Namun, kemudian saya kembali Menengok negeri sendiri dan berevaluasi. Bukankah kita juga tak jauh beda? Umat muslim Indonesia, pun acapkali menampilkan topeng fasisnya.
Lahir dan hidup selama 16 tahun lebih 7 bulan sebagai pemeluk agama Islam di Indonesia, membuat saya menyadari aspek-aspek fasis yang kadang tidak kita sadari. Mulai dari persekusi pada saudara-saudara nonmuslim, menyebarnya radikalisme agama secara terang-terangan, sampai penanaman pola pikir supremasi sebagai mayoritas.
Mari kita akui bersama, bukan sangat jarang beredar isu dan paham bahwa Indonesia akan dijadikan negara Islam. Bukan jarang kita mendengar khutbah-khutbah yang melentik kebencian pada umat yang beda kepercayaan. Bukan jarang juga, beberapa dari kita menjadi pelaku persekusi pada umat dan kaum minoritas.
Saya mengenyam pendidikan SD dan SMP di sebuah sekolah islam. Lingkungan eksklusif membuat orang bisa mengatakan apapun yang mereka mau. Bukan jarang --ya allah, sangat bukan jarang-- saya mendengar khutbah provokasi dan monopoli kebenaran.
Bahkan ketika saya duduk di bangku kelas 2 SMA sekarang pun. Di sebuah SMA negeri, yang kiblatnya harusnya adalah negara. Organisasi keislaman masih didominasi --secara terpaksa-- oleh satu aliran. Calon dan terpilih ketua organisasi sekolah tidak boleh selain laki-laki.
Itu baru di sekolah. Lingkup yang masih kecil dibandingkan perkuliahan, kantor kerja, atau lingkungan masyarakat dan berbangsa-bernegara (meminjam istilah PPKn). Masih banyak contoh-contoh ke-fasis-an kita --atau paling kecil, bibit fasisme-- sebagai mayoritas di Indonesia.
Takut saya, kita sangat lantang menuduh fasisme pada umat dan bangsa lain. Menghakimi perbuatan umat dan bangsa lain layaknya di pengadilan. Sambil tidak menyadari, bahwa palu yang kita gunakan untuk menghakimi, juga belepotan dengan darah dan air mata korban ke-fasis-an kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H