Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan

14 Agustus 2023   03:12 Diperbarui: 14 Agustus 2023   06:25 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Gadis itu berhasil membuatku berhenti menyukai hujan.
Namanya Lucia, adik kelasku di  SMA. Aku mulai jatuh cinta kepadanya semenjak masih duduk di kelas dua SMP. Tepatnya semenjak awal usia remajaku. Tatkala dalam diriku mulai tumbuh benih-benih ketertarikan terhadap lawan jenis. Semenjak itu aku begitu terobsesi terhadap dirinya.
Lucia sebetulnya teman adik perempuanku. Usia mereka sebaya, dua tahun lebih muda dariku. Tatkala Rachel mengajaknya main ke rumah, keduanya masih kelas enam SD. Tengah sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional.
Sore itu aku mendapati keduanya sedang belajar bersama. Memecahkan lembaran soal Matematika dari ujian nasional tahun sebelumnya.
Rachel memanggilku. Menyuruhku membantu mereka menguraikan beberapa soal yang disajikan dalam bentuk Multiple Choice.
Dengan bersemangat aku menghampiri dan bergabung bersama mereka duduk berselonjor kaki di meja belajar yang berpenopang pendek di ruang keluarga.
Mendampingi mereka belajar hingga petang. Melupakan niatku semula untuk menikmati pertunjukan band favoritku di stadion bersama teman-teman sekelas.

Lucia cantik sekali. Memiliki wajah berbentuk oval, dipadukan dengan sepasang mata Oriental bagaikan buah Badam. Hidungnya mungil tapi bangir. Semenjak pertama kali melihatnya sukmaku bagai terhisap oleh penampilannya yang segar, bagai bunga di musim semi. Ia menebar pesona lewat tawanya yang renyah serta gerak tubuhnya yang lincah.

Menjelang kelulusanku dari SMA aku mulai punya keberanian mengekspresikan rasa ketertarikanku terhadapnya. Waktu itu ia bukan lagi teman sekelas adikku. Mereka berpisah sekolah semenjak lulus SMP. Adikku memilih SMA swasta lantaran prestasinya kurang bagus. Sedangkan Lucia berhasil lulus seleksi masuk sekolah favorit di kota kami, SMA Negeri I , satu sekolahan denganku.
Aku sengaja mengambil Seni Pentas dan Drama untuk ekstra kurikuler demi bisa sering bertemu dengan Lucia. Seminggu sekali guru kesenian kami mengumpulkan semua siswa dari berbagai kelas untuk latihan drama. Rencananya akan ada pentas menyambut acara perpisahan siswa kelas tiga yang bakal lulus beberapa bulan lagi.
Lucia yang punya fisik tinggi dan ramping terpilih menjadi tokoh utama dalam drama Ken Arok yang mengambil seting runtuhnya kerajaan Kediri dan berdirinya kerajaan Singasari. Ia tampil sebagai tokoh legendaris Ken Dedes.
Penampilan yang kurang menarik menyebabkan aku hanya kebagian peran sebagai salah satu dari puluhan anak buah Ken Arok. Sepanjang latihan pementasan aku cuma ditugasi duduk bersimpuh di sudut panggung dengan kepala tertekuk. Tidak bisa seenaknya mengangkat kepala guna memandangi sang permaisuri yang duduk anggun mendampingi Ken Arok di singgasana. Sungguh menjengkelkan !
Semua kulakukan demi Lucia yang waktu itu sebenarnya sudah punya pacar. Anak seorang pengusaha Garmen ternama di kota kami sekaligus pemain basket profesional. Namanya Hans.

Hari itu kami usai latihan menjelang senja. Langit gelap digantungi awan kelam. Seorang demi seorang  beranjak meninggalkan gedung sekolah yang sebagian besar lampunya mulai dipadamkan oleh penjaga sekolah.
Saat itu kulihat Lucia berdiri dengan gelisah di emperan halaman sekolah sambil memeluk tas tangan.  Aku menghampiri dengan niat mengantarnya pulang. Kuparkir motorku di teras, tak jauh dari dia.
Namun Lucia menolak. Ternyata ia sedang menunggu Hans yang berjanji akan menjemputnya guna menikmati kencan mereka.
Jadi dengan kekeraskepalaanku, kuputuskan untuk menemaninya.

