Fajar baru saja menyingsing ketika aku berangkat menuju pemakaman, tempat jasad kekasihku Surti disemayamkan untuk selamanya. Pemakaman desa yang sangat sederhana dibawah rimbunan pohon Kamboja. Hanya berjarak lima ratus meter dari rumahku. Sendiri kususuri jalan yang telah membenamkan kenanganku bersama Surti dari masa kanak-kanak kami. Jalan yang  kuakrabi mulai dari tanjakan-turunannya. Setiap lekuk dan sudut tikungannya. Juga paparan bebatuan nya yang sebagian tertutup rumput liar bercampur lumpur dan pasir. Aku hapal suara alam yang bakal terdengar mengiringi langkahku. Ciap anak-anak ayam ditingkah kuak suara katak dan dengkur burung merpati. Membentuk simfoni alam bersama desisan angin menggerakkan daun-daun padi dan pucuk-pucuk bunga jagung.
Di ufuk timur  mentari muncul menaburkan kilau cahayanya yang berwarna kuning kemerahan. Lembut dan menghangatkan. Selembut wajah Surti dan sehangat pelukannya yang kini tak lagi mampu kuraih. Kami terpisahkan oleh dunia berbeda. Aku terbelenggu dalam kefanaanku sementara dia bersemayam dalam keabadian Nirwana.
Pagi terasa dingin dan lengang tatkala kusadari  betapa jauhnya jalan yang harus kutempuh untuk pulang (fani.c)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H