Kulihat ibu terbaring di biliknya dengan sekujur tubuh membiru. Kaki kanannya diamputasi hingga sebatas lutut.
Ia dititipkan ke panti itu oleh bos pasar malam yang diikutinya selama ini dalam kondisi menderita penyakit diabetes kronis yang tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
Ibu mengulurkan jari-jarinya yang menghitam menyambut kedatanganku. Tatapannya kuyu walaupun aku masih dapat menangkap percikan semangat dari sorot matanya.
"Anakku,"bisiknya. "Sudah terlalu lama aku merindukanmu."
Aku menerima tangannya sambil membuang muka. Merasa kegetiran hati terjebak dalam pertemuan yang tak pernah kubayangkan bakal jadi seperti ini.
Kondisi ibu sangat parah. Kesadarannya hilang timbul mengikuti gelombang emosinya yang lepas kendali. Sesekali ia meracau, menuturkan petualangannya bersama cukong judi yang berhasil membujuknya meninggalkan keluarga dan mengikutinya merantau. Dari satu kota pindah ke kota atau pulau lain.
Selama beberapa tahun ia terbius kehidupan malam di arena judi yang memicu bekerjanya hormon adrenalin dalam tubuh. Membuatnya kembali bergairah menyongsong hidup baru yang meriah dan tidak monoton.
Tahun 1974 Pemerintah mengeluarkan undang-undang larangan perjudian. Inilah penyebab runtuhnya kehidupan bisnis pasar malam yang hampir 90% keuntungannya  diperoleh dari permainan KIM. Padahal  itu termasuk produk perjudian yang dilarang oleh undang-undang yang baru.
Maka perjalanan nasib ibu pun larut bersama gelombang badai yang menimpa bos judi yang menjadikannya teman hidup tanpa ikatan perkawinan yang jelas. Mereka mulai berpetualang mengunjungi berbagai kota di Asia yang melegalkan perjudian. Dari Genting Highland di Malaysia , pulau Santosa Singapura. Hingga Macau dan Hongkong.
Ibu pun mengikuti alur pendamping hidupnya yang sangat menikmati keduniawian. Makan dan mereguk minuman beralkohol tanpa kendali. Akhirnya ia mengalami obesitas yang memicu timbulnya penyakit diabetes. Sedikit demi sedikit kecantikannya memudar digerogoti kadar gulanya yang melonjak, Â sama sekali tidak terkontrol. Sedikit demi sedikit pula penyakit itu merambah, merusak jaringan tubuh lainnya.
Lama-lama bos judi mulai bosan. Kini di matanya ibu tidak lebih dari sebongkah daging busuk. Sudah masanya dibuang. Maka sambil mendonasikan 200 juta rupiah ke yayasan pengelola ibu ditinggalkan di panti wredha. Sang bos cuma berpesan agar ibu dirawat sebaik mungkin hingga meninggal.