Dampak dari pengaruh oligarki dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, salah satunya adalah pengesahan UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja disahkan dalam rangka meningkatkan taraf perekonomian Indonesia dengan cara memudahkan masuknya investor. Dengan masuknya investor ke Indonesia, diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan dan menekan angka pengangguran (Adhistianto, 2020).
Di sisi lain, kelompok buruh dirugikan dengan adanya UU Cipta Kerja. Hal ini disebabkan karena sektor ketenagakerjaan dianggap sebagai penghambat masuknya investasi ke Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah melalui UU Cipta Kerja berusaha untuk membuat kebijakan yang menghapus beban tanggung jawab perusahaan atas buruhnya untuk menarik investasi ke Indonesia (Adhistianto, 2020).
Kelompok buruh pun sudah melakukan advokasi terhapa UU Cipta Kerja. Melalui tim kerja yang dibentuk oleh DPR, buruh melalui KSPI melakukan advokasi dengan memberikan masukan mengenai hal-hal yang memberatkan kelompok buruh (Antara, 2020). Walaupun sudah dibentuk tim kerja bersama dengan KSPI, tuntutan kaum buruh tetap tidak diakomodasi. UU cipta kerja tetap disahkan tanpa ada perubahan yang diusulkan oleh KSPI.
Kasus UU Cipta Kerja merupakan salah satu bukti pengaruh oligarki di dalam institusi negara. Hal ini dapat dilihat dari pengesahan UU Cipta Kerja yang memiliki kepentingan ekonomi. Dengan adanya kemudahan investasi, akan memberikan kemudahan bagi pemilik modal untuk melipatgandakan akumulasi kapitalnya.Â
Selain itu, indikasi pengaruh oligarki yang lain adalah komposisi parlemen. Pada periode 2019-2024, 55% anggota DPR merupakan pengusaha (Maharani, 2020). Oleh sebab itu, proses pengesahan UU Cipta Kerja dapat berjalan dengan cepat. Hal ini juga sejalan dengan teori cara yang ditempuh oligarki, yakni dengan menggunakan institusi negara.
Selain menggunakan institusi negara, cara koalisi cair juga diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan signifikan jumlah koalisi pemerintah di parlemen. Pada periode pertama Joko Widodo, koalisi pemerintah hanya menguasai 36,97% kursi parlemen. Jumlah ini meningkat signifikan pada periode kedua dengan angka lebih 60% kursi parlemen (Hakim, 2020). Kekuatan oligarki yang fleksibel menyebabkan adanya koalisi cair di dalam parlemen. Koalisi cair ini berhasil menguasai mayoritas kursi parlemen sehingga UU Cipta Kerja dapat segera disahkan.
Cara penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh UU Cipta Kerja pun sejalan dengan argumen dari perspektif marxisme. Untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, kekuatan oligarki berusaha untuk menekan kelompok buruh. Dengan ditekannya beban tanggung jawab perusahaan terhadap buruh, marjin keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Selain itu, tujuan untuk menarik investasi asing membuktikan bahwa pasar global yang dibentuk oleh kelas borjuis telah membuat Indonesia sangat bergantung dengan investasi asing. Oleh sebab itu, izin penanaman investasi asing dipermudah dalam UU Cipta Kerja.
Mayoritas kursi parlemen yang dikuasai oleh pengusaha dan pengaruh oligarki dalam pemerintahan pun membuktikan bahwa negara telah menjadi alat bagi kelas borjuis untuk menindas kelas proletar. Kekuatan oligarki berhasil mempengaruhi institusi negara untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkannya. Hal ini diperparah dengan minimnya perwakilan kelompok buruh di parlemen akibat tidak adanya partai buruh.
Referensi
Adhistianto, M. F. (2020). Politik Hukum Pembentukan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (Studi Klaster Ketenagakerjaan). Pamulang Law Review, 1-10.
Ananta, D. D. (2016). Politik Oligarki dan Perampasan Tanah di Indonesia: Kasus Perampasan Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2014. Jurnal Politik, 101-137.