Perayaan kemerdekaan Indonesia selalu dilakukan setiap tahun. Di usia yang semakin meningkat, negeri ini selalu menghadapi tantangan yang menguji perjalanannya. Tantangan ini datang baik dari dalam negeri maupun ancaman dari luar negeri. Dalam momentum peringatan kemerdekaan ini, mari kita merenungi kembali UUD yang menjadi pedoman bangsa ini.
Membaca kembali tujuan besar bangsa Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, rasanya masih cukup jauh dari kenyataan pada saat ini. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Itulah visi besar bangsa ini yang telah ditanamkan pendahulu kita.
Menjadikan seluruh tanah air kita sebagai tempat yang aman, damai, layak, dan bersahabat merupakan tanggung jawab segenap penduduk Indonesia. Akan tetapi, kita masih perlu berkaca pada peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Kerusuhan di Tanjung Balai akibat kesalahpahaman antar umat beragama menunjukkan bahwa kita masih belum mampu melindungi sesama bangsa sendiri. Bahkan, di Sumatera Utara terjadi pemukulan yang dilakukan oleh segelintir oknum TNI kepada warga di dekat masjid. Sekali lagi, bentrokan antara tentara dengan warga sipil terjadi. Padahal, tugas mereka seharusnya adalah melindungi tanah air.
Situs bersejarah pun belum sepenuhnya terawat dengan baik. Banyak peninggalan leluhur bangsa ini yang harus lapuk dimakan usia tanpa perawatan yang memadai. Koleksi bersejarah pun banyak yang dijarah dari museum. Padahal, dari sejarah dan peninggalan masa lalu inilah kita seharusnya mampu mempersiapkan masa depan.
Kesejahteraan rakyat Indonesia pun belum merata. Kalau dibandingkan misalnya saja harga beras di Papua bisa jauh lebih mahal berkali lipat dibanding dengan harga di Jawa. Jangankan dengan yang di Papua. Antara Jakarta dengan Tangerang saja terlihat ketidakmerataan pembangunan. Tanah masih dikuasai oleh pengembang besar, sedangkan rakyat pribumi semakin terpinggirkan. Kesejahteraan yang dicapai pun masih belum merata. Beberapa hari yang lalu, terdapat sebuah berita bahwa orang kaya Indonesia termasuk yang terbanyak di Asia. Di sisi lain, kemiskinan yang dirasakan sebagian besar rakyat, masih belum juga berkurang secara signifikan.
Perekonomian yang dibangun pun masih belum memiliki pondasi yang kuat. Hutang luar negeri semakin meningkat, sementara ekonomi masih ditopang oleh faktor konsumsi. Yang terjadi justru kerapuhan fundamental ekonomi. Selain itu, sistem ekonomi Pancasila yang berlandaskan asas kekeluargaan semakin ditinggalkan. Korporasi dan ekonomi liberal justru semakin berkembang. Hal ini dapat dilihat dari tingginya keuntungan perusahaan, sedangkan karyawannya tidak berubah signifikan pendapatannya. Kekayaan terpusat hanya di segelintir orang.
Visi memajukan kecerdasan bangsa juga masih belum mendapatkan sistem pendidikan yang ideal. Kita masih terlalu ribut mengurus lama waktu sekolah, namun tidak terlalu memperhatikan pembentukan karakter siswa. Kita masih terlalu membanggakan prestasi akademik saja, namun belum banyak menghargai pentingnya kejujuran dan kebersamaan. Siswa masih belum didorong untuk menjadi tak sekadar cerdas, namun juga berakhlak.
Jika kita mau menengok kembali apa yang dituangkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Kita perlu kembali memahami bahwa tujuan pendidikan kita lebih menekankan sisi karakter, akhlak, dan moral. Bukan sekadar cerdas, namun juga berbudi pekerti. Sehingga, kasus ketidakhormatan murid pada guru tak perlu lagi terulang.
Melaksanakan ketertiban dunia pada saat ini kita menghadapi tantangan besar. Pertama, kondisi perekonomian dunia saat ini sedang melambat dan belum menunjukkan perbaikan signifikan. Kedua, ancaman konflik terbuka saat ini meningkat di sebelah utara negeri ini seiring dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan. Ketiga, era pasar bebas mengancam ekonomi kerakyatan kita karena usaha kecil dan menengah terancam tergilas oleh arus liberalisasi perdagangan.
Indonesia sebenarnya merupakan negara kunci bagi perdamaian kawasan. Kita perlu dengan cerdas memainkan potensi geopolitik yang dimiliki. Indonesia perlu meningkatkan kemampuan pertahanannya demi menjamin kedaulatan negara. Kedaulatan dalam bentuk wilayah jangan lagi diganggu oleh kepentingan asing.
Memaknai kembali kemerdekaan kita
Pada akhirnya, kita perlu memaknai kembali kemerdekaan kita. Sudahkah sesuai dengan tujuan yang diimpikan oleh kita atau justru keluar dari jalur perjuangan bangsa. Kita harus sadar, bahwa perjuangan membangun Indonesia tidak dapat dikatakan mudah. Sebuah nomenklatur kebangsaan yang tak ada duanya menjadi tantangan bangsa ini. Ribuan suku, bangsa, bahasa, adat, budaya, dan tersebar di belasan ribu pulau di penjuru negeri. Jika kita melihat teori, akan sulit menemukan faktor pemersatu bangsa kita. Dengan rasa yakin, negeri ini telah menyatakan bahwa persatuan nasional menjadi salah satu pondasi kebangsaan.
Kini, kita harus mengukuhkan kembali kebansaan kita. Pembangunan harus terus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan. Akan tetapi, jangan sampai mengkhianati sebagian rakyat kita. Kita tentu berharap bahwa negara ini menjadi negara besar yang kuat. Kuat pondasi ruhiyah dan lahiriyah. Tak dapat kita pungkiri, bahwa usaha yang kita lakukan tak akan ada pengaruhnya tanpa kuasa Ilahi. Mengarahkan bangsa ini menjadi jauh dari nilai ketuhanan justru mengkhianati Pancasila. Teruslah kita menjadi lebih baik, tanpa melupakan bahwa, hanya atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, Indonesia mampu meraih kemerdekaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H