Indonesia saat ini, perlu menata kembali peletakan dasar konsep pembangunan insfrastruktur pelabuhan Indonesia. Membentuk tim yang bersinergi dala pengembangan infrastrukur maritime dan pengembangan ekonomi tiap daerah dan mempermudah kepemilikan kapal, merevisi peraturan perbankan untuk system kolateral atau jaminan perbankan terkait kapal sebagai jaminan dan mengembangkan asurasi maritime dan pengembangan galangan kapal.
Pengembangan sektor maritime tidak hanya terkait dengan sumber daya alam seperti yang difahami di Indonesia saat ini. Sektor maritime lebih merujuk pada sumber daya manusia dan kekuatan finansial untuk investasi jangka panjang dalam pembangunan infrastruktur maritime Indonesia. Sudah saatnya Indonesia menguatkan pondasi ekonominya dari sektor maritime untuk pemenuhan 250 juta penduduk Indonesia.Â
Indonesia tidak butuh market dari luar, dengan demand 250 juta penduduk Indonesia, Indonesia akan bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia yang terkuat menyaingi belahan Eropa, Afrika dan Amerika dan setelah kuat bisa ekspansi layaknya China yang memperluas arketnya keseluruh dunia.
Tidak ada alasan untuk tidak melakukan ini semua sekarang, kita memiliki sumber daya manusia yang cukup dan kekuatan finansial dari segala arah. Jika pembangunan infrastruktur secara massif tidak dimulai saat ini, maka Indonesia akan tetap seperti saat ini untuk perekonomian 100 tahun mendatang dan akan mengalami stagnansi perekonomian dari sektor maritime di tahun 2030 dimana Indonesia mengalami ledakan demanding supply barang dari masyarakat Indonesia yang mengalami bonus demographi (bonus demographi yaitu jumlah penduduk muda yang efektif untuk bekerja mencapai puncaknya di suatu Negara dan hanya terjadi satu kali sepanjang Negara berdiri).Â
Kondisi 2030 ini tidak menutup kemungkinan akan menaikkan berkali-kali lipat biaya transportasi mariti akibat delay/antrian pada sistem pelabuhan yang sentralisasi/terpusat.Â
Pelabuhan Transit
Indonesia selalu iri dengan pengembangan pelabuhan transit singapura dan bercita-cita memiliki pelabuhan transit untuk perekonomiannya, namun ini tidak akan pernah terlaksana mungkin dikarenakan hanya gengsi semata yang berapi-api untuk menyaingi singapura.Â
Ini pernah hampir terwujud saat konsep Pak Habibie untuk pengebangan pelabuhan di daerah Batam dan sekitar selat Malaka mulai dikembangkan, namun hanya kandas pada pengembangan pulau Batam dan itupun prematur dalam menyaingi pelabuhan transit singapura.Â
Dalam pembangunan transit, ini bukan hal yang sulit, ini hanya persoalan kekuatan finansial dalam pembangunan infrastruktur maritim di sepanjang selat Malaka dan bebas tarif transit muatan. Dengan memiliki infrastruktur maritime yang lengkap, termasuk di dalamnya ada segala fasilitas pelabuhan pendukung seperti penyediaan air tawar, bunker, supply makanan, pengolahan limbah kapal dan galangan dan hanya ditambahkan peletakan tarif dibawah singapura, maka ini akan terwujud.Â
Jika kita terkendala oleh kebijakan perusahaan besar yang telah memiliki perwakilan di Singapura, maka kebijakan hanya perlu difasilitasi dengan kebijakan pemerintah dalam menstimulus mereka. Karena tidak aka nada suatu kesetiaaan perusahaan kelas dunia pada suatu Negara selain kesetiaan pada nilai ekonomis dan keuntungan pada perusahaan mereka.
Banyak ketakutan Singapura pada pengebangan infrastruktur ini di Selat Malaka, namun Singapura harus merujuk pada Pelabuhan Rotterdam di Belanda, Antwerp di Belgia dan Hamburg di Jerman yang saling berdekatan secara geografis. Mereka saling berdampingan dan saling bersaing dan tetap hidup bahkan terus berkembang dan tidak ada yang saling mematikan walau bagaimanapun kebijakan-kebijakan pengembangan mereka terhadap satu sama lain. Ini dikarenakan volume permintaan barang akan selalu bertambah dan berkembang seiring peningkatan jumlah manusia.Â
Namun sekali lagi rencana ini kanda di Indonesia dan hanya melahirkan Batam yang kerdil. Saya bisa mengerti apa yang dilihat Pak Habibie dalam perencanaan pengembangan ini. Saya melihat hal yang sama selama 5 tahun saya bekerja di Eropa dan Amerika. Dan dengan kandasnya perncanaan ini, kembali Indonesia gagal dalal membangun infrastruktur maritimnya.Â