Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bakso Labu Nenekku

11 Juli 2023   10:12 Diperbarui: 11 Juli 2023   10:22 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Meskipun kelihatan eksklusif bakso yang ingin kuceritakan di sini sebenarnya biasa saja. Menggunakan bahan baku sederhana, yaitu Labu Siam dicampur tapioka. Lantas diberi tambahan daging cincang dan udang kering. Yang membuatnya istimewa adalah karena kami tidak pernah menjumpai bakso seperti ini di manapun, selain di dapur nenek.  Itupun harus dikaitkan dengan momen istimewa, misalnya Malam tahun baru Imlek.

Semasa kakek masih hidup, bakso itu juga hadir di meja makan tatkala beliau berulang tahun. Ketika itu nenek akan mengumpulkan keluarga besarnya untuk makan malam sambil menyiapkan meja sesaji, guna memohon kepada Dewa agar kakek diberi umur panjang serta kesehatan yang prima.

Puncak makan malam keluarga besar  ditandai dngan tampilnya hidangan istimewa itu. Nenek membawa seloyang  bakso labu yang baru saja diangkat dari dandang dan masih mengepulkan asap berbau gurih. Dalam sekejap hidangan itu ludes disikat para cucu yang berjumlah belasan orang.

Setelah mereka kenyang dan menyingkir dari meja makan -  yang hanya mampu menampung delapan orang- nenek kembali mengeluarkan seloyang bakso labu berikutnya untuk dinikmati anak-anak dan menantunya. Sesekali kami sengaja lewat guna memantau nasib hidangan favorit tersebut. Begitu para orang dewasa menyudahi acara makan malamnya, kami langsung menerjang, menandaskan seluruh sisa hidangan.

Nenek terlahir di distrik Meixian yang menjadi bagian dari kota Meizhou, propinsi Guangdong. Tidak diketahui secara tepat tanggal maupun tahunnya. Pada masa itu hanya kelahiran anak lelaki saja yang tercatat dalam akta, sementara kaum perempuan tidak pernah dianggap ada. Namun diperkirakan sekitar tahun 1910. Ayahnya seorang tuan tanah. Ia lahir dari istri pertama yang total mempunyai lima anak perempuan, namun hanya memiliki satu anak lelaki. Sang ayah kemudian mengambil seorang selir yang diharapkan bisa memberinya tambahan anak lelaki. Sayang yang terlahir berikutnya cuma tiga anak perempuan, sehingga sang ayah murka. Sejak saat itu ia dan ibu kandung nenek memperlakukan selir tersebut seperti budak. Harus bekerja mengurus semua anak-anak kakek. Sering disiksa dan tidak diberi makan.

Semenjak kanak-kanak nenek melihat segala ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum wanita dalam keluarganya sendiri. Semua anak perempuan tidak ada yang disekolahkan, termasuk nenek yang menyimpan kebencian mendalam terhadap ayah dan ibu kandungnya sendiri. Kelak setelah hidupnya mapan, ia tidak pernah sudi menjambangi mereka. Ia lebih menanamkan rasa belas kasihan terhadap selir sang ayah. Dalam lawatannya beberapa kali ke Cina ibu tirinya itulah yang ia jambangi sambil memberinya uang dan hadiah.    

Setelah menikah kakek dan nenek berimigrasi ke Indonesia. Tahun 1930 ayahku lahir. Untuk menunjukkan rasa bakti sebagai anak kakek-nenek mengajak putra sulungnya pergi ke China guna memperkenalkan cucu lelaki pertamanya kepada kedua orang tua dan para kerabatnya. Waktu itu usia ayahku belum lagi genap satu tahun.

Setiba di sana situasi berubah. kedua orangtuanya bersikeras agar kakek-nenek meninggalkan bayinya di sana, tidak boleh ikut dibawa pulang. Keinginan ini didukung oleh kakak kakekku yang saat itu baru memiliki seorang anak perempuan. Dengan berat hati keduanya terpaksa memenuhi keinginan tersebut. Karena kakek dan nenek adalah anak yang sangat berbakti terhadap orangtua. Semua ini sebenarnya hasil rancangan licik paman ayahku. Dia ingin menyandera keponakannya agar adik dan iparnya  tidak lupa mengirim uang setiap bulan guna biaya hidup putra dan orangtuanya di sana.

Belasan tahun kakek dan nenek yang sedang merintis usaha harus membanting tulang agar bisa mengirim uang ke kampung halaman mereka. Sayang ayah nyaris tidak pernah menikmati kiriman orangtuanya. Karena  habis digunakan untuk berfoya-foya oleh paman maupun kakeknya.

Semenjak kecil ayahku hidup sangat menderita. Kekurangan makan dan pakaian. Pada saat musim dingin ia harus berangkat sekolah tanpa alas kaki dan baju hangat menembus hujan salju. Pengalaman tersebut menorehkan luka batin yang sangat parah pada diri ayah yang menganggap kedua orangtuanya begitu kejam. Sampai hati meninggalkannya di China.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun