Aku yang semenjak kepergiannya kehilangan keyakinanku terhadap Tuhan merasakan turut campurNya dalam perjalanan hidupku. Terutama relasiku terhadap wanita yang sering membuatku mempertanyakan kebijakan dan belaskasihNya terhadapku.
Mengapa Engkau membiarkan wanita itu melahirkanku? Padahal jelas ia tidak pernah menghendaki kehadiranku di dunia ini. Mengapa Engkau tidak memilihkan perempuan lain untuk menjadi ibuku? Setidaknya ibu yang benar-benar menghendaki dan mencintaiku.
Kini aku sering mengamati wanita yang menuruti suratan takdir harus menjadi ibuku. Ia  teronggok sebagai barang rongsok yang dicampakkan; tiada seorang pun membutuhkan dirinya. Wajahnya yang membengkak karena keracunan glukosa tidak meninggalkan jejak kecantikan masa lalunya. Sorot matanya hambar. Mirip dian yang kehabisan minyak. Siap padam setiap saat.
Aku duduk di sisi ranjangnya dengan gelombang emosi yang naik-turun. Marah dan kasihan timbul silih berganti. Sesekali muncul luapan perasaan aneh. Semacam hasrat mensyukuri kondisinya yang mengenaskan. Bukankah ini merupakan buah dari perilakunya sendiri di masa lalu? Â
Dua bulan lamanya aku berada di sisinya. Memandangi dirinya yang begitu mengenaskan. Secara perlahan kemarahanku terhadapnya menyusut. Secara perlahan pula hatiku mulai dilumuri belas kasihan yang berkembang menjadi cinta. Rasa cinta yang tumbuh terlambat, bagai jamur menunggu musim penghujan.
Sementara itu kondisi fisiknya yang sekarat makin parah. Untuk menenangkan jiwanya yang gelisah aku meminta bantuan Romo memberinya Sakramen Perminyakan. Walaupun aku berani memastikan ibuku jauh lebih memahami lika-liku dunia hitam ketimbang mengenal Tuhan. Ia sudah dilemparkan ke dunia tersebut semenjak usia belia. Oleh ayah kandungnya sendiri.
"Kalau boleh mengulangi hidup aku tidak mau yang seperti ini," bisiknya lirih disela-sela munculnya kesadarannya. Â Â
Ia mengulurkan tangannya yang lembab ke wajahku. Jari-jarinya yang hitam diusapnya ke pipiku.
"Aku akan berusaha jadi ibu yang baik," janjinya sebelum kesadarannya kembali menghilang.
Demikianlah ia membebaskan diri dari kesesakan napasnya menjelang petang. Tatkala aku bersiap pulang.
Aku memutuskan memakamkan ibu di pemakaman Kaliori. Tak jauh dari panti jompo, tempat ia mengakhiri hidupnya yang penuh petualangan. Tersemat diantara makam orang-orang paling tidak dicintai semasa hidupnya. Para lansia yang diterlantarkan dan dibuang begitu saja oleh keluarganya  hingga meninggal.