Tak berapa lama langit kelam berubah menjadi hujan. Aku berdiri menjejeri Lucia sambil membujuknya menjauhi teras yang dinaungi atap selebar dua meter. Dengan curah hujan makin meningkat ditopang hembusan angin kencang kami harus mencari tempat perlindungan lebih aman agar tidak basah kuyup. Namun lagi-lagi ia menolak. Karena takut bila Hans datang tidak bisa melihat keberadaannya. Lalu meninggalkannya. Iba oleh kegigihannya aku memutuskan untuk mendampinginya menunggu.
Lucia meluruskan tatapannya ke arah langit basah di bawah bayang-bayang senja yang berubah menjadi malam. Sesekali bergemuruh. Aku meluruskan tatapanku memandangi siluet wajah Lucia yang tampak benderang oleh kilatan petir. Wajah  dingin tanpa ekspresi, namun menimbulkan daya tarik magis yang sulit kulawan.
"Bagaimana bila ternyata ia lupa menjemputmu?" Aku mencoba memperingatkannya. Iri terhadap Hans yang bisa membuat gadis secantik itu mau menunggunya dalam cuaca seburuk itu.
Lucia memalingkan wajahnya. Memandangku dengan ekspresi penuh keyakinan.
"Tidak mungkin," sanggahnya kukuh. " hari ini adalah hari ke seratus masa pacaran kami. Hans sudah membooking dining room di Horison untuk memperingatinya sejak beberapa hari yang lalu."
Ia menyebut hotel bintang lima satu-satunya di kota kami sebagai tempat kencannya. Mengirimkan gelombang rasa panas dalam hati.
"Kok kaya memperingati orang mati saja. Pake seratus harian segala!" Ujarku ketus.
Sayang ia tidak terpancing. Kembali menatap lurus ke jalanan yang kian sepi dan basah.
Sudah satu jam lebih kami terjebak dalam suasana menunggu. Sementara pemuda keparat itu sama sekali tak terlihat bayangannya. Aku merasakan dingin dan lapar mulai menyerang. Kuambil payung yang selalu kutaruh dibawah jok motor. Menyeberang jalan menghampiri pedagang tahu kupat yang tengah duduk meringkuk di samping gerobaknya menantikan pembeli.
Piring tahu kupat yang kubeli dan masih hangat kusodorkan ke Lucia.
"Ayo kita makan barengan,"  bujukku sambil menyodorkan garpu plastik kepadanya.
Lagi-lagi ia menolak. "Gak ah! Aku takut nanti gak selera makan lagi karena sudah kenyang."
Maka dengan geram kuhabisi makanan itu hingga ludes sendirian. Sadar saat itu aku betul-betul kelaparan.

Waktu terus merangkak, menembus kelam dan cuaca buruk. Lucia yang kedinginan dan kelaparan tak juga bergeming. Secara bergantian ia menekuk salah satu kakinya yang mungkin mulai kebas karena terlalu lama berdiri. Sungguh memelas.
Perasaannya tercurah kepada pemuda terpopuler di kota kami. Anak pebisnis sukses yang punya prestasi gemilang sebagai pemain basket populer. Lucia nampak begitu tergila-gila terhadapnya.
Keadaanku jauh lebih memelas lagi. Terlahir untuk menerima segala kekurangan dunia: hidup pas-pasan, tampang juga pas-pasan. Dan kini di tengah kegelapan malam berdiri menemani sang pujaan hati yang sedang menunggu jemputan pujaan hatinya. Hidup ini kok begitu kejam dan tidak adil!
"Kamu akan menunggu sampai kapan? Besok pagi?" Tanyaku lagi untuk meletupkan rasa kesal dan cemburuku.
Kugeser motorku ke arah Lucia berdiri. Menepiskan air yang membasahi jok. Memaksanya agar bisa duduk di situ untuk meredam kakinya yang kejang.
 Kali ini Lucia tak menolak. Jadi aku membantu mengangkat tubuhnya agar bisa duduk di motorku yang kupasangi penopang ganda.
" Akan kutunggu sampai jam sembilan," katanya sambil mengangkat lengan kirinya. Melihat ke jam mungil berkilauan  yang melingkari tangannya yang halus dan pipih.
Itu artinya hampir satu jam lagi. Luar biasa! Aku memandanginya dengan sebal sekaligus kasihan.
"Bagaimana bila dia benar-benar tidak muncul?" Tantangku.
Kali ini ia benar-benar membalas tatapanku secara utuh dan teguh. Sekali lagi melihat ke arah jam, untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Bila jam sembilan dia tidak muncul aku akan memutuskan hubungan dengannya dan berkencan denganmu!"
Ucapannya berbarengan dengan gelegar suara petir dan gemuruh di dadaku. Membangkitkan gelora semangatku untuk menemaninya lebih lanjut. Mudah-mudahan Hans telat atau tidak jadi datang menjemput.
"Sungguh!" Sambutku sambil menunjuk langit yang sesekali masih memancarkan kilatan cahaya. "Langit menjadi saksi janjimu."
Lucia mengangguk penuh keyakinan.
"Pasti!" Jawabnya sambil melihat arlojinya kembali. Saat itu jam menunjuk pukul 20.12.
Aku menggeser tubuhku, menjejeri dia yang sedang duduk di jok motorku sambil menunduk. Matanya benar-benar tercurah ke arlojinya. Mataku juga ikut tercurah ke situ. Karena malam ini nasib dan masa depanku bakal ditentukan oleh derak waktu benda kecil yang melingkari tangan indah yang sangat ingin kuremas dan kuciumi. Sayang sampai detik ini aku tidak punya nyali untuk melakukannya.

Sambil menemaninya  kubayangkan apa yang bakal kulakukan bila jam sembilan itu lewat. Yang jelas aku akan langsung memeluk dan mencium bibirnya yang merekah dan secara alamiah selalu kelihatan merah dan basah.
Aku akan membalut tubuhnya yang ramping dan kuyup dengan tubuhku. Agar ia bisa merasakan kehangatan, kalau mungkin untuk selamanya. Yang jelas aku tidak akan pernah membiarkannya menungguku seperti hari ini. Siap hadir mendampinginya setiap waktu.
Sayang sekali tepat pukul 20.53 seseorang berjalan menembus hujan menyeberang jalan mendekat ke arah kami. Sosok tubuhnya yang memiliki tinggi hampir dua meter dan kekar mudah dikenali kendati terbalut jas hujan parasut warna navy yang menutupi kepala hingga sekujur tubuh. Hans akhirnya datang menjemput.
Aku menyaksikan ia melangkah makin dekat. Disikapi Lucia yang langsung berlari menyongsongnya.
Keduanya terlibat percakapan pendek. Lirih, namun nampak emosional. Suasana akhirnya mereda.
Lucia kemudian sadar, aku masih berada di situ menyaksikan drama mereka. Ia menghampiriku. Menatapku dengan sorot mata yang tak mampu kutafsirkan artinya. Menyesal? Atau senang karena sang kekasih akhirnya datang menjemput sebelum deadline.
Hujan turun masih sederas tadi. Karena sadar Hans tidak membawa apapun untuk melindungi pacarnya dari terpaan hujan, maka kusodorkan payungku kepada Lucia.
Ia menolak sambil menggeleng canggung. Namun aku mengangguk meyakinkannya. Karena meskipun ia sudah mengecewakan, aku tetap tidak rela membiarkannya pergi berkencan dalam keadaan basah kuyup.
Akhirnya dalam kelamnya malam yang dingin dan basah kusaksikan gadis yang begitu kupuja pergi berpelukan dengan kekasihnya kian jauh, menghilang dari pandanganku.
Dalam waktu tujuh menit aku merasa terpuruk. Segala harapan dan impianku musnah bersama kepergian Lucia yang kutemani menunggui sang pacar hingga tiga jam lebih. Kedinginan dan kelaparan.
Dengan perasaan luluh lantak kupacu motorku menembus hari terpanjang dan terburuk dalam hidupku. Hari itu aku merasa harga diri tercabik-cabik sebagai pemuda paling menyedihkan di seluruh dunia.

                                                                ***

Karena kehujanan aku terkena demam. Suhu tubuhku mencapai 39 derajat Celcius. Bagai ada bara api membakar seluruh raga. Aku hanya terbujur kaku seperti mayat hidup. Ditunggui Rachel dan ibu secara bergantian.
Keduanya kompak menyalahkan tingkahku yang dimata mereka konyol dan kekanak-kanakan. Menambah luka sayatan hatiku makin parah.
"Lupakan gadis matre itu," ujar adikku dengan nada sengit. "Dari status maupun kekayaan kamu bukan tandingan Hans."  
Dengan pandangan menusuk ia memberi hantaman susulan, " Dari segi tampang juga kalah jauh."  Membuat badanku serasa meledak terkena ranjau dan hancur berkeping-keping. Karena sadar apa yang dikatakannya adalah realita tak terbantahkan. Cowok yang tingginya cuma 160 cm kok mengidolakan gadis semampai?
Ia masih menyusuli dengan kalimat yang membuat mentalku terpuruk ke tingkat paling dasar," aku pun kalau disuruh memilih pasti pilih dia."
Tega sekali adikku dalam menjatuhkan harkat dan mentalku sebagai lelaki!

Sambil menyuapi bubur ibu berusaha menyadarkanku tentang realita hidup yang penuh ironi. Di satu sisi ada pemuda yang terlahir di dunia tanpa perlu memperjuangkan apa-apa. Semuanya sudah "terberikan". Lahir dari keluarga kaya. Secara fisik menarik. Masih ditambah bakat dan kemampuan di atas rata-rata. Ia memiliki semua yang dibutuhkan untuk membangun masa depan. Contohnya Hans.
Sementara di sisi lain ada pemuda yang semenjak lahir ditakdirkan untuk meraih apapun melalui perjuangan. Karena semua yang melekat dalam dirinya serba ala kadarnya. Untuk mendapat lebih ia harus berusaha meraihnya. Contohnya aku.
Rupanya ibu berusaha menanamkan dalam benakku tentang makna hidup yang hakiki. Semua yang ia paparkan telah mengusik  harga diriku sebagai lelaki.

Tiga hari kemudian demamku sembuh. Begitu pula demam cintaku terhadap Lucia. Aku mulai menyongsong hidupku menggunakan kacamata berbeda. Bertekad memperjuangkan dan meraihnya.
Tiga bulan kemudian aku lulus SMA dengan prestasi nomor dua paralel di sekolahku. Ini mempermulus jalanku memasuki perguruan tinggi favorit di Jakarta melalui jalur Bidikmisi. Bantuan biaya pendidikan dari pemerintah Propinsi buat siswa tak mampu.
Demikianlah aku menutup lembaran masa remajaku dengan pergi menjauh dari kota kelahiranku pindah ke Jakarta.
Semenjak saat itu aku tidak pernah mendengar kabar  Lucia. Juga berhenti mencari tahu keberadaan maupun nasibnya.
Aku mulai mengisi masa dewasaku dengan melakukan hal-hal yang kuanggap berguna untuk menopang kesuksesanku di masa depan.
                                                                    ***
Setelah lulus sebagai insinyur teknik sipil, aku memulai karierku di bidang konstruksi  bersama dua rekan kuliahku. Secara patungan kami menerima proyek pembangunan  kios, rumah, ruko. Juga mengikuti tender dari pemerintah untuk membangun SD Inpres serta pasar. Beberapa tahun kemudian kami memutuskan berpisah dan memulai bisnis masing-masing.
Aku kembali ke kota asal. Berhasil memajukan bisnisku sebagai seorang kontraktor.
Saat itu usiaku sudah tigapuluh tahun. Meskipun secara finansial berhasil memupuk kekayaan memadai guna menyejahterakan diri maupun keluarga, namun perasaanku terasa membeku. Kehilangan gairah untuk memulai lagi dunia percintaanku. Tidak siap menerima kenyataan gadis yang kucintai meninggalkanku di depan mata, pergi bersama lelaki lain.

Titin hadir dalam kehidupanku sebagai gadis biasa saja. Tidak cantik, tidak pula pandai bicara. Penampilannya sederhana, tidak mencolok mata. Orang tidak akan terkesan apabila berkenalan dengannya. Cenderung melupakannya.
Dua tahun dia bekerja sebagai sekretarisku bermodalkan ijasah Akademi.
Ia menampilkan aura positif melalui ketekunannya dalam bekerja membantu kelancaran usahaku. Menyusun proposal ikut tender proyek Pemerintah. Mengatur jadwal dan mendampingiku mengejar proyek swasta. Membuatkanku secangkir kopi setiap pagi. Sesekali membawakanku bekal makan siang yang dia masak sendiri sebelum berangkat ke kantor. Masakan Titin enak, cocok dengan seleraku yang menyukai masakan ringan tanpa bumbu berlebihan.
Lelah hidup dalam kesendirian aku akhirnya memutuskan menikahinya tanpa melibatkan perasaan secara berlebihan.  Syukurlah ia menerima pinanganku.
Hidup kami pun mengalir tahun demi tahun tanpa riak. Bagaikan terdampar di sebuah telaga sunyi yang hening penuh kedamaian.

Hampir duapuluh tahun kami menjalani hidup biasa saja. Tidak dikarunia anak. Kami sepakat tidak ingin mencari sumber penyebabnya. Karena tidak ingin menjatuhkan vonis menyakitkan buat pasangan hidup kita.
Kuanggap itu bagian dari hidup perkawinan yang harus kami tanggung bersama. Mungkin karena Tuhan menganggap kami tak sepadan buat menjadi orangtua? Atau karena Tuhan ingin memberi kesempatan bagi kami berdua guna mengukuhkan keterikatan perasaan yang selama ini renggang? Karena kami lebih banyak melibatkan pembiasaan diri saling mendukung dan membantu - terutama dalam membangun bisnis kami - ketimbang rasa.
Alur hidup kami mengalami perubahan suatu hari melalui kemunculan seseorang.

Pemuda yang mengaku bernama Martin semula pergi ke rumah lamaku yang kini ditinggali ibu bersama Rachel setelah suaminya meninggal. Ia mencariku. Jadi ibu memberikan alamat baruku kepadanya.
Dengan ekspresi kelam menahan sedih pemuda yang kuperkirakan berumur sekitar tigapuluh tahunan itu mengatakan, ibunya yang kini berada di rumahsakit dalam keadaan sekarat ingin bertemu denganku. Ia ingin menyampaikan sesuatu yang menjadi batu sandungan dalam hidupnya selama ini sebelum berpulang.
Ibu yang ia ceritakan adalah Lucia, gadis yang pernah memporak-porandakan hidupku hanya dalam waktu tujuh menit!
Aku memutuskan memenuhi permintaannya.

Dua hari kemudian aku berangkat dengan mobil dan sopir pribadi ke rumahsakit yang terletak di jalan S. Parman, Jakarta barat. Kenanganku dirasuki sosoknya yang rupanya kurang beruntung didalam menjalin kehidupan rumahtangga bersama cowok paling keren pada masanya, Hans.
Lucia yang tidak tahan menghadapi kebiasaan suaminya yang suka berselingkuh akhirnya bercerai setelah sebelas tahun menikah dan dikarunia seorang putra.
Ia melanjutkan hidupnya sebagai ibu tunggal dengan tunjangan perceraian dan biaya hidup bulanan untuk putranya yang secara rutin diberikan oleh mantan mertuanya.
Hatiku bagai disayat pisau tatkala melihat kondisinya yang terbaring dililit selang penyambung hidup di lengan dan hidungnya. Ia tidak lagi menjadi sekuntum bunga yang cantik dan semerbak. Tetapi terpuruk layu dengan kelopak bunga dan dedaunan yang berguguran, siap membusuk.
Matanya yang dulu mirip buah badam kini menguncup. Sekilas aku menangkap kilatan cahaya kehidupan dari mata yang pernah menyihirku melalui tatapannya yang tajam dan jernih itu, yang membuatku siap melakukan apapun untuknya.
Ia mengulurkan tangannya yang kering mirip batang kayu yang lama tercerabut dari tanah. Kutangkap dan kugenggam erat. Aku ingin mengirimkan gelombang kehangatan dan semangat baginya. Sayang ia hanya merespons dengan senyumnya yang samar dan putusasa.
Sesaat kemudian ia menggapai, memanggil Martin agar mengambilkan barang dari laci di sebelah ranjang yang rupanya sudah ia persiapkan untukku.
Barang itu adalah sebuah payung yang pernah aku sodorkan kepadanya untuk melindunginya dari terpaan hujan malam itu.
"Aku menyimpannya selama ini untuk mengenangmu," bisiknya lembut. " Lelaki paling baik yang pernah kukenal."
Aku merespon dengan mengambil serta menangkupkan kedua tangannya yang kehilangan daya. Digerogoti kanker kelenjar getah bening stadium akhir. Rengkuhannya terasa dingin dan ringan.
" Aku ingin mengembalikan payung ini kepadamu. Karena sudah tidak membutuhkannya lagi untuk melindungiku," ungkapnya lebih lanjut.
Aku mengangguk dalam-dalam. Menerima pemberiannya.
"Kau mau memaafkanku bukan?" Tanyanya penuh harap, sebelum ingatannya menghilang dibawah pengaruh cairan infus yang berkadar morfin cukup tinggi untuk meredam rasa sakit.    
Tentu saja aku mau. Aku sudah lama mencoba membersihkan kenanganku terhadap wanita pertama dalam hidupku yang mengajariku hakekat kehidupan. Yaitu cinta, patah hati, kegagalan, kemarahan, keinginan mengubah nasib. Kini ada satu hal lagi yang harus kuhadapi, yaitu kematian.
Tatkala kesadarannya muncul kembali sesaat, ia  menggenggam tanganku kembali dengan sisa-sisa energinya. Pijar dalam matanya kian meredup.
"Malam itu seharusnya aku ikut kau. Karena kaulah yang telah merelakan payungmu untuk melindungiku dari hujan." Itulah kata-kata terakhir Lucia sebelum aku beranjak dari kamarnya yang muram menebar aroma kematian.

Lucia meninggal sepuluh hari sekembaliku ke rumah. Menorehkan rasa duka dan kehilangan. Karena bagaimanapun dia adalah motor penggerak semangatku menjadi laki-laki yang lebih berkualitas setelah dicampakkan oleh cinta. Dialah yang memicu ambisiku untuk mengejar karier demi menyelamatkan harga diriku yang pernah runtuh.

Hujan turun di keremangan senja. Airnya jatuh melewati teritisan di teras rumah. Berpendar oleh sorot lampu jalanan berpadu dengan kilatan petir yang sesekali muncul disusul gemuruh halilintar.
Aku tengah duduk dengan tatapan luruh mencermati limpahan air dari langit yang melarutkan kenanganku bersama sosok wanita yang pernah mampir dalam kehidupanku. Wanita yang terjebak oleh pilihan hidupnya yang suatu saat nampak berkilauan. Namun berakhir dalam ketemaramannya yang getir.
Kubela napasku yang kini terasa ringan. Setelah rongga hitam dalam diriku berhasil kuangkat dan kubersihkan.  Untuk kedua kalinya dalam hidup aku bisa menggunakan kacamata yang berbeda dalam memaknai kehidupan perkawinanku bersama istriku, Titin.
Wanita yang kunikahi tanpa dilandasi rasa cinta menggebu-gebu. Semuanya mengalir begitu saja. Membawa kami kedalam bahtera yang berlayar di tengah lautan teduh. Tanpa gelombang topan dan badai. Dia adalah pendamping hidupku sejati, yang senantiasa siap berbagi suka maupun duka bersamaku. Tak pernah mencampakkan dan meninggalkanku. Aku merasa baru saja memperbarui pengertianku tentang cinta.
Maka diiringi rintih hujan yang tak kunjung reda aku beranjak masuk ke dalam rumah. Menghampiri istriku yang tengah duduk menyendiri di ruang tengah.
Kuhampiri dan kupeluk dia. Pelukan paling erat yang pernah kulakukan selama dua dasa warsa perkawinan kami ( fan.c)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun