Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Jangan Jodohkan Aku (Tamat)

2 November 2024   22:27 Diperbarui: 2 November 2024   22:50 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah seberapa lama aku berlari, "Jduuuuk.......!!," Seonggok batu menghentikan langkahku, jemari kaki yang terantuk terasa nyeri, kuhentikan langkahku. Rimbunnya hutan kian membuat pandangan samar-samar. 

Aku tak sanggup berjalan lagi. Tampak di depanku, rumput tebal bagai permadani, kuhempaskan tubuhku di atasnya. Nyaman sekali duduk di situ, hingga mataku mengantuk, dan tertiidur lelap.

Entah berapa lama aku tertidur lelap. Saat terjaga, aku telah terbaring di sebuah ranjang berukuran besar. Sebuah kamar mewah, tapi kuno. Lampu hias dalam kamar menyala tak terhitung, namun suasana tetap redup.

Kulihat tas travellingku ada di atas meja samping ranjang tempatku berbaring. Kuperiksa isinya, masih utuh, tak ada yang rusak atau pun hilang. Kupandang seluruh ruang kamar, tampak lukisan kuno di dinding.

Mataku tak berkedip memandangi lukisan kuno keluarga dengan memakai busana kerajaan ala barat. Dan aku bingung, mengapa rumah bangsawan barat ada jauh di dalam hutan? Mungkinkah aku berada di sebuah gedung konsulat inggris? Tapi bukankah aku tadi berada di tengah hutan?

*****

Aku melangkah ke arah jendela kamar. Suasana malam dari balik kaca jendela  besar dan agak kusam. Malam temaram, bulan purnama memancar dengan terangnya. 

Tiba tiba pintu kamar berderit terbuka. Sesosok wajah wanita tua muncul di sana. Ia memakai kostum mirip dengan pelayan-pelayan di belahan Eropa saat abad pertengahan.

Dia tersenyum ramah padaku, "Nona sudah bangun?" Aku tak bisa menjawab sepatah katapun, mulutku tercekat kaku. Perempuan itu kembali tersenyum, lalu menceritakan bahwa anak lelaki majikannya menemukan tubuhku tergeletak kehujanan di atas rumput saat petang tadi, hingga kemudian menggendongku pulang.

Aku manggut-manggut, aku tak menyangkal sebab saat terakhir aku memang tertidur di tengah hutan. Tapi kehujanan? Itu yang membuatku kebingungan.

Pelayan itu mmepersilahkan aku ke ruang makan karena keluarga majikannya telah menungguku untuk makan malam. Aku mengangguk, mengikuti langkah perempuan tua dengan cawan lilin dalam genggamannya menuju ruangan makan.

Kami menyusuri koridor menuju ruang makan, yang jaraknya cukup jauh. Tampaknya rumah ini tak bisa disebut rumah, lebih mirip kastil tua seperti kastil milik keluarga Sony. Namun minimnya penerangan membuat suasananya terkesan angker.

Menyusuri tangga besi berkelok menuju ruangan bawah, suasana tetap redup meski kulihat beberapa lampu hias menyala. Sepanjang langkahku, banyak bersua dengan pelayan berwajah pucat. Mereka menatapku secara sembunyi-sembunyi. Benakku berpikir bahwa hal itu wajar, sebab aku adalah sosok baru di tempat itu.

*****

Suasana ruang makan tampak temaram. Beragam makanan yang tampak lezat terhidang di sana. Perutku yang sudah kosong sedari siang tadi tampaknya menuntut untuk diisi. Tapi aku berusaha menahan diri. Grilled chicken, Meat barbecue, Spaghetti bolognese, Chocolate tiramisu, itu semua makanan kesukaanku.

Sepasang suami istri paroh baya tersenyum dan mempersilahkan aku duduk di meja makan dengan duabelas kursi itu. Istrinya seorang wanita cantik nan ramah, ia menggamit tanganku dan mengarahkan aku untuk duduk di kursi makan yang bersebelahan dengan seorang pria tampan, yang ternyata sedari tadi memperhatikanku, tak berkedip.

"Ini anak kami, Lucky, yang menemukanmu tertidur di hutan," kata wanita cantik itu sambil memotong Grilled chicken, lalu meletakkanya di piring makanku.

"Hello....," pria tampan yang disebut Lucky itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya, lalu mengecup tanganku, seperti gaya bersalaman di film-film kerajaan Inggris tempo dulu.

Suasana makan malam sangat hangat. Mereka keluarga yang sangat ramah dan menyenangkan, Selesai makan malam, Lucky mengantarku ke ruangan kamarku.

****

Aku tak tahu berapa lama telah tinggal di kastil itu. Yang pasti, hari-hari dan malamku kujalani dengan keindahan. Bahkan karena suasana keramahan itu, membuatku tak ingat apa-apa lagi tentang kejadian yang menimpaku bersama Sony.

Padahal nun jauh di luar hutan sana. Telah hampir satu tahun mereka mencariku, berita-berita surat kabar dan televisi sangat hiruk pikuk memberitakanku. Hingga kemudian memasuk tahun kedua, tak ada berita lagi, sebab aku dianggap telah hilang dan tak ada lagi. Akibatnya, Sony yang didakwa telah menghilangkanku, hingga pengadilan memvonisnya duapuluh tahun penjara.

*****

Malam itu, aku merasa jenuh tinggal dalam kastil. Sebagaimana biasa, Lucky pasti akan mengajakku mengelilingi desa di sekitar kastilnya

"Kita berangkat," ia berkata sambil membawakan seekor kuda putih kesayangannya untukku. Aku juga bingung, tak ada alat transportasi modern di sekitar kasil. Yang ada hanya kereta kaca kuda, dan naik kuda itu sendiri. Tak ada pilihan, aku sendiri sudah bosan menaiki kereta kuda.

Lonceng kastil berdentang tiga kali, pertanda jam tiga dinihari. Tapi mataku yang tak bisa terpejam memaksaku menaiki kuda putih kesayangan Lucky. Ia yang memegang tali kekang, aku duduk di belakangnya. Ia pun memacu kuda sekencang-kencangnya. Aku yang ketakutan, memeluk pinggangnya erat-erat.

Meski aku sering berjalan-jalan mengelilingi desa di sekitar kastil, namun aku tak pernah tahu jalan pulang. Bahkan aku tak ada keinginan untuk pulang. Aku seperti telah menemukan cinta sejatiku, bukan Sony yang menjadi pelarianku karena menghindari Albert, tapi Lucky.

Entah mengapa aku seperti tak ingin berpisah saat bersamanya. Mungkinkah aku telah terhipnotis? Tapi dari hati kecilku terdalam, ia sangat baik padaku. Apalagi aku tak tahu jalan pulang, seperti terdampar pada dimensi yang berbeda.

*****

Kami terus berkeliling mengitari jalan-jalan di sekitar desa. Sinar bulan purnama ditambah lampu-lampu penerangan pinggir jalan kian mempercantik suasana malam. Tiba-tiba terdengar kokok ayam jantan dari kejauhan.

"Sudah pagi, kita harus cepat kembali ke kastil!" Teriakan Lucky mengejutkanku.Tampak raut wajahnya menunjukkan kecemasan. "Berpegangan erat-erat," tukasnya lagi sambil memacu lari kuda putihnya sekencang-kencangnya.

Kuda berlari sekencang-kencangnya. Aku berpegangan pada tubuh kekar Lucky seerat-eratnya. Tapi..... "Braaaaaak....!!!" Kami menabrak sesuatu. Aku terpental jauh, terlempar ke bawah lembah, dan tak ingat apa-apa lagi.

*****

Aku tersadar saat banyak suara memanggil namaku. Samar-samar kubuka mataku, tampak bangsal rumah sakit. Kulihat wajah orangtuaku, tante, oom, dan juga, Albert! Dan aku kembali pingsan lagi.

Saat tersadar kembali, tak ada lagi wajah Albert dan orangtuanya, yang ada hanya wajah mami dan papiku.Mereka tampak cemas dan memelukku erat-erat. 

"Kenapa kamu baru muncul sekarang? Kenapa terjebak di hutan angker,?" Mami bertanya sambil menangis terisak-isak. Aku hanya terdiam, tak mengerti harus menjawab apa.

Papi bilang, petugas rescue hutan menemukanku tersangkut di pohon besar dengan rambut gimbal dan baju compang-camping. "Bukankah tadi malam aku memakai salah satu gaun terindah yang diberikan keluarga Lucky?" Batinku dalam hati.

****

Seminggu setelah kepulanganku ke rumahku kembali. Ada rindu yang kurasakan kepada Lucky . Rindu yang tak bisa diobati oleh siapa pun, meski oleh Sony. Ia telah keluar dari penjara, dan orangtuaku telah merehabilitasi namanya.

Aku menceritakan semua kejadian yang kualami di hutan belakang kastil rumah orangtua Sony. Orangtuaku tampak terkejut, lebih-lebih Sony. Ia menutup mulutnya yang terperangah kaget.

Sony bercerita bahwa Lucky dan kedua orangtuanya adalah bangsawan Belanda yang kaya raya. Namun saat kalahnya sekutu melawan Jepang di Indonesia, kastilnya dibakar oleh tentara Jepang. Mereka sekeluarga dibunuh. beserta budak-budaknya. Tak ada yang tesisa. Jepang menjarah seluruh harta, lalu meninggalkan kastil itu. 

"Tak seorang pun yang berani mendatangi kastil itu lagi," papar Sony. "Hingga saat ini telah berubah menjadi hutan rimba." Imbuhnya. 

"Arwah gentayangan tampan itu telah berhasil memikat hatimu," Sony berkata lirih namun dipenuhi kemarahan dan suara tercekat.

Aku diam, antara percaya dan tidak dengan cerita Sony. Sebab, bila memang Lucky arwah gentayangan, lalu mengapa cincin berlian yang disematkannya tadi malam tetap ada di jari manisku hingga pagi ini? (Tamat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun