Pasal KUHP terbaru tentang perzinaan tampaknya layak disimak oleh para orangtua yang memiliki anak dan tak mau buah hatinya teusak dan terusik oleh dahsyatnya hantaman budaya asing
Meskipun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipi, namun toh tetap RKUHP disahkan dalam rapat Paripurna DPR RI beberapa waktu lalu.
Beragam pasal yang menjadi sorotan dan dicurigai akan menjadi alat kriminalisasi, diantaranya adalah tentang hukuman mati yang dianggap tidak sesuai dengan hak hidup seseorang, apalagi telah banyak negara meninggalkannya. Kemudian pasal tentang larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila, yang dianggap dapat mengkriminalisasi kelompok oposisi penguasa karena tak ada penjelasan rinci.
Pasal penjerat pers dan menurunnya hukuman koruptor
Pasal lain yang paling dianggap mengusik kebebasan pers adalah pasal 264 tentang penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Bahkan pada pasal sebelumnya, yaitu pasal 263 Ayat 1 menyebutkan, bahwa menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, beresiko dipenjara selama 6 (enam) tahun.
Sedangkan pasal lain yang dicurigai dapat mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat, diantaranya  adalah pasal 218 tentang penghinaan terhadap Presiden, Pasal 349 penghinaan terhadap lembaga negara seperti DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Tidak adanya penjelasan terkait kata penghinaan dicurigai dapat berpotensi menjadi pasal karet dan anti-demokrasi. Â
Ditambah lagi dengan Pasal 350, bahwa pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sepintas terlihat tumpang tindih antara pasal 350 dengan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Â
Pasal lainnya adalah pasal 256, yang memuat ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan.
Pasal yang dianggap berpihak pada tikus-tikus penggerogot uang negara yakni Pasal 603, yang menyebutkan bahwa koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun dan maksimal 20 tahun. Padahal pada aturan sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 menjelaskan bahwa koruptor bisa mendapat pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Jelas Pidana penjara pada RKUHP lebih rendah atau mengalami penurunan.
Terdapatnya pasal-pasal yang disinyalir dapat menjerat leher kelompok-kelompok tertentu dalam berekspresi dan berpendapat memang tak dapat kita biarkan, Namun jangan juga kita lengah dan waspadai apabila tersirat intrik dibalik kritik propaganda terhadap pembaharuan aturan hukum yang aslinya dibuat Penjajah Belanda tersebut.
Pasal Perzinaan dan pentingnya penyelamatam generasi negeri ini
Dibalik kekurangan yang ada, patut disyukuri terdapat juga beberapa kelebihan. Namanya juga bangsa yang mencoba menyempurnakan beleid yang ada, sebab perlu waktu lama untuk membuat aturan hukum sendiri selengkap KUHP yang merupakan peninggalan kolonial.
Namanya aturan yang dibuat manusia, sudah pasti ada kurang lebihnya. Dan sebagai sebuah aturan hukum tertulis sudah seharusnya fleksibel, luwes, dan mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga dengan pasal-pasal KUHP pastinya ada beberapa yang telah usang dan ketinggalan zaman. Â
Satu pasal yang paling disorot adalah Pasal 411 ayat (1) berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.Â
PBB pun mengkritik habis-habisan pasal ini karena dianggap melanggar HAM, demikian juga dengan organisasi dan artis-artis barat lainnya. Tidak beda jauh dengan zaman penjajahan, mereka memaksakan pendapat dan maunya. Hidup bersama tanpa nikah alias kumpul kebo tentu bukan masalah besar di dunia barat, sebab disana telah menjadi adat kebiasaan. Dan negara kita tidak pernah mengkritik kebiasaan mereka, malah justru mereka menularkan kebiasaan itu ke negara ini.
UNO alias PBB ikut cawe-cawe sebab pasal ini dianggap melanggar HAM, melanggar privasi seseorang, pemerintah dianggap terlalu turut campur dengan privasi kehidupan rakyatnya , terutama mengkriminalisasi LGBT, sebab ancaman pidana tersebut baru dapat berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain delik aduan.Â
Bagi yang sudah menikah, maka pihak yang berhak mengadukan adalah pasangan mereka, yakni suami atau istri. Sedangkan bagi mereka yang tidak terikat pernikahan, maka yang bisa mengadukan adalah orangtua atau anaknya. Namun bagi perkawinan sesama jenis yang tidak diakui secara hukum di Indonesia dinilai berpotensi mengkriminalisasi, sehingga Human Right Watch (HRW) menuding pasal ini melarang  perilaku seks sesama jenis
Bila dahulu pencabulan dilakukan  pelaku terhadap anak yang berbeda jenis, kini tampaknya pelecehan sudah tak pandang bulu. Moralitas dan agama yang dicampakkan membuat pelecehan bisa menimpa anak berjenis kelamin apa saja.  Perzinaan lawan jenis yang kian marak, membuat selera cabul berganti.Â
Sehingga wajar saja bila muncul pasal 414 tentang Percabulan, yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III; secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun; atau yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Pada sebagian orang yang memiliki anak-anak dan berpikiran jauh tentang masa depan, pastinya sangat setuju dengan pasal KUHP terbaru di atas. Mereka akan  menjaga dan melindungi anak-anaknya sebagai pertanggungjawaban mutlak pada Tuhan, tentunya tak rela bila buah hatinya terusak dan terusik.Â
Sumber pemikiran utama adalah nasib generasi penerus negeri ini, bukan sekedar mencampuri ranah pribadi seseorang. Meskipun pernah muncul pendapat, bahwa percuma saja menghukum mati pelaku pencabulan anak karena tidak memberi efek jera dan melanggar HAM. Lalu adakah cara lain yang lebih efektif dan memberi efek jera?Â
Ketika pemikiran pelanggaran HAM yang lebih menghantui saat menghukum predator, lalu bagaimana dengan pedhopilia yang mereka lakukan? Apakah juga tidak melanggar HAM?Â
Terkadang memang kita sangat menghormati hati dan perasaan pelaku kejahatan karena  kita merasa sebagai manusia beradab. Tapi beradabkah yang mereka perbuat? janganlah sisi keberadaban kita justru mengorbankan hati dan perasaan para korban tak berdosa.
Kini kita kian memahami mengapa Tuhan memerintahkan umat manusia untuk mengendalikan hawa nafsunya. Sebab dengan adanya pergaulan bebas antar lawan jenis, memang pada awalnya terasa menyenangkan bagi umat manusia. Namun seiring waktu, hal itu berubah biasa-biasa saja serta membosankan, hingga selera pun berganti. Ketika free sex dianggap tak beda jauh dengan wisata kuliner, maka tak ada bedanya manusia dengan makhluk lain yang dibawah derajatnya.
Aturan perzinaan terbaru dalam KUHP jelas mengatur kehidupan manusia agar lebih berderajat, karena apabila dibiarkan, maka bisa dibayangkan betapa kacau balaunya garis keturunan di muka bumi ini. Kita tidak akan membicarakan tentang kisah Nabi Luth dan cerita-cerita lain dalam kitab suci, namun setidaknya mari berpikir realistis, mengapa sebuah sikap menegakkan hukum Tuhan justru malah dianggap aneh dan bermasalah.Â
Ketika kemudian kita dituntut untuk menghormati perbedaan itu, berarti harus ada penghormatan yang serupa, yakni dengan tidak berbuat demonstratif sekehendak hati  merusak generasi muda demi memuaskan nafsu birahi.
Perbedaan kultur dan budaya antara negara kita yang menjunjung tinggi norma-norma dan budaya timur dibanding negara lain. Sehingga wajar bila bangsa kita memiliki pasal tentang larangan perzinaan, sebab Indonesia memiliki ciri khas moral pancasila, yakni mengakui adanya Tuhan.Â
Ketika semua kehidupan dituntut bebas sebebas-bebasnya dengan mengabaikan norma-norma, berarti masuk kategori pelanggaran HAM juga, bahkan pelanggaran hak Tuhan untuk mengatur umat Nya. Sehingga wajarlah bila di negara sekuler, antara agama dan kehidupan kenegaraan dipisahkan sebab dianggap mengganggu.Â
Living law yang dianggap momok
Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa pemerintah akan mengakui living law atau hukum yang hidup di masyarakat, juga menjadi sumber perdebatan. Apalagi setelah  HRW menyebut, Indonesia memiliki ratusan peraturan daerah yang diilhami syariah dan peraturan lain yang mendiskriminasi perempuan, agama minoritas, dan kelompok LGBT. Sehingga Pasal 2 KUHP dicurigai dapat digunakan untuk mengadili berdasarkan peraturan daerah yang dinilai diskriminatif.
Patut kita apresiasi bahwa memang negara-negara barat sangat menjunjung tinggi HAM. Namun ketika mereka mengkritisi aturan dalam suatu negara, maka sudah sewajarnya bila mereka melihat dimana aturan yang dikritik diberlakukan, tidak serta merta mengkritik membabi buta. Sebab norma yang berlaku di suatu negara, belum tentu sesuai bila diterapkan di negara lain.Â
Seperti misal bila kita berbicara tentang norma kesopanan dan kesusilaan. Sesuatu hal yang dianggap melanggar kesopanan dan kesusilaan di sebuah negara, terkadang di negara lain justru dianggap biasa saja. Contohnya memakai bikini di tempat-tempat umum di negara kita akan dianggap aneh dan melanggar norma kesopananan. Namun di belahan dunia barat, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh, sebab telah menjadi kebiasaan.
Ataupun contoh menjaga kesucian adalah sebuah keharusan sebagai bangsa beradab dan relijius. Namun hal tersebut tidak akan berlaku di belahan negara barat, sebab seorang perempuan justru akan dianggap kurang pergaulan (kuper) bila masih perawan.
Sedemikian jauhnya perbedaan norma antar negara, yang tentu saja tidak bisa dipaksakan begitu saja. Memang tak semua pasal KUHP terbaru sesuai dengan pendapat publik, namun untuk pasal-pasal perzinaan tak selayaknya dicampuri oleh negara lain yang budayanya berbeda jauh dengan negara kita.Â
Bahkan kritisi terhadap perzinaan justru menunjukkan keinginan mereka menanamkan kebiasaan yang menjadi budaya mereka ke dalam budaya negeri ini. Bukankah hal tersebut adalah sebuah penjajahan model baru yang melanggar hak kedaulatan kedalam sebuah negara?
Tak sepatutnya kita surut mundur ke belakang hanya karena pasal-pasal tentang perzinaan dikritik negara-negara dengan kehidupan seks bebas. Sebab kita memiliki norma dan aturan sendiri di negara kita. Mereka memaksakan keinginannya karena tahu kita memerlukan uang mereka dalam dunia pariwisata, namun bukankah Menteri Pariwisata Sandiaga Uno menyebut pasal-pasal tersebut tak berdampak pada pariwisata kita?Â
Jelas oara turis mancanegara gelisah dengan aturan ini, sebab mereka khawatir tidak akan bisa bebas lagi menikmati kebudayaan yang mereka anut di negara yang akan didatangi. Tak beda jauh seperti saat Penjajah Belanda ingin menguasai Indonesia, tentu saja harus menanamkan budayanya. Ketika bangsa kita sudah terbuai dengan budaya yang mereka tawarkan, maka tibalah kesempatan terlicik untuk mencengkeram bangsa ini dengan kehendak angkara nafsunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H