Titin hadir dalam kehidupanku sebagai gadis biasa saja. Tidak cantik, tidak pula pandai bicara. Penampilannya sederhana, tidak mencolok mata. Orang tidak akan terkesan apabila berkenalan dengannya. Cenderung melupakannya.
Dua tahun dia bekerja sebagai sekretarisku bermodalkan ijasah Akademi.
Ia menampilkan aura positif melalui ketekunannya dalam bekerja membantu kelancaran usahaku. Menyusun proposal ikut tender proyek Pemerintah. Mengatur jadwal dan mendampingiku mengejar proyek swasta. Membuatkanku secangkir kopi setiap pagi. Sesekali membawakanku bekal makan siang yang dia masak sendiri sebelum berangkat ke kantor. Masakan Titin enak, cocok dengan seleraku yang menyukai masakan ringan tanpa bumbu berlebihan.
Lelah hidup dalam kesendirian aku akhirnya memutuskan menikahinya tanpa melibatkan perasaan secara berlebihan. Â Syukurlah ia menerima pinanganku.
Hidup kami pun mengalir tahun demi tahun tanpa riak. Bagaikan terdampar di sebuah telaga sunyi yang hening penuh kedamaian.
Hampir duapuluh tahun kami menjalani hidup biasa saja. Tidak dikarunia anak. Kami sepakat tidak ingin mencari sumber penyebabnya. Karena tidak ingin menjatuhkan vonis menyakitkan buat pasangan hidup kita.
Kuanggap itu bagian dari hidup perkawinan yang harus kami tanggung bersama. Mungkin karena Tuhan menganggap kami tak sepadan buat menjadi orangtua? Atau karena Tuhan ingin memberi kesempatan bagi kami berdua guna mengukuhkan keterikatan perasaan yang selama ini renggang? Karena kami lebih banyak melibatkan pembiasaan diri saling mendukung dan membantu - terutama dalam membangun bisnis kami - ketimbang rasa.
Alur hidup kami mengalami perubahan suatu hari melalui kemunculan seseorang.
Pemuda yang mengaku bernama Martin semula pergi ke rumah lamaku yang kini ditinggali ibu bersama Rachel setelah suaminya meninggal. Ia mencariku. Jadi ibu memberikan alamat baruku kepadanya.
Dengan ekspresi kelam menahan sedih pemuda yang kuperkirakan berumur sekitar tigapuluh tahunan itu mengatakan, ibunya yang kini berada di rumahsakit dalam keadaan sekarat ingin bertemu denganku. Ia ingin menyampaikan sesuatu yang menjadi batu sandungan dalam hidupnya selama ini sebelum berpulang.
Ibu yang ia ceritakan adalah Lucia, gadis yang pernah memporak-porandakan hidupku hanya dalam waktu tujuh menit!
Aku memutuskan memenuhi permintaannya.
Dua hari kemudian aku berangkat dengan mobil dan sopir pribadi ke rumahsakit yang terletak di jalan S. Parman, Jakarta barat. Kenanganku dirasuki sosoknya yang rupanya kurang beruntung didalam menjalin kehidupan rumahtangga bersama cowok paling keren pada masanya, Hans.
Lucia yang tidak tahan menghadapi kebiasaan suaminya yang suka berselingkuh akhirnya bercerai setelah sebelas tahun menikah dan dikarunia seorang putra.
Ia melanjutkan hidupnya sebagai ibu tunggal dengan tunjangan perceraian dan biaya hidup bulanan untuk putranya yang secara rutin diberikan oleh mantan mertuanya.
Hatiku bagai disayat pisau tatkala melihat kondisinya yang terbaring dililit selang penyambung hidup di lengan dan hidungnya. Ia tidak lagi menjadi sekuntum bunga yang cantik dan semerbak. Tetapi terpuruk layu dengan kelopak bunga dan dedaunan yang berguguran, siap membusuk.
Matanya yang dulu mirip buah badam kini menguncup. Sekilas aku menangkap kilatan cahaya kehidupan dari mata yang pernah menyihirku melalui tatapannya yang tajam dan jernih itu, yang membuatku siap melakukan apapun untuknya.
Ia mengulurkan tangannya yang kering mirip batang kayu yang lama tercerabut dari tanah. Kutangkap dan kugenggam erat. Aku ingin mengirimkan gelombang kehangatan dan semangat baginya. Sayang ia hanya merespons dengan senyumnya yang samar dan putusasa.
Sesaat kemudian ia menggapai, memanggil Martin agar mengambilkan barang dari laci di sebelah ranjang yang rupanya sudah ia persiapkan untukku.
Barang itu adalah sebuah payung yang pernah aku sodorkan kepadanya untuk melindunginya dari terpaan hujan malam itu.
"Aku menyimpannya selama ini untuk mengenangmu," bisiknya lembut. " Lelaki paling baik yang pernah kukenal."
Aku merespon dengan mengambil serta menangkupkan kedua tangannya yang kehilangan daya. Digerogoti kanker kelenjar getah bening stadium akhir. Rengkuhannya terasa dingin dan ringan.
" Aku ingin mengembalikan payung ini kepadamu. Karena sudah tidak membutuhkannya lagi untuk melindungiku," ungkapnya lebih lanjut.
Aku mengangguk dalam-dalam. Menerima pemberiannya.
"Kau mau memaafkanku bukan?" Tanyanya penuh harap, sebelum ingatannya menghilang dibawah pengaruh cairan infus yang berkadar morfin cukup tinggi untuk meredam rasa sakit. Â Â
Tentu saja aku mau. Aku sudah lama mencoba membersihkan kenanganku terhadap wanita pertama dalam hidupku yang mengajariku hakekat kehidupan. Yaitu cinta, patah hati, kegagalan, kemarahan, keinginan mengubah nasib. Kini ada satu hal lagi yang harus kuhadapi, yaitu kematian.
Tatkala kesadarannya muncul kembali sesaat, ia  menggenggam tanganku kembali dengan sisa-sisa energinya. Pijar dalam matanya kian meredup.
"Malam itu seharusnya aku ikut kau. Karena kaulah yang telah merelakan payungmu untuk melindungiku dari hujan." Itulah kata-kata terakhir Lucia sebelum aku beranjak dari kamarnya yang muram menebar aroma kematian.
Lucia meninggal sepuluh hari sekembaliku ke rumah. Menorehkan rasa duka dan kehilangan. Karena bagaimanapun dia adalah motor penggerak semangatku menjadi laki-laki yang lebih berkualitas setelah dicampakkan oleh cinta. Dialah yang memicu ambisiku untuk mengejar karier demi menyelamatkan harga diriku yang pernah runtuh.
Hujan turun di keremangan senja. Airnya jatuh melewati teritisan di teras rumah. Berpendar oleh sorot lampu jalanan berpadu dengan kilatan petir yang sesekali muncul disusul gemuruh halilintar.
Aku tengah duduk dengan tatapan luruh mencermati limpahan air dari langit yang melarutkan kenanganku bersama sosok wanita yang pernah mampir dalam kehidupanku. Wanita yang terjebak oleh pilihan hidupnya yang suatu saat nampak berkilauan. Namun berakhir dalam ketemaramannya yang getir.
Kubela napasku yang kini terasa ringan. Setelah rongga hitam dalam diriku berhasil kuangkat dan kubersihkan. Â Untuk kedua kalinya dalam hidup aku bisa menggunakan kacamata yang berbeda dalam memaknai kehidupan perkawinanku bersama istriku, Titin.
Wanita yang kunikahi tanpa dilandasi rasa cinta menggebu-gebu. Semuanya mengalir begitu saja. Membawa kami kedalam bahtera yang berlayar di tengah lautan teduh. Tanpa gelombang topan dan badai. Dia adalah pendamping hidupku sejati, yang senantiasa siap berbagi suka maupun duka bersamaku. Tak pernah mencampakkan dan meninggalkanku. Aku merasa baru saja memperbarui pengertianku tentang cinta.
Maka diiringi rintih hujan yang tak kunjung reda aku beranjak masuk ke dalam rumah. Menghampiri istriku yang tengah duduk menyendiri di ruang tengah.
Kuhampiri dan kupeluk dia. Pelukan paling erat yang pernah kulakukan selama dua dasa warsa perkawinan kami ( fan.c)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H