Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang

17 Juli 2021   07:30 Diperbarui: 17 Juli 2021   07:34 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

P     U      L    A     N      G  

Inilah jalan yang mengantar kami pulang. Jalan yang sudah kami susuri sepanjang hidup, semenjak kanak-kanak hingga kini. Jalan yang menjadi urat nadi yang menghidupi desaku. Tak terjangkau tangan pembangunan, baik dari pusat, propinsi maupun kabupaten. Meskipun sudah berulang kali  meriak usulan yang berkembang menjadi proses sejumlah pemuda beserta aparat desa. Namun hasilnya tak ada. Akhirnya kami kembali ke sifat hakiki: diam dan pasrah. Jalan itu kami rawat bersama sebisanya dengan semangat gotong-royong yang tak pernah lekang dimakan perkembangan jaman. Di kanan-kirinya terhampar luas ladang maupun persawahan dengan beragam tanaman mengiringi pergantian musim di desa kami.

Di jalan itulah ku tumpahkan seluruh kenanganku terhadap istri tercinta ku Surti. Satu-satunya wanita yang kukenal, kuakrabi, kucintai dan kunikahi sepanjang hidup. Karena dialah aku tidak pernah ingin mengenal apalagi tertarik kepada wanita lain.

Kudorong Surti yang duduk di kursi roda menyusuri jalan terjal tersebut menuju rumah yang sudah kami tinggalkan hampir Duapuluh tahun. Semenjak kedua anak kami tumbuh makin besar dan membutuhkan sarana pendidikan lebih baik yang tak tersedia di desa kami. Semenjak kami berdua bertekad mencari penghidupan baru yang lebih layak guna menunjang kebutuhan keluarga yang makin besar. Terutama agar anak-anak bisa kuliah dan memperbaiki nasib. Kami memutuskan berniaga, meninggalkan pekerjaan bertani yang sering kali dihantam gagal panen oleh serangan hama maupun burung-burung liar.

Pagi ini dibawah curahan mentari yang bersinar penuh kuajak Surti mengakrabi kembali masa lalu kami yang sempat menghilang ditelan kehidupan perkotaan. Kutunjukan dangau di tengah sawah yang masih dipertahankan hingga kini. Terbuat dari bambu beratap seng. Tempat kami dulu sering duduk berdua sambil menggerakkan tali yang terhubung dengan orang-orang an jerami maupun rangkaian kaleng berisi batu yang bila ditarik menimbulkan bunyi berkelontang guna menghalau burung pemakan padi.

"Masih ingat?" Bisikku sambil mengusap dan mencium rambutnya yang meranggas dirusak proses chemo dan radiotherapi yang dijalaninya berulang kali.
Aku senang dangau warisan keluarganya yang pemeliharaannya kini diserahkan kepada sepupunya masih berdiri kokoh.
Surti mengangguk senang. Menengadahkan kepalanya memandangku dengan matanya yang dulu begitu berbinar, namun kini bagaikan dian kehabisan minyak.
"Aku rindu sekali tempat ini," suaranya parau dan lirih. "Apa kamu bisa membawaku ke dangau? Kita duduk di situ seperti waktu pacaran dulu?"
"Bisa!" Jawabku penuh tekad. Walaupun aku sendiri ragu bisa memenuhinya. Aku tak mungkin menggendong tubuhnya yang sudah sangat rapuh tanpa menyakitinya. Namun besok aku akan merakit tandu bambu. Membaringkan Surti di situ. Meminta bantuan tetangga menggotongnya melewati pematang menuju ke sana.

Bencana dalam keluargaku dimulai suatu sore dua tahun lalu. Surti ku yang cantik bertubuh sintal keluar dari kamar mandi dengan tubuh berbalut handuk. Payudaranya yang tertekan nampak menonjol. Padat berbentuk bulat indah. Tidak terpengaruh oleh proses dua kali menyusui putra kami. Namun kali ini kudapati sesuatu yang lain. Ada kerutan aneh payudara kanannya yang membuat bentuk keduanya jadi tidak simetris. Yang kanan kelihatan lebih besar. Kusuruh ia melepaskan handuknya. Ia salah menafsirkan sikapku. Wajahnya memerah sambil tersipu-sipu. "Masih sore begini," bisiknya genit sambil mencubit lenganku.
Aku tidak menanggapi. Tapi menunjukkan sikap serius. "Coba angkat kedua lenganmu ke atas!"
Kecurigaanku ternyata beralasan. Ada daging sebesar telor tersemat di bagian atas payudara kanannya. Kuraba: keras dan bisa bergerak. "Sakit?"
Ia menggeleng. "Sama sekali. Pasti bukan apa-apa."
"Mudah-mudahan begitu," bisikku sambil melingkarkan lenganku ke tubuhnya dari belakang. "Tapi tetap kamu harus nurut aku. Besok kita ke dokter." Kuciumi rambutnya yang legam dan basah beraroma sampo yang menyegarkan. Ku tutupi kecemasanku dengan mempererat pelukanku.
Selanjutnya busur nasib meluncurkan anak panah secara tajam dan bertubi-tubi ke arah kami berdua dan anak-anak tanpa berbelas-kasih. Dokter mencurigai benjolan itu bukan sekedar tumor biasa, tetapi jaringan kanker. Kami dirujuk ke RS Dharmais di Jakarta yang mengukuhkan pendapat pertama. Sudah stadium tiga.
Dalam kereta api yang membawa kami kembali ke rumah Surti terus-menerus menangis. Seketika berubah dari wanita ceria yang sigap mengurus rumah dan anak jadi perempuan tua yang  rapuh kehabisan energi. Kudekap ia. Tidak tahu bagaimana harus menghibur dan membesarkan hatinya. Akhirnya ia tertidur kelelahan di pangkuanku. Sesekali napasnya tersengal oleh sisa tangisnya. Ku cermati wajahnya yang cantik alami dengan bibirnya yang padat sensual. Wajah yang memenuhi segenap ruang hidup dan hatiku dengan kehangatan dan kerinduan. Saat itulah aku gagal mengendalikan diri. Kuledakkan tangisku yang tertahan. Titik-titik air mataku jatuh menimpa kening dan pipinya. Kubelai dan kususuti wajahnya yang polos  dengan perasaan hancur. Aku sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana bisa hidup tanpa dirinya.

Perjuangan keluarga kami melawan kanker payudara dimulai dua hari kemudian.
Kedua putraku tiba setelah mengurus cuti. Aku merinding menerima segepok uang yang mereka bawa. Hasil kerja bertahun-tahun yang mereka tabung dengan cermat untuk uang muka menyicil apartemen. Jumlahnya lima ratus tigapuluh juta.
Anak sulungku membeberkan rencananya. Uang akan dimasukkan ke rekeningku. Aku akan dibuatkan kartu kredit agar  tidak usah membawa terlalu banyak uang tunai untuk membayar biaya pengobatan. Jika tidak cukup alternatif berikutnya adalah menjual properti kami di Purwokerto. Pilihan selanjutnya tujuh petak sawah warisan mendiang ayahku. Yang ingin kami pertahankan hanya rumah masa kecil dan sawah milik Surti yang ia warisi sebagai putri tunggal. Untuk bekal kami menghabiskan sisa hidup. Karena Surti tidak ingin  ikut anak-anak pindah ke Jakarta.
Langkah pertama dari bagian therapi yang pasti akan berlangsung lama dan menyakitkan adalah melakukan mastektomi parsial payudara kanannya yang dilanjutkan dengan proses khemotherapi dan radiasi dalam paket sesi pertama sebanyak enam kali.
Kami sudah memperhitungkan setiap langkah serta efek sampingan dari semua proses penyembuhan kanker terhadap Surti. Yang luput dari perhatian kami adalah dampak psikologis terhadapnya setelah kehilangan sebelah payudaranya yang selama ini melekat, menyatu dalam dirinya sebagai simbol kecantikan seorang wanita. Sumber kesuburan, tempat kedua anakku memperoleh makanan pertama dalam kehidupannya. Sumber pemuas hasrat cintaku yang menggebu-gebu tiap kali melihatnya.
Begitu lingkaran perban dibuka ia langsung menjerit histeris. Surti yang selama ini tumbuh sebagai gadis tradisional yang lembut dan sopan mendadak berubah liar, kehilangan pengendalian dirinya. Ia menangis melolong sambil mendekap dadanya yang kosong sebelah. Kami diusirnya dari kamar perawatan.
Sambil menyusut air mata kedua putraku menuntun ku keluar. Kami berpelukan, menangis bersama di lorong rumah sakit. Tak sanggup ikut menampung penderitaan wanita yang paling kami cintai. Pusat hidup dan kekuatan kami bertiga.
Efek yang ditimbulkan oleh tahap awal proses therapi ini cukup lama. Berlanjut hingga kami tiba di rumah. Menikmati masa jeda sebulan sebelum menjalani therapi lanjutan. Surti menolak tidur di sampingku. Ia menyuruhku pindah kamar. Kepercayaan dirinya hancur lebur. Jijik dengan perubahan fisiknya.
Sejak saat itu ia takut  melihat cermin. Menyuruhku menutupi meja riasnya yang memiliki cermin besar tempat ia berdandan dengan koran. Ia kembali  histeris ketika mendapati rambutnya yang panjang dan legam rontok segenggam demi segenggam tiap kali menyisir. Merontak dan memukuli dadaku ketika kupeluk dan kutenangkan.
"Tidak apa-apa," bisikku. "Apapun yang terjadi engkau tetap bidadariku."
'Bidadari apaan!" Teriaknya marah. "Kamu lihat kan aku mirip kuntilanak!"
Aku tidak menanggapi. Ku eratkan pelukanku. Membiarkan ia memukuli dan menggigiti lenganku. Inilah saatnya aku harus membuktikan perasaan cintaku kepadanya yang takkan lekang selamanya.
Setelah ledakan emosinya reda aku menuntunnya ke serambi. Dia duduk mematung dengan wajah dingin ketika kepalanya ku gunduli. Terlalu lelah melanjutkan tangisnya.

Uang pemberian anak ternyata hanya cukup untuk biaya therapi kedua. Anakku menghubungi agen properti. Terpaksa menjual rumah serta pabrik kerupuk kami yang sebenarnya masih sangat produktif dengan nilai rendah. Kami tidak punya cadangan energi untuk melakukan proses tawar-menawar. Butuh dana segar secepatnya agar proses therapi bisa diselesaikan. Pada saat itu kondisi Surti makin lemah, karena kekurangan asupan sumber energi dan gizi. Ia hampir selalu memuntahkan setiap makanan yang kusuapkan. Kulitnya yang putih bersih berubah kusam dan gosong. Ia makin pasrah dan putus asa. Tidak lagi menangis apalagi menjerit. Aku hampir tidak pernah menjauh dari dirinya. Dengan tenang mendampingi untuk memulihkan keyakinan dan kepercayaan dirinya yang runtuh. Aku siap  ikut menanggung penderitaannya. Saat itu anak-anak sudah kembali ke Jakarta karena tenggang masa cuti mereka sudah berakhir.

Dengan berat therapi fase pertama berhasil diselesaikan. Langkah berikut adalah menjalani masa pemulihan dengan harapan seluruh bibit kanker yang bersarang di tubuhnya berhasil dibersihkan. Dengan ketekunan dan kesabaran ku tuntun ia ke kamar mandi pagi dan sore. Membantunya membersihkan serta menyegarkan tubuh. Aku belajar mengolah makanan dan masak untuknya. Walaupun hasilnya pasti buruk, karena selama ini tidak pernah ke dapur. Surti lah yang selalu mengerjakan seluruh urusan rumahtangga. Dengan susah payah ia mau menelan makanan yang kusuapkan sambil memberitahu kekurangan rasa olahanku.
"Kalau kau beri jahe sedikit hasilnya lebih enak. Bau amisnya hilang," katanya ketika menikmati saripati daging sapi yang ku kukus untuk menambah gizi.
Aku senang mendengarnya. Ia sudah berhasil melewati masa depresi. Sayang itu cuma berlangsung sekitar tiga bulan.
Suatu pagi aku mencium bau anyir menguar dari tubuhnya ketika hendak ku mandikan. Ternyata berasal dari payudara kirinya yang masih utuh. Kudapati cairan kekuningan berbentuk nanah keluar dari puting susunya. Pada saat itu aku justru lebih panik daripada Surti. Ia seperti kebas, kehilangan sensitivitas emosi.
Selesai mandi ia berbaring tenang.
"Ayo ambil kapas dan kain kasa," perintahnya. "Bantu aku membersihkan supaya tidak infeksi."
Ketika aku sedang jongkok meneteskan Betadin ke putingnya sambil menahan linangan air mata ia malah tersenyum lembut. Diusapnya kepalaku. "Sudahlah," bisiknya. "Apa yang kalian lakukan untukku sudah sangat cukup."
Kali ini akulah yang histeris. Kuledakkan emosi yang kutahan selama ini. Menangis sambil memeluk dadanya. "Tidak bisa begitu!" Teriakku dengan napas tersengal-sengal. "Akan ku kabari anak-anak agar mereka mendaftarkanmu ke rumah sakit."
"Apalagi yang mau kau jual untuk membiayainya?" Tanyanya. Tangannya yang kerontang terus mengusap kepalaku yang luruh di haribaannya. "Kamu tidak bisa begitu. Anak-anak punya masa depannya sendiri. Juga kamu. Ada maupun tidak ada aku hidup harus dilanjutkan."

Pagi itu dibantu tiga orang tetangga kami berhasil membawa Surti ke dangau. Dua orang menggotong tandu tempat Surti dibaringkan. Aku dan seorang lagi membawa tikar, bantal, selimut serta minuman dan makanan. Kuangkat tubuhnya yang tinggal 42 kg dari semula 60 kg. Seringan kapas. Membangkitkan rasa sedih dan haru. Kami menikmati pagi berkabut dengan semilir angin berdua. Sesekali kudengar bunyi katak berseling dengan ciap burung liar pemakan padi. Ku selimuti tubuhnya yang sangat tipis dengan selimut. Menatapi wajah kekasihku tercinta, yang sudah memutuskan ingin menikmati sisa-sisa hari yang dimiliki hanya bersamaku saja. Tanpa proses khemotherapi maupun radiasi yang menyiksa. Tanpa obat-obat an yang sulit ditelan dan menimbulkan perasaan mual. Ia juga melarang ku memberitahu kondisi tubuhnya yang sudah tidak merespons pengobatan kepada anak-anak. Tak ingin mengganggu kerja dan karier mereka.
Aku duduk di sampingnya sambil menerawang menikmati hamparan sawah yang terhampar di hadapanku. Begitu hijau menyejukkan, menjanjikan panen yang memuaskan. Perasaan damai menyusupi hatiku. Ku alihkan pandanganku ke Surti. Ia juga sedang menatapku lekat dengan matanya yang kuyu, tidak lagi memijarkan cahaya kehidupan.
"Bapaknya anak-anak, kamu sudah siap kutinggal pergi bukan?" Suaranya lirih. Ia mengulurkan tangannya yang gemetar dan mengusap pipiku.
Aku mengangguk. Ku dekati wajahnya. Mencium keningnya. "Aku sudah siap," jawabku.
"Lantas apa yang akan kau lakukan setelahnya?"
Kutarik panjang napasku yang berat. "Tiap pagi pergi mengunjungi makammu. Lantas ke sawah. Aku ingin lebih mencurahkan tenagaku ke situ. Setelah panen uangnya akan kukirim ke anak-anak. Mereka harus mulai menabung lagi."
Surti nampak puas mendengar rencanaku. Ia tersenyum, "Kamu tidak ingin tinggal sama mereka di Jakarta?"
"Membiarkan kamu sendirian di sini?" Protesku. "Tidak akan! " jawabku mantap. "Dan kamu..... apa yang akan kau lakukan di atas sana?"
Ia merentangkan kedua tangannya dengan ekspresi riang. "Saat itu aku sudah tidak sakit lagi. Aku akan terbang ke Surga. Berbisik kepada Tuhan agar melindungimu dan kedua anak kita. Sesekali aku akan datang menyusup ke dalam mimpimu. Akan kuajak kau berkencan lagi seperti dulu." Ia tertawa lirih. Wajahnya yang gosong diwarnai semburat merah. Memancarkan keikhlasan.
Dua hari kemudian Surti memenuhi keinginannya, terbang ke surga dalam damai.
Saat itu aku bukannya sedih, tetapi iri kepadanya. Ia bisa pergi dengan bebas. Meninggalkanku terbelenggu dalam duka dan kerinduan entah sampai kapan. Teganya dia!

Fajar baru saja menyingsing ketika aku berangkat menuju pemakaman, tempat jasad kekasihku Surti disemayamkan untuk selamanya. Pemakaman desa yang sangat sederhana dibawah rimbunan pohon Kamboja. Hanya berjarak lima ratus meter dari rumahku. Sendiri kususuri jalan yang telah membenamkan kenanganku bersama Surti dari masa kanak-kanak kami. Jalan yang  kuakrabi mulai dari tanjakan-turunannya. Setiap lekuk dan sudut tikungannya. Juga paparan bebatuan nya yang sebagian tertutup rumput liar bercampur lumpur dan pasir. Aku hapal suara alam yang bakal terdengar mengiringi langkahku. Ciap anak-anak ayam ditingkah kuak suara katak dan dengkur burung merpati. Membentuk simfoni alam bersama desisan angin menggerakkan daun-daun padi dan pucuk-pucuk bunga jagung.
Di ufuk timur  mentari muncul menaburkan kilau cahayanya yang berwarna kuning kemerahan. Lembut dan menghangatkan. Selembut wajah Surti dan sehangat pelukannya yang kini tak lagi mampu kuraih. Kami terpisahkan oleh dunia berbeda. Aku terbelenggu dalam kefanaanku sementara dia bersemayam dalam keabadian Nirwana.
Pagi terasa dingin dan lengang tatkala kusadari  betapa jauhnya jalan yang harus kutempuh untuk pulang (fani.c)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun