Apabila dibandingkan dengan PDI-Perjuangan sebagai sebuah kekuatan besar, jelas partai perubahan berbeda jauh. Bahkan tanpa berkoalisi pun, partai petahana ini tetap memiliki suara mayoritas.Â
Namun keberanian koalisi partai-partai pengusung mantan gubernur DKI Jakarta dengan kata "perubahan" tidak mungkin tanpa nyali.
Tetapi harus diingat, keinginan membuat sebuah perubahan akan hancur berantakan di tengah jalan apabila:
Silau tawaran kue politik dari pihak lain
Hal ini jamak dijumpai dalam dunia politik. Kehausan akan kekuasaan, ditambah kuatnya aji mumpung mengakar. Bukan tidak mungkin kekuatan koalisi perubahan akan melemah dengan meloncatnya salah satu partai pengusung ke pihak berlawanan.
Sehingga diperlukan solidaritas yang kuat, bila partai-partai pengusung Anies benar-benar ingin mewujudkan perubahan yang diinginkan. Tapi bila tidak, maka silaunya kedudukan dan jabatan dalam politik akan menggoyahkan kekuatan tersebut.
Ibarat kaki-kaki yang menopang sebuah panggung. Panggung tersebut mengusung bacapres yang dikehendaki untuk membawa perubahan. Namun jika  salah satu kaki  patah atau hilang karena pindah menopang panggung yang lain. Maka bisa dibayangkan, panggung akan goyah. Kegoyahan itu mungkin hanya sesaat bila mereka solid untuk menguatkan, tapi jika kaki-kaki lain lemah, maka robohlah panggung tersebut, dan jatuh berguling-gulinglah yang sedang diusung di atas panggung.
Politik pecah-belah
Politik semacam ini telah ada semenjak penjajahan bangsa kolonial di masa silam. Dan terbukti efektif hingga masih berlaku sampai saat ini.
Koalisi perubahan bukanlah sebuah kekuatan mayoritas. Sehingga apabila timbul kecurigaan dan kebencian satu sama lain, maka tanpa disadari dapat menghancurkan solidaritasnya. Dan hal tersebut sangat mudah dilakukan dengan beragam cara, apalagi bila telah menguasai seluruh titik vital informasi serta fasilitas penting.
Tak ada keabadian dalam politik