Kesalahan yang sama terulang kembali di akhir tahun 1944 di saat Jerman sudah terdesak oleh kekuatan Sekutu yang mendarat di Normandy, Perancis pada bulan Juni tahun yang sama. Pada tanggal 16 Desember 1944, kekuatan lapis baja Jerman merangsek menembus hutan Ardennes dan garis pertahanan sekutu, memerangkap 11.000 tentara Amerika di dalam kota Bastogne yang mereka kepung. Pertempuran yang selanjutnya dinamakan dengan istilah "Battle of The Bulge" ini, berlangsung hingga tanggal 25 Januari 1945 dan akan berakhir lain seandainya kekuatan Jerman mendapatkan dukungan logistik yang memadai dan dengan didukung oleh kekuatan udara yang mampu memayungi pergerakan mereka - dua hal dari beberapa sebab utama kegagalan operasi ini.
Dari dua contoh diatas, tampak disini bahwa kelalaian Perancis pada dasawarsa 1930-1940 yang menganggap hutan Ardennes tidak bisa ditembus tidak dijadikan pelajaran bagi tentara sekutu yang nyaris membuat mereka harus membayar mahal dengan kekalahan bila serangan Jerman tersebut tetap bisa berjalan lancar. Di sisi lain, hal ini juga membuktikan bahwa pergerakan kendaraan lapis baja tanpa didukung oleh kekuatan udara untuk memayungi mereka membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi kekuatan udara lawan.
Kembali kepada bahasan MBT di Indonesia, pendapat-pendapat yang masih bersikeras menyatakan MBT tidak cocok dengan geografis Indonesia yang salah satunya mengambil contoh Kalimantan yang dianggap tidak bisa ditembus adalah suatu pendapat yang mencerminkan sikap "ignorant", "complacent" dan meremehkan potensi ancaman yang bila dibiarkan akan menjadi kelengahan yang bisa dieksploitasi oleh kekuatan-kekuatan militer negara-negara asing. Kenyataannya, meskipun masih banyak wilayah Kalimantan yang tertutupi oleh belantara dengan pepohonan yang lebat dan rapat, tapi makin banyak pula lahan-lahan yang sudah terbuka digantikan oleh kebun-kebun kelapa sawit dan pertanian rakyat, disamping area pengelolaan kayu secara resmi maupun liar. Perlu dipahami disini, bahwa "ancaman dari Utara" ini tidak hanya sebatas negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, tapi juga setiap negara-negara asing lain yang memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan melintasi laut dan mendaratkan pasukannya di Kalimantan Utara untuk kemudian bergerak maju ke Selatan. Sekalipun mereka tidak melakukan serangan langsung melintasi perbatasan darat, bukanlah hal yang sulit untuk melancarkan pendaratan amfibi lanjutan ke titik-titik lemah pertahanan Indonesia di pesisir Kalimantan.
Harus dimengerti bahwa bila kita sudah bicara mengenai pendaratan amfibi, tidak hanya Kalimantan yang bisa terancam, tapi seluruh pulau-pulau Indonesia pun akan terancam dengan operasi seperti ini sebagaimana terjadi di tahun 1942 sewaktu Indonesia masih bernama Hindia Belanda dalam menghadapi serbuan bala tentara kekaisaran Jepang. Dan juga harus dipahami bahwa ancaman terhadap Indonesia tidak hanya bisa datang dari Utara, tapi juga dari segala arah mata angin yang lain yang pada akhirnya menuntut TNI untuk mampu mengantisipasi dan menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Mengenai masalah mobilitas MBT di negara kepulauan seperti Indonesia, cukup jelas bahwa bila jumlah MBT yang ada masih sedikit maka kemampuan untuk memindah-mindahkan MBT ke lokasi-lokasi yang membutuhkan adalah satu hal yang mutlak diperlukan. Tapi itupun bukan hal yang terlalu sulit karena sejak beberapa tahun yang lalu TNI-AL telah memiliki 4 buah kapal LPD (Landing Platform Dock) sekelas KRI Makassar yang mampu menampung 40 kendaraan tempur jenis APC (atau kurang lebih sekitar 20-30 MBT) dan membawa kendaraan-kendaraan itu ke segala pelosok tanah air dimanapun dibutuhkan. Tidak hanya itu, pembuatan dan pembelian kapal-kapal jenis LST (Landing Ship, Tank) produksi dalam negeri juga tengah dilakukan yang pastinya akan lebih memudahkan pergerakan MBT karena kapal-kapal jenis ini mampu untuk mendaratkan kendaraan-kendaraan militer seperti ini langsung di pantai tanpa melalui bongkar muat di pelabuhan terlebih dahulu.
Kapal diatas membawa empat kendaraan tambang yang bobotnya bisa mencapai 500 ton sebuahnya. Sudah barang tentu bukan masalah untuk membawa beberapa MBT yang sebuahnya hanya memiliki berat sebesar 62 ton.
Kemudian bila mengambil contoh dari Jepang untuk diterapkan disini dimana setiap pulau besar negara itu memiliki batalyon-batalyon MBT-nya sendiri (di pulau Hokkaido hingga satu divisi dengan lebih dari 300 MBT), tentunya masalah memindah-mindahkan MBT bukan lagi menjadi hal yang krusial. Bayangkan betapa besar nilai "penggentar" (deterrent) yang kita miliki bila setiap pulau besar di Indonesia memiliki batalyon-batalyon MBT-nya sendiri yang mampu untuk melawan pendaratan amfibi musuh, apalagi bila didukung dengan kekuatan laut yang handal sebagai benteng pertama untuk menghadapi serbuan dan kekuatan udara yang handal buat memayungi kapal-kapal perang dan tank-tank Indonesia. Inilah letak pentingnya modernisasi ketiga angkatan yang tengah dijalankan oleh TNI-AL dan TNI-AU, dan yang sekarang tengah diupayakan oleh TNI-AD.
******