berteman cukup akrab dengan ibu. Kami memanggilnya Tante Lin. Orangnya murah hati. Sering bertandang ke rumah sambil membawa makanan enak buatannya sendiri. Misalnya Choipan, bakpao isi daging merah atau bakcang telor asin. Menurut penuturannya, ia senang memasak untuk melewatkan waktu. Sementara suaminya sibuk sekali setiap hari. Jarang makan di rumah. Ini adalah buatku dan semua saudaraku yang jarang diberi makanan enak oleh ibu. Ia tidak suka masak. Memandang makanan secara fungsional saja, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dari tante Lin inilah ibu belajar berjudi.
Nalurinya sebagai penjudi mungkin diturunkan dari ayahnya. Karena dalam waktu singkat ibu mahir menguasai beragam jenis permainan kartu dan Mahyong. Lewat jalan inilah ia bisa mendongkrak ekonomi keluarga yang sejak awal disetir oleh nenek yang memberikan anggaran bulanan terbatas. Tidak pernah kekurangan. Namun juga tidak pernah berlebihan. Akibatnya keluargaku nyaris tidak punya peluang menikmati jajanan maupun hiburan. Karena semuanya hanya bisa terealisasi ketika punya tambahan dana di rumah.
Tak butuh waktu lama ibu menjadi keranjingan berjudi. Bermarkas di rumah tante Lin yang luas dan sepi. Anggotanya terdiri dari para nyonya rumah paroh baya yang kesepian karena suaminya para pengusaha yang sangat sibuk. Yang penting adalah: uang mereka banyak!  Sebagian dari mereka meremehkan ibu yang usianya jauh lebih muda, dan kondisi keuangannya pas-pasan.  Kurasa mereka salah perhitungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun