Bisa jadi hal ini menjadi ciri khas bangsa kita, yang selalu teledor saat aman, namun akan meningkat siaga saat peristiwa telah terjadi
Banyak masyarakat menganggap kejadian jatuhnya seorang pemakai lift bernama Aisiah di kolong lift Bandara Kualanamu, Deli Serdang Sumatera Utara sebagai hal ganjil. Publik sangat dihebohkan dengan kejadian ini, hingga menimbulkan beragam tanda tanya, seperti:
SOP Angkasa Pura dan Kontraktor Lift
Head of Corporate Comunication PT Angkasa Pura Dedi Al Subur, dalam sebuah wawancara dengan televisi swasta, memberi alasan adanya dua pintu dalam lift. Salah satu dari pintu tersebut adalah pintu darurat, yang bertujuan bila terjadi keadaan darurat, maka pintu tadi dapat dipergunakan untuk langkah evakuasi cepat terhadap para pemakainya.
Publik sempat mengangguk-angguk dengan penjelasan ini, namun kemudian menimbulkan pertanyaan baru. Jika memang pintu satunya adalah pintu darurat, mengapa tidak diberi tanda emergency atau yang lainnya, seperti misal di pesawat terbang. Sehingga pemakai lift tidak akan iseng atau mencoba-coba memencetnya saat mengalami kemacetan.
Dan jika pun pintu lift satunya bertujuan untuk evakuasi, apakah saat terbuka akan berbentuk celah diantara lorong? Lalu apakah evakuasi menggunakan tali, sehingga ada celah? Bila tidak, mengapa harus ada celah? bukankah sangat membahayakan pemakai lift? Apalagi bila ternyata pintu lift yang kabarnya untuk keadaan darurat ternyata sedemikian mudah dibuka. Sehingga perlu dipertanyakan kepada kontraktor penggarapnya, tentang standar operasional adanya celah dalam lift yang katanya darurat tersebut.
Masyarakat tampaknya menunggu-nunggu penjelasan dari kontraktor tentang SOP dan kesiapannya mengantisipasi peristiwa yang telah terjadi, dan bagaimana plann kedepannya agar tidak terulang lagi.
Masalah nyawa
Bagi mereka yang merasa tidak ada hubungan darah dengan Aisiah, mungkin tak dapat merasakan pahitnya kehilangan sosok tersebut. Namun bagi kakak lelakinya, sungguh tak terbayangkan betapa hancur dan perihnya rasa kehilangan yang menimpa.
Biar bagaimana pun, apakah memiliki hubungan darah atau tidak, ini adalah masalah kemanusiaan, yang tidak dapat begitu saja kita abaikan sebab berkaitan nyawa. Pertanyaan yang mengiang-ngiang adalah, mengapa pada saat kejadian, pencarian intensif dan pemeriksaan CCTV tidak gencar dilakukan?
Kabarnya prosedur boleh tidaknya CCTV diperlihatkan memiliki prosedur resmi yang rumit. Namun bukankah saat itu keadaan darurat, apakah tidak ada unsur kemanusiaan yang dapat memotong rumitnya prosedur tersebut?
Petugas CCTV
Kabarnya, petugas CCTV telah intensif mengawasi keberadaan kamera pemantau ke semua penjuru airport. Namun dari tiga petugas berjaga, tersisa dua orang, karena satu mengkuti rapat. Mungkin karena tidak pernah ada kejadian yang mengenaskan, sehingga membuat petugas kurang awas dan waspada, sebab tidak pernah ada kejadian tragis sebelumnya.
Bisa jadi hal ini menjadi ciri khas bangsa kita, yang selalu teledor saat aman, namun akan meningkat siaga saat peristiwa telah terjadi.
Satu hal yang menjadi tanda tanya publik, adalah klaim yang menyebut CCTV kabur dan terjadi goyangan yang tak jelas. Mengapa saat itu petugas tak bertanya-tanya saat kamera kabur sesaat. Tidak terpikirkah terjadi sesuatu, entah di dalam lift, di atas, bawah, yang berkaitan dengan kabel-kabel, yang mungkin saat itu tertimpa tubuh korban sehingga berimbas kabur dan goyangnya CCTV?
Â
Dengan terjadinya peristiwa tragis, biasanya kewaspadaan petugas akan meningkat sehingga segera bertindak cepat, meskipun yang terjadi hanya peristiwa kecil sekali pun. Semoga kewaspadaan itu tetap ada dan kian meningkat meskipun tanpa ada kejadian menimpa.
Ketika kita masih memiliki tingkat empati tinggi terhadap orang lain, maka kita akan tersentuh dengan kejadian tragis di lift bandara tersebut. Sebab hal ini bukan peristiwa main-main, namun  masalah nyawa.Â
Seseorang yang kehilangan nyawa. Kakak lelaki Aisiah  yang kehilangan adik perempuannya.Sebuah peristiwa pahit yang mencoreng nama bandara yang berstandar internasional. Tapi mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Memang kita tak bisa lepas dari alasan metafisika, yakni musibah, namun setidaknya dapat diantisipasi agar tak terjadi. Sehingga terdapat upaya pencegahan dalam menghadapinya.
Ibarat nasi telah menjadi bubur, nyawa tak bisa kembali dan tak bisa dibeli dengan uang. Kejadian hilangnya nyawa penumpang lift secara tragis, patut menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Namun, tetap harus ada penyelidikan intensif mengapa hal tersebut bisa terjadi, harus ada pertanggungjawaban dari semua pihak. Pihak kontraktor penyedia lift, pihak pengelola bandara, petugas pemantau CCTV, dan semua pihak yang berkaitan erat didalamnya. Sehingga tidak akan ada lagi nyawa anak bangsa yang tercabut sia-sia.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa kita, terutama petugas-petugas yang berjaga di tempat-tempat rawan terjadinya peristiwa tak terduga. Bahwa kewaspadaan harus tetap ada, walaupun secara kasat mata aman-aman saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H