Mohon tunggu...
Fandy Hutari
Fandy Hutari Mohon Tunggu... Wartawan dan penulis lepas -

Fandy Hutari adalah penulis, editor, wartawan. Pernah men jadi editor, wartawan, ghostwriter. Artikel dan cerpennya dimuat di berbagai media cetak dan online. Buku yang sudah dipublikasikan Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang 1942-1945 (2009, 2015), Ingatan Dodol; Sebuah Catatan Konyol (2010), Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (2011), Manusia dalam Gelas Plastik (2012). Komunikasi di Facebook: Fandy Hutari, Twitter @fandyhutari, Blog: http://fandyhutari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hafiza Elvira, Berdayakan Eks Penderita Kusta

23 Januari 2016   01:18 Diperbarui: 23 Januari 2016   01:51 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: M. Zulfikar R."][/caption]

Penyakit kusta merupakan penyakit yang disebabkan Mycobacterium leprae, yang menyerang kulit, saraf tepi, jaringan, dan organ tubuh lain—kecuali otak. Penyakit ini menimbulkan kecacatan. Konon, kusta sudah ada sejak 300 SM, saat peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India.

Bagi sebagian besar orang, penyakit kusta mungkin menjijikan. Para penderita kusta, cenderung diabaikan dan dijauhi masyarakat. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Hafiza Elvira Nofitariani.

Perempuan cantik yang menyandang gelar Sarjana Keperawatan dari Universitas Indonesia ini, bersama 4 orang kawannya yang bernaung di bawah Nalacity Foundation, berhasil memberdayakan para perempuan mantan penderita kusta di Sitanala, Tangerang, Banten. Di sana memang berdiri sebuah rumah sakit bagi penderita kusta. Fiza, begitu ia akrab disapa, bisa dikatakan pebisnis sosial. Fiza menjabat Managing Director di Nalacity Foundation.

Saya berkesempatan menemui Fiza dalam wawancara singkat di sebuah restoran cepat saji, bilangan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Agustus tahun lalu. Saat itu, saya masih menjadi wartawan di sebuah perusahaan media online—dan majalah digital.

Fiza memberdayakan mantan penderita kusta untuk berkreasi, menghasilkan produk kerajinan tangan yang bernilai jual. Menurut Fiza, pemberdayaan mantan penderita kusta itu dimulai saat dia dan 4 kawannya mengikuti kegiatan di kampusnya bertajuk Indonesia Leadership Development Program pada 2010.

“Di akhir program itu, kita diminta membuat social project. Kita pilih lokasi Sitanala. Di sana ada orang yang pernah menderita kusta. Berawal dari 2011 itu, kita start sosialnya,” kata perempuan kelahiran 22 September 1990 ini.
Fiza mengatakan, dahulu kegiatan ini masih bersifat amal. Mereka mencoba memberikan pelatihan menjahit. Pada 2012, mereka belajar menerapkan konsep sosial bisnis. “Maksudnya belajar untuk bisa mengolah hasil karya masyarakat di sana untuk dijual, hasilnya buat mereka lagi,” kata Fiza.

Lalu, mereka mendirikan sebuah wadah bernama Nalacity Foundation pada November 2012. Dengan adanya Nalacity, kegiatan mereka lebih legal.

[caption caption="Foto: nalacity.net"]

[/caption]

Para mantan penderita kusta, diberikan pelatihan menjahit. Selain itu, diberikan pula pengetahuan untuk membuat bross, pernak-pernik, dan aksesori. “Itu kalau yang produk. Selebihnya pelatihan soft skill, seperti manajemen keuangan untuk ibu rumah tangga,” katanya. Produk yang dihasilkan berupa jilbab, bross, baju, dan rok.

Alasan Fiza memilih memberdayakan para penderita kusta lebih ke isu diskriminasi. “Kalau di sana (Sitanala), penderita kusta yang agak parah misalnya, kondisi fisiknya sudah ada yang berubah. Ada yang tangannya kaku, kakinya ada yang sudah diamputasi. Paradigma orang kalau sudah terkena kusta itu pasti menular. Itu yang terjadi di sana. Jadi orang masih berpikiran bakal nular terus. Akhirnya mereka tidak dapat kerjaan,” kata dia. Berangkat dari diskriminasi dalam hal pekerjaan dan sosial itu, Fiza terpanggil untuk membantu mereka.

Dalam membantu mantan penderita kusta untuk mencari uang dari menjual produk buatan mereka sendiri, Fiza menemukan sejumlah kendala. Ia mengaku, kendala paling utama adalah saat proses pembelajaran atau pelatihan.

“Karena mereka sangat spesial. Kalau orang normal sehari bisa 5 bross produksi, kalau mereka sehari atau dua hari hanya bisa jadi satu bross. Kondisi fisik, karena tangannya sudah kaku, jadi agak lama. Itu jadi yang bikin lama,” katanya.

Produk buah karya mantan penderita kusta tadi dijual dengan harga bervariasi. Bross misalnya dijual Rp 20 ribu, dan baju dibanderol Rp 200 ribu. Seluruh pemasarannya dilakukan dengan bantuan media sosial.

Selama memberdayakan perempuan eks penderita kusta ini, Fiza menemukan banyak pengalaman menarik. Salah satunya, kala mendengar curahan hati mereka. “Kalau dari ibu-ibunya sendiri terkadang terharu saja. Maksudnya, terkadang suka cerita. Alhamdulillah dari yang mereka dapat bisa buat bantu anaknya sekolah,” kata Fiza.

*Artikel ini ditulis ulang kembali. Publikasi awal di Majalah Arjuna volume 10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun