Jam menunjukkan 21.00 ketika perasaanku terasa tidak nyaman, biasanya tidak pernah seperti itu. Tiba-tiba teringat anakku Sutakim yang belum pulang ke rumah. Aku tengok pulsa di handphoneku sudah sekarat, tentu saja tidak bias menelpon, tapi aku baru ingat memiliki kuota, tentu saja aku bisa menghubungi lewat WhatApp.Â
Namun sampai beberapa puluh menit telponku tidak diangkat, lalu aku ganti memakai chath, tapi tetap tak kunjung dibalas. Aku baru ingat Sutakim tak punya kuota, dia kemarin mengatakan hal itu saat kami menjemur padi di halaman, tentu saja aku belum bisa membelikannya karena belum sempat ke kota, sementara di desa kami taka da yang berjualan pulsa.
Di saat aku bingung, tiba-tiba di 21.45 handphoneku berdering tanda telpon masuk."Ini emaknya Sutakim?" terdengar suara lelaki setengah membentak dari seberang diiringi suara hiruk pikuk orang  banyak di belakangnya. Setelah aku mengiyakan kembali lelaki itu berbicara dengan suara nyaring, "Sutakim kami tangkap karena berzina di sawah!".
Tubuhku lunglai tak berdaya saat mendengar hal itu, sementara suamiku, Kamirin, juga tak bisa berkata apa-apa selain melongo tak berdaya. Aku pandang wajah suamiku, aku tahu sifatnya terlalu sabar dan tak bisa tegas menghadapi orang lain, aku khawatir dia akan makin disudutkan bila ke tempat itu sendiri. Apalagi dia hanya bisa bergumam, "Piye iki?".
Hatiku berdegub kencang, tubuhku lemas dan gemetar, tetapi masih mampu berpikir tenang, bahwa siapa tahu itu penipuan. Meskipun deg-degan aku tetap berbicara tegas pada lelaki itu agar tidak berlaku anarkhis sebab ini negara hukum. Welahdalah duh Gusti padahal aku juga tidak mengerti apa arti anarkhis karena aku tak pernah sekolah.
*****
Â
Tepat pukul 21.50, Kamirin memboncengku dengan sepeda ontelnya ke tempat lokasi pria di telpon tadi. Kami bingung menuju arah mana, apalagi  disebutkan disuruh memakai google maps, kami tetap tidak mengerti karena handphone kami jadul hitam putih tanpa ada google maps.
Suasana malam sunyi senyap, tetapi kami bisa mengetahui lokasi "Alas Wingit"sebab setiap tahun sering ada pesta desa diselenggarakan di hutan angker itu.. Didalam hutan, jauh dari perumahan penduduk.
Sampai disana ternyata kami masih harus masuk lokasi ke sebuah jalan sempit sekitar 1 km. Sempat ragu dan takutmemasukinya, sebab bisa saja ini perampokan karena gelap gulita, tapi aku berusaha berpikir realistis bahwa anakku Sutakim ada di tangan para pria gendeng itu, entah benar-benar orang baik, atau hanya para pemeras alias penjahat kelas tengik. Dengan keberanian yang kuhimpun dari rumah, akhirnya aku memilih nekat memasuki jalan setapak itu.
*****