Lama aku berdiri tercenung, mencoba menyelami jalan pikiran ibu. Jelas sekali ia pergi bersama serombongan lelaki yang sering main ke rumah kami. Siapakah mereka sehingga mampu membuat seorang wanita rela meninggalkan suami dan putrinya begitu saja?
Makin lama memikirkan hal tersebut, makin gagal aku memahami wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku. Membuat dadaku sesak ditimbuni amarah dan putus asa. Aku pun tumbuh dewasa dengan membawa perasaan semacam ini.
Kakekku meninggal karena serangan jantung tiga tahun setelah kepergian ibu. Aku lantas pindah tidur ke kamar nenek untuk menemani dan membantunya melewati masa berkabung.
Dari nenek lah aku banyak menyerap nilai-nilai pengorbanan dan menata hidupku kembali sebagai seorang wanita. Ia berusaha mengisi rongga hitam dalam diriku dengan perhatian dan kasih sayang. Melalui caranya yang sederhana mencoba meyakinkanku, bahwa aku akan tumbuh menjadi gadis baik-baik saja.
Sayang sekali kami berdua gagal menyelamatkan perasaan ayahku. Kulihat tiap hari ia berusaha melaksanakan tugas-tugasnya sebagai anak maupun ayah dengan hati yang membeku. Nyaris tidak pernah bicara serta mengekspresikan perasaannya kepada kami.Â
Tiap hari berusaha melarutkan diri dalam kesibukan mengurus toko warisan kakek. Setelah seluruh pekerjaan usai ia akan mengurung diri di kamar. Tak sekali pun ia pernah membicarakan ibu. Hingga akhir hayatnya ayah juga tak pernah berniat menikah lagi.
Setamat SMA aku memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Tapi ikut terjun membantu ayah yang semakin sibuk mengurus toko. Apalagi setelah kesehatan nenek berangsur menurun dimakan usia.
Tatkala nenek meninggal kurasakan hidupku limbung. Kehilangan satu-satunya orang yang kuakrabi. Hingga suatu saat dua orang biarawati mendatangi toko kami. Menyampaikan pesan pribadi kepadaku. Ternyata mereka berasal dari Panti Wredha yang bernaung dibawah Yayasan Khatolik di Ungaran.
Mereka menyampaikan pesan dari seorang penghuninya yang sangat ingin bertemu denganku.
                                    ***
Setelah duapuluh tahun menghilang tanpa jejak akhirnya aku bertemu kembali dengan ibuku dalam kondisinya yang sangat menyedihkan.
Bersama kedua biarawati yang menjemputku, kami berangkat mengunjungi panti jompo, tempat ibu menjadi salah seorang penghuninya lima tahun terakhir.