Ironisnya, meskipun berjam-jam menghabiskan waktu online, banyak yang merasa semakin terasing, kehilangan makna dalam interaksi sosial yang sesungguhnya.
Hyperconnectivity:Â Mengapa Kita Tak Pernah Benar-Benar Sendiri?
Konsep hyperconnectivity merujuk pada keadaan di mana hampir setiap aspek kehidupan manusia terhubung melalui teknologi, terutama internet.
Dalam dunia yang serba terkoneksi ini, hampir semua orang dapat dengan mudah mengakses informasi, berbicara dengan siapa pun di seluruh dunia, dan terus menerus diperbarui dengan kejadian-kejadian terkini melalui media sosial.
Perkembangan teknologi komunikasi ini tentu membawa dampak positif, seperti kemudahan dalam pekerjaan, pendidikan, dan hubungan sosial.
Namun, hiper konektivitas juga menciptakan tantangan baru. Dunia yang selalu terhubung ini sering kali menuntut seseorang untuk selalu siap dengan notifikasi, pesan, dan permintaan untuk berbagi pengalaman.
Rasanya sulit untuk benar-benar terlepas dari dunia maya, karena media sosial sering kali menjadi tempat untuk mencari validasi atau sekadar mengisi kekosongan. Ini menciptakan ilusi bahwa segala hal dalam hidup harus dibagikan atau dibicarakan secara terbuka, bahkan mungkin terlalu terbuka.
Hal ini berdampak pada keseimbangan hidup. Saat terhubung secara digital, banyak yang merasa terpaksa untuk mengikuti tren atau membandingkan diri dengan orang lain yang terlihat lebih sukses atau lebih bahagia di dunia maya.
Padahal, realita serin gkali berbeda jauh dengan yang terlihat di layar. Inilah yang akhirnya memicu perasaan tidak puas, kecemasan, atau rasa takut ketinggalan (FOMO—fear of missing out), yang mengganggu kualitas hidup secara keseluruhan.
Why Less is More:Â Mengurangi Ketergantungan untuk Menemukan Kembali Ketenangan
Di tengah-tengah kecanduan media sosial dan hyperconnectivity, konsep "Less is More" mulai muncul sebagai jawaban bagi banyak orang yang merasa kesulitan dalam mengatur keseimbangan hidup mereka. Mengurangi waktu yang dihabiskan di dunia maya bukan berarti menjauhkan diri sepenuhnya dari teknologi, tetapi lebih kepada menyaring konten yang dikonsumsi dan menetapkan batasan yang sehat dalam penggunaan media sosial.
Dengan menerapkan prinsip "Less is More", seseorang bisa fokus pada hal-hal yang lebih penting dan lebih bermakna dalam kehidupan nyata. Misalnya, dengan meminimalisir waktu yang dihabiskan untuk scroll media sosial, seseorang bisa lebih banyak menikmati waktu berkualitas bersama keluarga atau teman-teman, atau mungkin mengembangkan hobi baru yang selama ini terabaikan. Mengurangi kecanduan media sosial juga memberikan kesempatan untuk merenung, berpikir lebih jernih, dan merencanakan hidup dengan lebih sadar.
Selain itu, mengurangi penggunaan media sosial memberi kesempatan untuk melatih diri agar lebih hadir dalam setiap momen. Ketika tidak terus-menerus dikelilingi oleh notifikasi atau gambar-gambar glamor yang diposting orang lain, seseorang bisa lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting—baik itu pekerjaan, kesehatan mental, maupun hubungan sosial yang lebih tulus. Dengan begini, prinsip "Less is More" memberikan manfaat ganda: mengurangi stres sambil meningkatkan kualitas hidup.