Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kenapa Terjadi Perang Dagang AS Vs China?

5 Juli 2020   14:14 Diperbarui: 5 Juli 2020   14:23 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com

Yang paling kentara adalah, dengan penduduk yang ada 1 milyar itu, China memiliki potensi pasar yang besar sekaligus potensi tenaga kerja yang besar juga. Ketika masuk WTO tahun 2001 aja, china punya 700 juta orang yang berada pada usia produktif. Uwow! 

Nah, dengan tenaga kerja yang besar itulah, banyak kemudian pabrik-pabrik yang padat karya pindah ke China. Mulai dari tekstil sampai teknologi. Apalagi buruh di China dikenal produktivitasnya tinggi dan bisa diupah dengan murah. 

Untuk mendukung ambisi ekspor besar-besaran China dengan memanfaatkan WTO, China melakukan "cheating" berupa melemahkan nilai mata uang dengan sengaja. Ini mirip strategi Jepang di tahun 1950an. Dengan mata uang yang melemah, harga barang yang diekspor menjadi lebih murah di pasar internasional. Artinya, barang yang kita jual jadi lebih kompetitif. 

Nah, China ini orientasi ekspornya ke Amerika dan Eropa. Kita bahas ke Amerika aja, pakai data perdagangan barang AS-China dari pemerintah AS. Tahun 2000, defisit yang dialami AS "hanya" -82.833 juta Dolar. Tahun 2007, sebelum krisis di AS, defisitnya sudah tiga kali lipat mencapai -258.506 juta Dolar. Tahun 2018 pun, sesudah Trump naik jadi Presiden AS yang gembar-gembor Perang Dagang dengan China, defisit justru mencapai puncaknya di angka -418.953,9 juta Dolar. 

China sendiri menikmat surplus perdagangan dari ekspor sesudah ikut WTO. Kita coba buka pakai data dari Bank Dunia untuk neraca perdagangan barang dan jasa. Tahun 2000, surplus yang dinikmati China adalah 28.786 milyar Dolar. Tahun 2008, ketika krisis terjadi di Amerika dan Eropa, justru keuntungan China memuncak dengan 348.833 milyar Dolar. Tahun 2019 kemarin, surplus China mencapai 164.986 milyar Dolar.

Nah, sekarang, bagaimana keadaan di AS? Kita tahu kalau AS ini promotor utama globalisasi, tentu termasuk di dalamnya perdagangan bebas. Tapi, yang dialami justru adanya modal keluar, defisit perdagangan yang membesar, dan pengangguran yang meningkat. 

Awalnya sih masih oke-oke aja. "Ah, ini kan memang ongkos yang mesti dikeluarkan oleh negara yang pegang hegemoni global". Begitu pikirnya. 

Meski demikian, lama-lama publik Amerika gerah juga. Bukan apa-apa, tapi emang masyarakat merasa kok Globalisasi ini gak menguntungkan Amerika? Ada sih yang untung, pemilik modal itu. Tapi buat warga kebanyakan? 

Kesejahteraan warga Amerika cenderung konstan dalam beberapa dekade. Kesenjangan antara orang kaya dengan miskin melebar. Relokasi industri ke negara berkembang, khususnya China, malah bikin warga AS jadi pengangguran. 

Inilah yang kemudian ditangkap dengan jeli oleh Trump ketika jadi capres 2016 silam. Jargonnya mantap "Make America Great Again". Semua kebijakan harus American First. Bring back the job to American people. Tutup border biar pengungsi gak masuk dan bikin persaingan pasar kerja makin susah. 

Hingga ke bagian yang paling seksi dan kemudian memicu perseteruan adalah, Perang Dagang dengan China. China dianggap "tak tahu diuntung". Sudahlah dagang dengan China bikin Amerika defisit terus, di percaturan politik global juga China makin menguat yang bisa bikin posisi Amerika melemah. Pengaruh China sudah semakin menguat di daerah yang tadinya "dikuasai" AS, seperti Asia Tenggara dan Timur Tengah. Maka, diutak-atiklah aturan dagang dengan China. Tarif impor dinaikkan, pengusaha asal AS diminta balikin pabriknya ke AS dari China, dan lain-lain caranya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun