Mohon tunggu...
Fanda Puspitasari
Fanda Puspitasari Mohon Tunggu... Lainnya - Pejuang Pemikir - Pemikir Pejuang

Karakter terbaik lahir dari tantangan dan pergolakan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Harapan Itu Bernama RUU P-KS

23 Desember 2020   13:48 Diperbarui: 23 Desember 2020   13:52 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penghapusan kekerasan seksual seolah menjadi barang "mahal" di bumi pertiwi. Bagaimana tidak? Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) telah dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Padahal, jika berbicara kekerasan seksual, Indonesia memasuki fase darurat. Realita ini menunjukkan dengan gamblang bahwa perhatian dan kepedulian Negara terhadap nasib kaum perempuan sangat minim. Kondisi ini jelas tidak sejalan dengan cita-cita bangsa, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang raga dan batinnya patut mendapatkan jaminan ketentraman serta kesejahteraan oleh Negara.

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020, terdapat 431.471 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan sepanjang tahun 2019. Selama kurun waktu 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sebanyak 792%, yang artinya penderitaan perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat. Lebih rinci, dari 11.105 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam ranah privat, 25% diantaranya merupakan kekerasan seksual. Sementara dalam ranah publik, kekerasan seksual mencapai 57% dari 3.602 kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan.

Keberadaan RUU P-KS tidak hanya diperuntukkan untuk kemaslahatan nasib kaum perempuan saja. RUU P-KS diinisiasi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual guna melindungi setiap masyarakat Indonesia dari segala bentuk kekerasan seksual, tanpa memandang jenis kelamin. Berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI pada tahun 2018, 1 dari 11 anak perempuan mengalami kekerasan seksual serta 1 dari 17 anak laki-laki juga mengalami nasib serupa. Lalu, 5%-7% anak laki-laki dan 9%-10% anak perempuan di desa dan kota pernah mengalami kekerasan seksual yang bersifat kontak fisik. Paparan data tersebut menegaskan bahwa kekerasan seksual tidak memandang jenis kelamin.

Inisiasi RUU P-KS seharusnya dapat menjadi penyejuk di tengah dehidrasi keadilan, terkhusus yang dialami oleh kaum perempuan Indonesia. Keberadaan RUU P-KS tentunya membuat posisi perempuan dan laki-laki menjadi lebih terlindungi, terlebih bagi korban yang mendapat perlakuan kekerasan seksual. RUU P-KS dapat menjadi payung hukum sekaligus benteng bagi kaum perempuan dan para korban untuk melindungi diri serta martabatnya sebagai manusia.

Namun, harapan untuk merasakan keadilan dengan adanya RUU P-KS sangat berbanding terbalik dengan realita yang terjadi. Perjalanan RUU P-KS sebagai payung hukum keadilan bagi kaum perempuan dan korban kekerasan seksual begitu panjang dan berliku. Berdasarkan dokumentasi Jaringan Nasional Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU P-KS tahun 2020, terhitung dalam rentang tahun 2001-2012, telah dilakukan upaya investigasi, tabulasi dan analisis kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Upaya-upaya tersebut pada perjalanannya mulai terlembaga menjadi sebuah gerakan advokasi dan melibatkan banyak pihak yang menaruh perhatian atas isu ini. Pada tahun 2015, upaya untuk menginisiasi RUU P-KS agar masuk menjadi pembahasan dalam ruang legislatif mulai dilakukan oleh berbagai pihak dan instansi, seperti Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan (FPL), Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), serta berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum.

Perjuangan berbagai pihak dan instansi sempat berbuah positif dimana pada tahun 2017 dalam rapat paripurna, DPR menyetujui RUU P-KS sebagai inisiatif DPR dan masuk Prolegnas Prioritas. Namun akhirnya pada tahun 2019, DPR RI periode 2014-2019 gagal mengesahkan RUU P-KS. Pada tahun 2020 ini, DPR RI kembali sepakat menetapkan RUU P-KS sebagai Prolegnas Prioritas. Meski begitu, untuk kesekian kalinya, pembahasan RUU P-KS menemui jalan buntu dan tidak ada kemajuan berarti. Puncaknya, berdasarkan hasil rapat badan legislasi DPR RI dengan Kementerian Hukum dan HAM, RUU P-KS dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020 dengan alasan pembahasan yang sulit sehingga menjadi beban legislasi, terutama ditengah kondisi pandemi Covid-19 yang belakangan melanda negeri.

Rentetan dinamika tersebut semakin mempertegas bahwa isu kekerasan seksual masih belum mendapatkan perhatian dan tempat yang layak dalam lingkaran para pengambil kebijakan. Padahal, dalam rumusan RUU P-KS yang diusulkan, terdapat poin-poin penting yang dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk menanggulangi permasalahan kekerasan seksual yang telah mencapai taraf mengkhawatirkan.

Salah satu poin yang penting adalah mengenai pasal pencegahan praktik kekerasan seksual. Selain pasal pemulihan dan perlindungan, pasal pencegahan menjadi pasal yang fundamental. Karena dalam pasal ini, isu kekerasan seksual dapat diintegrasikan dalam ruang-ruang pendidikan, pelayanan publik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini menjadi penting mengingat kekerasan seksual telah membudaya dan mengakar ditengah masyarakat. Maka, upaya untuk mengubah pola pikir dan kesadaran masyarakat harus berangkat dari proses edukasi yang mengakar serta mencakup setiap sektor dalam kehidupan masyarakat.

Pada draft RUU P-KS pasal 6 misalnya, mencantumkan bentuk pencegahan kekerasan seksual yang dapat dilakukan, yakni dengan memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non kurikulum, dan/atau ekstra kurikuler pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi. Jika ini diterapkan, maka edukasi kekerasan seksual dapat dilakukan secara dini dan berjenjang ditengah generasi muda Indonesia. Hal ini dapat meminimalisir risiko generasi muda untuk terlibat dalam kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku. 

Bentuk edukasi dalam ruang-ruang pendidikan dapat memutus mata rantai ketidaktahuan masyarakat terkait masalah kekerasan seksual. Banyak dari masyarakat kita belum teredukasi dengan baik, sehingga praktik-praktik kekerasan seksual yang terjadi kerapkali diremehkan.

Selanjutnya, pada pasal 7 hingga pasal 10, juga mencantumkan upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pencegahan kekerasan seksual pada layanan publik, sosial, ekonomi dan budaya. Bentuk-bentuk pencegahan seperti penguatan pengetahuan dan kapasitas pejabat publik, kelompok masyarakat serta penyebarluasan informasi tentang penghapusan kekerasan seksual sangat penting untuk dilakukan guna menggugah kesadaran masyarakat agar dapat melek atas isu kekerasan seksual. Kebutaan informasi dan minimnya edukasi, menjadi salah satu faktor langgengnya budaya kekerasan seksual dan minimnya partisipasi masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual yang terjadi.

Adanya edukasi dalam ruang-ruang pendidikan sejak dini menempatkan generasi muda sebagai salah satu pemegang kunci terhapusnya kekerasan seksual yang -meminjam istilah Hannah Arendt- banal terjadi ditengah masyarakat. Meskipun diliputi oleh bayang-bayang kekerasan seksual, dimana banyak pemuda yang menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual, peran pemuda yang sadar dan teredukasi tetap menjadi penting dalam memutus mata rantai kekerasan seksual.

Posisi pemuda yang berada diantara usia anak dan usia orang tua dapat menjadi katalisator terciptanya kesadaran untuk meniadakan kekerasan seksual. Terlebih, pemuda diberi ruang kesempatan menempuh pendidikan tinggi yang dapat membuka cakrawala wawasan dan kesadaran. Maka, dengan keberpihakan yang benar, pemuda dapat menjadi pendobrak budaya-budaya usang yang dapat menghambat terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat.

Walaupun pemuda dapat memegang peranan penting, keberpihakan negara masih sangat dibutuhkan untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual di negeri ini. Pemuda yang berperan sebagai penerus estafet peradaban bangsa, memiliki tanggung jawab untuk menciptakan masa depan kehidupan bangsa yang lebih baik dan bermartabat. Namun, bila kekerasan seksual selalu mengancam dan menghantui, maka pemuda tidak akan merasa tenang mengabdikan diri untuk bangsa dan tanah air.

Akhirnya, Negara sebagai pemegang mandat rakyat, harus tetap berada pada garda terdepan dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang beradab dan bermartabat tanpa ancaman kekerasan seksual. Maka, disahkannya RUU P-KS adalah harapan segenap rakyat Indonesia agar dapat merasakan keadilan dan kemerdekaan hakiki.

Penulis

Fanda Puspitasari

Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun