Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kenapa Terjadi Perang Dagang AS Vs China?

5 Juli 2020   14:14 Diperbarui: 5 Juli 2020   14:23 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com

Salah satu isu yang kembali menghangat akhir-akhir ini adalah tentang Perang Dagang antara AS dan China. Bahkan kini mulai merembet ke gagah-gagahan militer. 

Nah, banyak kemudian pertanyaan bermunculan. Salah satunya yang paling urgen, "kenapa terjadi perang dagang antara AS vs China?". Tentu ada banyak jawaban dari berbagai perspektif. Tapi, di sini saya akan coba jawab dari perspektif ekonomi politik yang pernah saya pelajari.

Sesudah Perang Dingin, Komunisme bubar jalan. Mazhab Neoliberal yang menggantikan Keynesian sejak tahun 1970an dan dipromosikan oleh duo Ronald Raegan (US) dan Margareth Tatcher (UK) pun menguasai panggung internasional. 

Kalangan Liberal pun merayakan kemenangan mereka dalam Perang Dingin ini. Francis Fukuyama dengan percaya diri bilang di tahun 1993, "this is The End of History". Sejarah telah usai. Pertarungan ideologi tidak akan ada lagi. Liberalisme dan turunannya seperti Kapitalisme dalam ekonomi dan Demokrasi dalam politik akan menjadi sistem mainstream yang tidak punya lawan. Dunia akan damai dalam tatanan "Liberal World Order". 

Globalisasi kemudian menjadi proyek besar di seluruh dunia. Jangan ada lagi hambatan dalam berdagang. Negara jangan terlalu banyak ikut campur di perekonomian. Peraturan pemerintah harus berorientasi pada kebebasan pasar seluas-luasnya. 

Dengan ambisi yang demikian kuat, GATT pun berubah menjadi WTO dan disambut dengan baik oleh banyak negara, termasuk Indonesia yang bergabung sedari awal. Iya, Pak Harto dengan senang hati menggabungkan Indonesia dengan WTO yang Neolib itu. Hehehe. 

Istilah "Globalisasi" lantas menjadi buah bibir di masyarakat. Semua orang dengan fasih bicara terkait globalisasi dan begitu yakin dengan masa depan cerah yang dijanjikan oleh globalis, para penyokong ide-ide globalisasi. 

Tahun 1997-1998, Asia Timur dan Tenggara digempur krisis ekonomi terparah dalam beberapa dekade. Pertumbuhan ekonomi negara yang dulu dikenal sebagai "Macan Asia" anjlok dan jadi minus. Tapi coba tebak apa yang kemudian jadi resep caspleng dari IMF yang diterima banyak negara, termasuk Indonesia? Iya, mantapkan globalisasi melalui trio "liberalisasi perdagangan, deregulasi sistem peraturan, dan privatisasi perusahaan". 

Proyek Globalisasi pun semakin mendapat angin segar ketika China bergabung ke WTO tahun 2001. Negara yang tadinya tertutup dari dunia luar dan fokus pembangunan di dalam ikutan ke dalam sistem Neoliberal. Sorak sorai kalangan globalis terdengar, lihat tuh China sudah bergabung dengan WTO! 

Tapi, di sinilah titik balik itu terjadi. 

Globalisasi meniscayakan arus perdagangan, baik barang, jasa, ataupun modal, secara bebas dan minim hambatan. Apa keunggulan relatif yang dimiliki China dibandingkan negara lain? 

Yang paling kentara adalah, dengan penduduk yang ada 1 milyar itu, China memiliki potensi pasar yang besar sekaligus potensi tenaga kerja yang besar juga. Ketika masuk WTO tahun 2001 aja, china punya 700 juta orang yang berada pada usia produktif. Uwow! 

Nah, dengan tenaga kerja yang besar itulah, banyak kemudian pabrik-pabrik yang padat karya pindah ke China. Mulai dari tekstil sampai teknologi. Apalagi buruh di China dikenal produktivitasnya tinggi dan bisa diupah dengan murah. 

Untuk mendukung ambisi ekspor besar-besaran China dengan memanfaatkan WTO, China melakukan "cheating" berupa melemahkan nilai mata uang dengan sengaja. Ini mirip strategi Jepang di tahun 1950an. Dengan mata uang yang melemah, harga barang yang diekspor menjadi lebih murah di pasar internasional. Artinya, barang yang kita jual jadi lebih kompetitif. 

Nah, China ini orientasi ekspornya ke Amerika dan Eropa. Kita bahas ke Amerika aja, pakai data perdagangan barang AS-China dari pemerintah AS. Tahun 2000, defisit yang dialami AS "hanya" -82.833 juta Dolar. Tahun 2007, sebelum krisis di AS, defisitnya sudah tiga kali lipat mencapai -258.506 juta Dolar. Tahun 2018 pun, sesudah Trump naik jadi Presiden AS yang gembar-gembor Perang Dagang dengan China, defisit justru mencapai puncaknya di angka -418.953,9 juta Dolar. 

China sendiri menikmat surplus perdagangan dari ekspor sesudah ikut WTO. Kita coba buka pakai data dari Bank Dunia untuk neraca perdagangan barang dan jasa. Tahun 2000, surplus yang dinikmati China adalah 28.786 milyar Dolar. Tahun 2008, ketika krisis terjadi di Amerika dan Eropa, justru keuntungan China memuncak dengan 348.833 milyar Dolar. Tahun 2019 kemarin, surplus China mencapai 164.986 milyar Dolar.

Nah, sekarang, bagaimana keadaan di AS? Kita tahu kalau AS ini promotor utama globalisasi, tentu termasuk di dalamnya perdagangan bebas. Tapi, yang dialami justru adanya modal keluar, defisit perdagangan yang membesar, dan pengangguran yang meningkat. 

Awalnya sih masih oke-oke aja. "Ah, ini kan memang ongkos yang mesti dikeluarkan oleh negara yang pegang hegemoni global". Begitu pikirnya. 

Meski demikian, lama-lama publik Amerika gerah juga. Bukan apa-apa, tapi emang masyarakat merasa kok Globalisasi ini gak menguntungkan Amerika? Ada sih yang untung, pemilik modal itu. Tapi buat warga kebanyakan? 

Kesejahteraan warga Amerika cenderung konstan dalam beberapa dekade. Kesenjangan antara orang kaya dengan miskin melebar. Relokasi industri ke negara berkembang, khususnya China, malah bikin warga AS jadi pengangguran. 

Inilah yang kemudian ditangkap dengan jeli oleh Trump ketika jadi capres 2016 silam. Jargonnya mantap "Make America Great Again". Semua kebijakan harus American First. Bring back the job to American people. Tutup border biar pengungsi gak masuk dan bikin persaingan pasar kerja makin susah. 

Hingga ke bagian yang paling seksi dan kemudian memicu perseteruan adalah, Perang Dagang dengan China. China dianggap "tak tahu diuntung". Sudahlah dagang dengan China bikin Amerika defisit terus, di percaturan politik global juga China makin menguat yang bisa bikin posisi Amerika melemah. Pengaruh China sudah semakin menguat di daerah yang tadinya "dikuasai" AS, seperti Asia Tenggara dan Timur Tengah. Maka, diutak-atiklah aturan dagang dengan China. Tarif impor dinaikkan, pengusaha asal AS diminta balikin pabriknya ke AS dari China, dan lain-lain caranya. 

Nah, dari sini kemudian globalisasi semakin dipikirkan ulang. Lah itu AS aja yang dari awal paling sorak sorai dengan Globalisasi, sekarang malah putar balik. Masa dia yang bikin aturan, trus merasa kalah, malah bubar jalan? 

Proyek Globalisasi juga dipertanyakan ketika Uni Eropa, sobat karibnya AS, juga mengalami kegamangan sesudah Brexit. Krisis ekonomi 2008 juga belum sepenuhnya pulih di Amerika dan Eropa. Kepercayaan pada institusi internasional memudar. Janji Neoliberal yang selama ini dipercaya juga dipertanyakan ulang. Globalisasi yang sebelumnya disokong pun ditinjau kembali. 

Akankah Perang Dagang antara AS vs China memanas menjadi Perang fisik betulan? Tak ada yang tahu pasti. Satu-satunya yang kini pasti adalah, ketidakpastian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun