Mohon tunggu...
Fani Velenia
Fani Velenia Mohon Tunggu... | Content Writer | Bachelor of German Language Education

|Setiap kata yang ditulis adalah langkah menuju revolusi pikiran| IG: @fanivalenia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kecanduan Media Sosial, Mengenal Konsep "Less is More" di Era Hyperconnectivity

18 November 2024   16:51 Diperbarui: 20 November 2024   13:13 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: istockphoto.com/DrAfter123)

Era digital saat ini menawarkan kemudahan untuk selalu terhubung. Smartphone, media sosial, dan aplikasi pesan instan membuat jarak fisik tak lagi menjadi hambatan untuk tetap berkomunikasi.

Namun, dalam kenyataannya, semakin sering berinteraksi di dunia maya, semakin banyak pula waktu yang terbuang. Hal ini membawa dampak buruk bagi kesehatan mental dan produktivitas.

Di tengah kecanggihan teknologi dan media sosial yang seolah tak terhindarkan, muncul sebuah pertanyaan penting: apakah media sosial benar-benar memberi kebahagiaan, atau malah menjadi sumber kecemasan?

Pengertian Kecanduan Media Sosial

Kecanduan media sosial adalah kondisi di mana seseorang merasa kesulitan mengontrol penggunaan platform media sosial hingga mengganggu kehidupan sehari-hari.

Fenomena ini melibatkan ketergantungan pada aplikasi seperti Instagram, Facebook, Twitter, atau TikTok, di mana seseorang merasa perlu untuk selalu terhubung, memeriksa notifikasi, atau mencari kepuasan instan dari interaksi online.

Kecanduan ini bukan hanya soal berapa lama waktu yang dihabiskan di layar, tetapi lebih kepada bagaimana media sosial mempengaruhi perilaku, perasaan, dan pola pikir seseorang.

Menurut beberapa penelitian, media sosial dapat merangsang pelepasan dopamin—hormon yang berkaitan dengan perasaan bahagia—setiap kali seseorang menerima notifikasi atau mendapatkan like di postingan.

Efek ini menciptakan semacam "looping" yang mendorong individu untuk terus-menerus mengecek dan memperbaharui status mereka, berharap mendapatkan lebih banyak validasi sosial. Inilah yang membuat kecanduan media sosial sangat mirip dengan kecanduan zat tertentu, di mana kepuasan sesaat semakin memicu rasa ingin terus mengulanginya.

Dalam banyak kasus, kecanduan media sosial bisa menyebabkan gangguan tidur, penurunan kualitas hubungan sosial di dunia nyata, dan perasaan cemas atau stres.

Berapa banyak waktu yang dihabiskan di media sosial sering kali menjadi parameter bagi seseorang untuk mengukur apakah mereka ‘terhubung’ atau tidak.

Ironisnya, meskipun berjam-jam menghabiskan waktu online, banyak yang merasa semakin terasing, kehilangan makna dalam interaksi sosial yang sesungguhnya.

Hyperconnectivity: Mengapa Kita Tak Pernah Benar-Benar Sendiri?

Konsep hyperconnectivity merujuk pada keadaan di mana hampir setiap aspek kehidupan manusia terhubung melalui teknologi, terutama internet.

Dalam dunia yang serba terkoneksi ini, hampir semua orang dapat dengan mudah mengakses informasi, berbicara dengan siapa pun di seluruh dunia, dan terus menerus diperbarui dengan kejadian-kejadian terkini melalui media sosial.

Perkembangan teknologi komunikasi ini tentu membawa dampak positif, seperti kemudahan dalam pekerjaan, pendidikan, dan hubungan sosial.

Namun, hiper konektivitas juga menciptakan tantangan baru. Dunia yang selalu terhubung ini sering kali menuntut seseorang untuk selalu siap dengan notifikasi, pesan, dan permintaan untuk berbagi pengalaman.

Rasanya sulit untuk benar-benar terlepas dari dunia maya, karena media sosial sering kali menjadi tempat untuk mencari validasi atau sekadar mengisi kekosongan. Ini menciptakan ilusi bahwa segala hal dalam hidup harus dibagikan atau dibicarakan secara terbuka, bahkan mungkin terlalu terbuka.

Hal ini berdampak pada keseimbangan hidup. Saat terhubung secara digital, banyak yang merasa terpaksa untuk mengikuti tren atau membandingkan diri dengan orang lain yang terlihat lebih sukses atau lebih bahagia di dunia maya.

Padahal, realita serin gkali berbeda jauh dengan yang terlihat di layar. Inilah yang akhirnya memicu perasaan tidak puas, kecemasan, atau rasa takut ketinggalan (FOMO—fear of missing out), yang mengganggu kualitas hidup secara keseluruhan.

Why Less is More: Mengurangi Ketergantungan untuk Menemukan Kembali Ketenangan

Di tengah-tengah kecanduan media sosial dan hyperconnectivity, konsep "Less is More" mulai muncul sebagai jawaban bagi banyak orang yang merasa kesulitan dalam mengatur keseimbangan hidup mereka. Mengurangi waktu yang dihabiskan di dunia maya bukan berarti menjauhkan diri sepenuhnya dari teknologi, tetapi lebih kepada menyaring konten yang dikonsumsi dan menetapkan batasan yang sehat dalam penggunaan media sosial.

Dengan menerapkan prinsip "Less is More", seseorang bisa fokus pada hal-hal yang lebih penting dan lebih bermakna dalam kehidupan nyata. Misalnya, dengan meminimalisir waktu yang dihabiskan untuk scroll media sosial, seseorang bisa lebih banyak menikmati waktu berkualitas bersama keluarga atau teman-teman, atau mungkin mengembangkan hobi baru yang selama ini terabaikan. Mengurangi kecanduan media sosial juga memberikan kesempatan untuk merenung, berpikir lebih jernih, dan merencanakan hidup dengan lebih sadar.

Selain itu, mengurangi penggunaan media sosial memberi kesempatan untuk melatih diri agar lebih hadir dalam setiap momen. Ketika tidak terus-menerus dikelilingi oleh notifikasi atau gambar-gambar glamor yang diposting orang lain, seseorang bisa lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting—baik itu pekerjaan, kesehatan mental, maupun hubungan sosial yang lebih tulus. Dengan begini, prinsip "Less is More" memberikan manfaat ganda: mengurangi stres sambil meningkatkan kualitas hidup.

Ilustrasi (sumber: istockphoto.com/Tasza_Natasha)
Ilustrasi (sumber: istockphoto.com/Tasza_Natasha)

Apa yang Bisa Diperoleh dari Mengurangi Media Sosial ?

Mengurangi waktu di media sosial memberi ruang bagi diri sendiri untuk lebih mengenal siapa kita sebenarnya tanpa pengaruh eksternal. Di dunia yang penuh dengan informasi, opini, dan kehidupan orang lain yang seringkali tampak lebih sempurna, hal ini bisa sangat menenangkan. Alih-alih terjebak dalam perbandingan sosial yang tak pernah berakhir, mengurangi media sosial membuka kesempatan untuk lebih fokus pada diri sendiri dan tujuan hidup.

Salah satu hal yang paling terasa adalah pengurangan kecemasan. Banyak orang yang merasa cemas atau stres akibat paparan berlebihan terhadap berita negatif atau tekanan sosial di media sosial. Dengan membatasi waktu yang dihabiskan di platform seperti Twitter atau Instagram, seseorang bisa menjaga kesehatan mental mereka dengan lebih baik. Tidak ada lagi rasa takut ketinggalan atau perasaan tidak cukup baik dibandingkan orang lain.

Dengan mengurangi keterlibatan di media sosial, seseorang juga memberi kesempatan untuk memperbaiki kualitas tidur. Banyak orang yang terjaga di tengah malam hanya untuk mengecek notifikasi atau membaca pesan-pesan yang tidak mendesak. Ini bisa mengganggu pola tidur dan berkontribusi pada kelelahan. Dengan menerapkan digital detox, waktu tidur bisa lebih berkualitas dan tubuh bisa beristirahat dengan optimal.

Memilih Koneksi yang Lebih Bermakna

Salah satu kelebihan dari mengurangi ketergantungan pada media sosial adalah kesempatan untuk memilih koneksi yang lebih bermakna. Di dunia maya, seringkali kita merasa terhubung dengan banyak orang, tetapi kualitas hubungan tersebut sering kali dangkal. Sebaliknya, dengan mengurangi keterlibatan di media sosial, kita bisa lebih fokus pada hubungan langsung dengan orang-orang yang benar-benar penting dalam hidup—keluarga, teman dekat, atau kolega yang memberi dukungan nyata.

Interaksi langsung ini membawa manfaat lebih besar. Percakapan tatap muka atau percakapan tanpa gangguan digital lebih sering menghasilkan koneksi emosional yang lebih dalam, lebih banyak tawa, dan lebih banyak momen yang berarti. Ketika tidak terlalu banyak teralihkan oleh notifikasi, kita bisa menjadi pendengar yang lebih baik, lebih perhatian, dan lebih hadir dalam percakapan.

Dengan berkurangnya waktu yang dihabiskan untuk berbicara dengan orang yang tak terlalu dekat atau bahkan tak relevan, seseorang juga bisa memfilter lebih baik siapa yang benar-benar ingin diajak berhubungan. Ini memberi lebih banyak ruang untuk kualitas daripada kuantitas dalam hubungan sosial.

Menghidupkan Kembali Pengalaman yang Lebih Autentik

Dengan menerapkan prinsip "Less is More", seseorang bisa kembali menghidupkan pengalaman yang lebih autentik dalam hidup mereka. Alih-alih merayakan momen lewat gambar atau video yang dibagikan di media sosial, lebih banyak orang yang mulai menyadari pentingnya merasakan momen tersebut sepenuhnya, tanpa harus berbagi dengan dunia. Momen sederhana, seperti menikmati secangkir kopi pagi, berjalan-jalan di taman, atau menghabiskan waktu berkualitas dengan orang tercinta, bisa terasa lebih berharga ketika tidak terfragmentasi oleh gangguan digital.

Tidak hanya itu, kita juga bisa lebih fokus pada pencapaian pribadi tanpa terjebak dalam perbandingan yang tidak sehat. Di dunia yang serba terbuka dan sering kali berisikan standar yang tidak realistis, mengurangi media sosial memberi ruang untuk merayakan pencapaian kecil dalam hidup yang sering kali terabaikan. Kita bisa lebih menikmati hidup dengan standar yang kita tentukan sendiri, tanpa tekanan atau ekspektasi dari orang lain.

Dengan kata lain, konsep "Less is More" dalam konteks media sosial bukan hanya tentang mengurangi waktu di layar, tetapi juga tentang menciptakan ruang untuk pengalaman yang lebih dalam, hubungan yang lebih autentik, dan kualitas hidup yang lebih baik. Dengan menerapkan prinsip ini, hidup di dunia yang penuh dengan konektivitas bisa tetap terasa menyenangkan, tanpa harus terperangkap dalam kebisingan digital.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun