Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hunian Vertikal di Kota Depok: Sebuah Solusi atau Masalah Baru bagi Kota Satelit?

5 Januari 2022   16:44 Diperbarui: 5 Januari 2022   16:46 2286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengutip dari Shao (2015), kota satelit adalah kota yang dibangun di luar kota besar atau kota metropolitan. Tujuan dari dibangunnya kota satelit adalah untuk meringankan beban populasi di kota besar. Oleh karena itu, pembangunan kota satelit berorientasi pada sector pemukiman dan fasilitas publik. Orientasi ini berfungsi untuk menarik penduduk agar mau tinggal di kota satelit. Karena berfungsi sebagai pemukiman penduduk, maka akan terjadi perjalanan commute dari kota satelit ke kota pusat dan sebaliknya.

Salah satu contoh kota satelit adalah Kota Depok. Kota Depok merupakan kota satelit dari DKI Jakarta. Mengutip dari Santosa dan Noviyanti (2020), pembangunan Kota Depok sebagai kota satelit dari DKI Jakarta tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun 1970-an. Pertumbuhan ekonomi ini menyebabkan tingkat urbanisasi penduduk ke DKI Jakarta meningkat. Akibatnya, kepadatan penduduk meningkat dan muncul daerah padat yang kumuh (slum). Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah DKI Jakarta membangun banyak pemukiman, diantaranya di Kelapa Gading, Pondok Kopi, dan Tanah Abang. Namun, pembangunan pemukiman tersebut tidak menyelesaikan permasalahan kepadatan penduduk. Solusi lain yang ditempuh oleh pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah pusat adalah dengan membangun kota baru untuk meringankan beban kepadatan penduduk di DKI Jakarta.

Salah satu kota baru yang dibangun adalah Kota Depok. Kota Depok dipilih karena Kota Depok tidak memiliki sumber daya alam dan posisinya strategis. Pada awalnya, Kota Depok dirancang hanya untuk menjadi tempat pemukiman bagi penduduk Jakarta dan pusat kerja tetap berada di Jakarta. Oleh karena itu, pembangunan Kota Depok sebagai kota satelit dari DKI Jakarta dimulai dengan dibangunnya Perumahan Nasional (Perumnas) pada tahun 1973 (Santosa & Noviyanti, 2020).

Terdapat empat Perumnas yang dibangun di Kota Depok, yaitu Perumnas Depok I di Beji, Perumnas Depok II di Depok Timur, Perumnas Depok II Tengah di Sukmajaya, dan Perumnas Depok III di Depok Timur. Selain dibangun perumahan, juga dibangun fasilitas umum seperti sekolah, tempat ibadah, dan transportasi umum. Harga yang ditawarkan Perumnas pun beragam tergantung golongan dan besaran gaji pemiliknya karena memang diperuntukkan bagi PNS dan pekerja profesi lain yang bekerja di Jakarta dan belum memiliki hunian.

Namun, dalam perkembangannya, Kota Depok semakin tidak bisa menampung banyaknya penduduk yang mendiami Kota Depok. Hal ini disebabkan oleh jumlah pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sehingga tingkat kepadatan penduduk juga ikut meningkat. Meningkatnya kepadatan penduduk berdampak pada ketersediaan lahan pemukiman di Kota Depok. Mengutip dari Budiarto,et al (2018), diperkirakan bahwa di Kota Depok sudah tidak dapat menampung perumahan pada tahun 2026.

Oleh karena itu, pengadaan perumahan bukan lagi solusi tepat untuk menyelesaikan perkara hunian masyarakat. Terlebih lagi ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Depok menyerahkan urusan pembangunan perumahan pada pihak swasta yang konsekuensinya adalah meningkatnya harga rumah. Selain karena jumlah lahan yang terbatas, meningkatnya harga rumah juga disebabkan oleh peraturan yang ditetapkan oleh Pemkot Depok. Mengacu pada Perda Kota Depok no. 13 tahun 2013, pihak pengembang perumahan diwajibkan untuk memiliki lahan minimal seluas 120 M2 dengan 40% luas lahan untuk ruang terbuka hijau. Kewajiban minimal kepemilikan lahan ini menyebabkan pengembang tidak bisa menawarkan perumahan dengan harga murah yang mudah dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah (Anhar, 2017).

Solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan pembangunan hunian vertikal. Mengutip dari Murbaintoro, et al (2009), hunian vertikal dapat menyediakan hunian lebih banyak dengan penggunaan lahan yang lebih kecil ketimbang hunian tapak. Selain itu, hunian vertikal dapat mengurangi laju pengurangan ruang terbuka hijau. Hal ini menjadi penting dalam prinsip pembangunan berkelanjutan.

Selain mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan, pembangunan hunian vertikal juga harus mempertimbangkan minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Masyarakat masih menganggap bahwa tinggal di hunian tapak lebih baik ketimbang tinggal di hunian vertikal. Walaupun begitu, masyarakat masih akan mempertimbangkan tinggal di hunian vertikal jika kondisi hunian vertikal tidak kumuh, dekat dengan tempat kerja, memiliki akses ke transportasi umum dan tol, dan berada di kawasan yang tenang (Murbaintoro, et al, 2009).

Karena pembangunan hunian vertikal merupakan solusi yang paling memungkinkan, maka Pemkot Depok menuangkan fokusnya untuk mengembangkan hunian vertikal di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2012-2032. Menurut RTRW, pembangunan hunian vertikal akan difokuskan di Pusat Pelayanan Kota (PPK) yang terdiri dari semua kelurahan di Kecamatan Beji; Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, dan Kelurahan Pancoran Mas di Kecamatan Pancoran Mas; Kelurahan Mekarjaya dan Kelurahan Tirtajaya di Kecamatan Sukmajaya. Kelurahan-kelurahan ini dipilih karena tingkat kepadatannya yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan unit rumah di Kecamatan Pancoran Mas dan Sukmajaya pada tahun 2018 yang total berjumlah 54.777 unit rumah dan diproyeksikan meningkat menjadi 84.089 di tahun 2026 (Budiarto, et al, 2018).

Sayangnya, Pemkot Depok lebih memilih mengembangkan hunian vertikal dalam bentuk apartemen yang dibangun oleh pihak swasta ketimbang mensubsidi pembangunan Rusunawa. Hal ini dapat dilihat dari tren selama kepemimpinan Walikota Idris Abdul Shomad yang mengizinkan berdirinya banyak apartemen. Namun, kebanyakan apartemen ini berdiri di sepanjang Jalan Margonda saja (Putri, 2018). Walaupun secara teknis masih sesuai dengan RTRW karena Jalan Margonda masih berada di Kecamatan Beji, akan tetapi lokasi pembangunan apartemen yang terlalu berpusat di Jalan Margonda menyebabkan Jalan Margonda tampak semakin semrawut. Hal ini menunjukan ketidakjelasan arah pembangunan Jalan Margonda antara menjadi pusat perekonomian atau pusat hunian masyarakat.

Permasalahan lain dari pembangunan hunian vertikal yang diserahkan ke pihak swasta adalah harga yang mahal. Hal ini bisa dilihat dari harga apartemen, terutama apartemen berkonsep transit oriented development (TOD), yang mahal. Apartemen TOD adalah apartemen yang dibangun di sekitar fasilitas transportasi umum seperti stasiun dan terminal. Dengan begitu, apartemen TOD menjual kemudahan akses ke transportasi umum. Contoh apartemen TOD di Kota Depok berada di sekitar Stasiun Pondok Cina, Depok Baru, dan Citayam. Selain terintegrasi dengan stasiun, ada beberapa apartemen TOD yang terintegrasi dengan terminal seperti di Terminal Jatijajar. Harga yang dipatok untuk satu unit apartemen TOD berkisar dari 500 juta sampai 1 milyar rupiah. Artinya, jika mengacu pada aturan Bank Indonesia bahwa cicilan maksimum untuk hunian adalah 30% dari penghasilan bulanan, maka diperlukan minimal gaji bulanan sekitar 16 juta rupiah untuk membeli satu unit apartemen TOD (Bernie, 2020). Hal ini sangat disayangkan karena, sebagai kota satelit, penduduk Kota Depok harus commute ke Jakarta untuk bekerja. Oleh karenanya akses yang mudah ke transportasi umum menjadi sangat penting. Namun, akses yang mudah ini justru dikapitalisasi oleh pengembang apartemen.

Karena pengembangan hunian vertikal diserahkan ke pihak swasta, maka pembangunannya cenderung tertutup dari warga sekitar. Kasus ini terjadi di pembangunan apartemen The Apartkost di Beji Timur. Pihak pengembang tidak membuka rencana pembangunan apartemen kepada warga sekitar. Akibatnya, muncul banyak protes dari warga sekitar yang merasa keberatan dengan pembangunan apartemen di daerah mereka. Protes ini didasari pada alasan pengawasan oleh warga. Menurut warga, apartemen sulit diawasi dan dikhawatirkan menjadi tempat prostitusi dan peredaran narkoba (Bernie M. , 2018). Hal ini diperparah dengan sikap pihak pengembang yang enggan memberikan data penghuni apartemen. Tanpa adanya data penghuni, baik warga sekitar maupun pemerintah, menjadi tidak bisa memastikan pemilik apartemen. Dampaknya, apartemen rentan dijadikan tempat tindakan kriminal. Terlebih lagi, Pemkot Depok sudah mencurigai bahwa apartemen kerap dijadikan tempat prostitusi (Tempo.co, 2016).

Selain pengawasan masyarakat yang terbatas, pembangunan apartemen juga mengancam persediaan air dan jalan masyarakat. Kapasitas penghuni yang besar menyebabkan kebutuhan air juga besar. Jika sumber air berasal dari air tanah, seperti pada kasus apartemen The Apartkost, maka dapat dipastikan kuantitas air yang bisa dimanfaatkan warga menjadi berkurang. Selain itu, kapasitas penghuni apartemen yang besar juga bisa menyebabkan kemacetan. Masalah ini timbul karena pembangunan apartemen tidak dibarengi dengan perluasan jalan. Hal ini akan menyebabkan kepadatan lalu lintas, terutama bagi apartemen yang tidak terintegrasi dengan transportasi umum karena penghuninya terpaksa menggunakan kendaraan pribadi (Bhawono, 2018).

Sejak pendiriannya, Kota Depok sudah disiapkan untuk menjadi kota penyangga DKI Jakarta. Kepadatan penduduk di DKI Jakarta diharapkan dapat berkurang dengan dibangunnya Kota Depok sebagai kota penyangganya. Oleh karena itu, Kota Depok dirancang untuk menampung penduduk yang bekerja di DKI Jakarta. Rancangan ini direalisasikan dengan pembangunan Perumnas di Kota Depok. Namun, seiring berjalannya waktu, Kota Depok hampir berada pada batasnya. Kepadatan penduduk yang terus meningkat di Kota Depok menyebabkan mulai berkurangnya lahan hunian. Dampaknya, harga hunian terus meningkat dan ditakutkan Kota Depok tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai kota satelit DKI Jakarta.

Solusi yang ditawarkan oleh Pemkot Depok adalah hunian vertikal. Dengan hunian vertikal, lahan yang kecil dapat menampung lebih banyak penduduk ketimbang rumah tapak. Pemkot Depok pun menyerahkan urusan pembangunan hunian vertikal kepada pihak swasta.

Sayangnya, penyerahan urusan pembangunan hunian vertikal kepada swasta malah menciptakan masalah baru. Karena diserahkan kepada pihak swasta, pembangunan hunian vertikal dilakukan dengan pertimbangan ekonomi. Akibatnya, harga hunian dipatok terlalu tinggi serta pembangunannya yang terlalu berpusat di Jalan Margonda. Akibatnya, penduduk Kota Depok sulit untuk memiliki hunian. Pembangunan hunian vertikal yang terpusat di Jalan Margonda juga menyebabkan tata kota di Jalan Margonda semakin semrawut.

Selain masalah harga dan tata kota, pembangunan hunian vertikal juga menyebabkan masalah sosial. Pengelolaan hunian vertikal yang dilakukan swasta terpisah dari pemerintah. Oleh karena itu, swasta tidak memiliki kewajiban untuk membagikan data penghuni hunian vertikal kepada pemerintah maupun jajaran birokrasi di tingkat RT maupun RW. Akibatnya, baik pemerintah maupun warga sekitar hunian vertikal, tidak bisa mengawasi hunian vertikal. Hal ini menyebabkan hunian vertikal rentan dijadikan tempat prostitusi dan pengedaran narkoba.

Referensi

Anhar, A. (2017). Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Perumahan oleh Badan Hukum Swasta di Kota Depok. Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan , 109-123.

Bernie, M. (2018, Maret 18). Di Tengah Permukiman, Apartemen Beji Depok Dapat Perlawanan Warga. Diambil kembali dari Tirto.id: https://tirto.id/di-tengah-permukiman-apartemen-beji-depok-dapat-perlawanan-warga-cGhn

Bernie, M. (2020, Oktober 7). Apartemen TOD: Katanya untuk Mienial, tapi Harga Tak Masuk Akal. Diambil kembali dari Tirto.id: https://tirto.id/apartemen-tod-katanya-untuk-milenial-tapi-harga-tak-masuk-akal-f5Ek

Bhawono, A. (2018, Maret 14). Apartemen Ancam Air dan Jalan di Depok. Diambil kembali dari Detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3916145/apartemen-ancam-air-dan-jalan-di-depok

Budiarto, A., Dwiputri, M., & Hambali, R. (2018). Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Lahan Perumahan di Pusat Pelayanan Kota (PPK) Kota Depok (Studi Kasus: Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Sukmajaya). Lakar: Jurnal Arsitektur, 21-26.

Murbaintoro, T., Ma'arif, M. S., Sutjahjo, S. H., & Saleh, I. (2009). Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan. Jurnal Permukiman, 72-87.

Putri, R. D. (2018, September 7). Dinasti PKS yang Gagal Mengelola Depok. Diambil kembali dari Tirto.id: https://tirto.id/dinasti-pks-yang-gagal-mengelola-depok-cXvU

Santosa, Y. B., & Noviyanti, R. (2020). Sejarah Perumnas Depok I: Perumahan Nasional Pertama di Indonesia (1974-1980). Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, 110-126.

Shao, Z. (2015). The New Urban Area Development: A Case Study in China. Berlin: Springer-Verlag.

Tempo.co. (2016, April 21). Pengelola Apartemen di Depok Tertutup, Penghuni Tak Terdata. Diambil kembali dari Tempo.co: https://metro.tempo.co/read/764596/pengelola-apartemen-di-depok-tertutup-penghuni-tak-terdata/full&view=ok

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun