Multiple Intelligence  yang dicetuskan Howard Gardner merupakan konsep kecerdasan majemuk  dengan metode penilaian tingkat kecerdasan  menggunakan beberapa jenis tolak ukur
Banyak orangtua sering merasa kecewa ketika peringkat anaknya di sekolah rendah ataupun menurun. Akibatnya bisa ditebak, anak menjadi sumber kemarahan dan kekesalan, bukan hanya kekerasan verbal terkadang kekerasan fisik pun dilakukan, membuat anak menjadi trauma dan ketakutan.
Di satu sisi memang orangtua tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab siapa sih yang tidak ingin anaknya menjadi nomer satu? Apalagi orangtua telah merasa lelah mencari nafkah, maka dari kacamata orangtua, sudah seharusnya anak  yang tidak mencari nafkah, yang bahkan pekerjaannya hanya bermain game dan tidak melakukan apa pun di rumah, dapat membalas kelelahan orangtuanya dengan berjuang mencari peringkat tertinggi.
Namun terkadang keinginan orangtua tak sejalan dengan keinginan anak, sebab sering anak tidak dapat memenuhi keinginan orangtuanya karena berbagai penyebab. Misal seperti faktor kelelahan, kemalasan, ketidakmampuan mengejar nilai yang diharapkan karena tidak berminat dengan pelajaran yang justru dituntut oleh orangtua.
Pengalaman berpengaruh terhadap kecerdasan
Banyak orangtua beranggapan bahwa ketidakmampuan anak untuk memenuhi harapan orangtua meraih peringkat terbaik yang diinginkan, adalah karena si anak pemalas, kurang berusaha, dan bodoh. Meskipun tak sepenuhnya benar, namun orangtua tetap berusaha memaksakan label tersebut pada anak.
Ketidakminatan anak terhadap suatu pelajaran bisa disebabkan beragam faktor, diantaranya adalah karena tidak memiliki daya tarik. Umumnya terjadi disebabkan oleh guru yang pada awal memberikan materi pelajaran kurang greget, akibatnya menurunkan motivasi anak untuk mengikutinya secara terus menerus, bahkan bisa jadi tak mau lagi di kemudian hari.
Sebagaimana dikemukakan Howard Gardner, seorang tokoh pendidikan dan psikologi, dalam bukunya, Armstrong 2003, bahwa perkembangan kecerdasan ditentukan oleh paralyzing experience dan crystallizing experience. Bahwa pengalaman sangat penting dan berpengaruh terhadap kecerdasan.Â
Ibarat masakan, keika disajikan oleh koki yang berpengalaman, menarik dalam penyajiannya, maka selera makan akan meningkat. Namun ketika penyajiannya tak menarik, kokinya tidak ramah. Maka selezat apa pun masakan, tidak akan menarik lagi. Bahkan bisa jadi si penonton tak berminat untuk mencoba menu berikutnya.
Demikianlah, betapa vitalnya awal sebuah penyajian dalam masakan. Begitu pula dalam dunia pendidikan, seorang guru ibarat koki, sudah selayaknya menarik saat menyajikan pelajaran. Sebab ibarat pribahasa kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda.Â
Sehingga ketika guru telah menimbulkan kesan tidak menarik dalam penyajian materinya, maka di menit-menit awal sudah pasti akan menurunkan minat anak, bahkan bisa jadi untuk tatap muka selanjutnya anak berusaha menghindari dengan cara apa pun, misal pura-pura sakit, dan sebagainya.
Konsep Multiple Intelligence
Tetapi terkadang ketidakminatan anak terhadap suatu pelajaran tidak melulu dari faktor guru saja, namun bisa juga dari sugesti si anak sendiri. Ketika guru telah menyajikan materi dengan sangat menarik sehingga banyak diminati siswa, namun justru siswa tertentu tidak menyukainya. Hal ini bisa terjadi karena anak memang tidak memiliki minat terhadap pelajaran tesebut.
Sudah selayaknya orangtua ataupun guru menilai kecerdasan anak bukan hanya dari satu konsep, misal mata pelajaran tertentu. Sebab konsep kecerdasan anak bisa dilihat dari berbagai konsep, yang kerap disebut sebagai Multiple Intelligence.
Konsep Multiple Intelligence yang dicetuskan Howard Gardner muncul sejak 1983. Tokoh pendidikan dan psikologi ini mengemukakan, bahwa yang masuk dalam kecerdasan bukan hanya IQ (Intelligence Quotient). Meskipun IQ sangat penting dan berpengaruh terhadap kecerdasan anak, tapi semua tidak akan berkembang tanpa adanya produktivitas.
Teori inilah yang kemudian memunculkan konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence), yakni metode penilaian tingkat kecerdasan dengan menggunakan beberapa jenis tolak ukur, diantaranya adalah budaya dan biologi. Jadi, patokan kecerdasan anak bukan hanya berdasar pada satu hal, tetapi beberapa hal.
Oleh karena itu, baik orangtua atau pun guru tidak bisa menyalahkan anak begitu saja ketika dia tidak menyukai suatu pelajaran. Sebab bukan berarti dia tidak menyukai semua pelajaran, mungkin ada juga mata pelajaran yang disukainya. Ibarat hobi, apabila suka, maka sesulit dan setidakmenariknya bagi orang lain, namun bila diri sendiri tertarik, sudah pasti bukan halangan untuk terus menekuninya.
Kini sudah saatnya orangtua tidak menerapkan harga mati saat menilai kecerdasan anak, sebab kecerdasan tidak hanya bisa berpatokan pada satu hal saja. Ketika anak tidak memiliki kecerdasan membanggakan pada satu mata pelajaran, belum tentu dia mengecewakan pada mata pelajaran lainnya. Demikian pula saat anak gagal dalam satu bidang, belum tentu ia akan gagal pada bidang lainnya.
Hal ini juga berlaku saat ia dewasa kelak, akan ada bidang yang sukses digeluti berdasar bakat minatnya sejak dini. Sebab ketika telah masuk dalam dunia kerja, pasti setiap orang akan memasuki dunia kerja yang berbeda, yang tentunya akan berbeda satu sama lain. Ada yang berbakat jadi guru, pengacara, hakim, dan lain sebagainya. Sebab tidak mungkin dunia kerja secara global hanya didominasi oleh satu profesi saja.
Bila sudah demikian, masih layakkah orangtua memaksakan anak untuk melakukan hal tertentu demi memenuhi keinginan dan ambisinya? Sebab, ternyata kecerdasan tidak hanya berpatokan pada satu hal tertentu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H