Tak ada yang bisa dilakukan oleh masyarakat awam selain cerdas memahami politik karena mereka tak mampu ikut bersaing menjadi capres sebab tak cukup uang dan tak ada partai yang mengusung bila maju sebagai incumbent
Menjadi petahana jelas sangat menguntungkan. Apapun yang bagi masyarakat awam ora pareng, bagi petahana no problem. Dan sebagai wong cilik, sudah pasti tidak boleh banyak protes, sebab protes adalah tanda tak mampu. Tidak percaya? Cobalah menjadi petahana, dan anda akan memahaminya.
Ketika beberapa waktu lalu kelompok 212 mengadakan reuni, sudah pasti orang akan ketar-ketir membayangkan ngerinya huru-hara yang bakal ditimbulkannya. Apalagi dibumbui kabar bahwa mereka intoleran. Tapi ternyata semua tak terbukti, sebab tak ada huru-hara yang terjadi, bahkan sampah pun tak ada yang tersisa dari kegiatan yang mereka lakukan, karena mereka dengan kesadaran tinggi dan suka rela memungutinya.
Walah ternyata semua hanya negative thinking. Tapi lagi-lagi ada pikiran jelek kembali melintas, jangan-jangan karena mereka selalu dicurigai sehingga segala tingkah-polahnya betul betul dijaga? Dan gemuruhlah sorak sorai dan cibiran sinis dari yang pro dan kontra.
Reuni kala pandemi dan menggunungnya sampah
Bangsa ini memang beraneka, dan sayangnya kadang kebhinekaan kurang disikapi dengan jernih hingga berakibat perdebatan berujung adu fisik. Sulitnya berpikir jernih saat emosi telah naik ke ubun-ubun, mengakibatkan dunia luar sering menjuluki Indonesia berpenduduk pemarah, gampang tersinggung, selalu mengedepankan otot daripada otak.
Entah hal itu benar atau tidak, segalnya kita kembalikan pada diri kita sebagai penduduknya. Meskipun harus diakui bila netizen Indonesia paling juara kalau sudah menghujat dan mencaci maki. Sangat kompak, sangat bersatu, hingga pihak lawan down mentalnya. Menangkah netizen? Belum tentu, mungkin memang menang di depan mata, namun di belakang, jelas pihak lawan alergi dan antipati, meninggalkan dendam yang mendalam.
Dalam konteks fanatisme, bangsa ini juaranya. Ketika hati telah tertambat pada satu pilihan, maka tidak akan pernah pindah ke lain hati. Bahkan terkadang rela mati demi membela pilihan hatinya. Dalam hal apapun, apalagi pilihan calon pemimpin negeri ini.
Demikian juga saat relawan Jokowi mengadakan reuni di  stadion yang kabarnya konser pun masih dilarang, karena menyebabkan kerumunan. Namun kalau yang punya gawe adalah sang penguasa negeri ini, kowe arep opo? siapa yang berani melarang hayooo?
Akhirnya reuni pun berjalan sesuai rencana, meski kemudian menyisakan sampah segunung. Dan, tak ada yang berani mencak-mencak menyalahkan, mungkinkah akan bersikap yang sama bila pelakunya adalah kubu yang berseberangan?
Ketidaksolidan petugas partai
Selain  mengadakan reuni, Presiden Jokowi sebagai petahana negeri ini tak lupa memberikan sinyal tentang calon presiden di masa datang. Melalui simbol teka-teki yang tersirat dan tersurat, yakni berambut putih dan keningnya senantiasa berkerut memikirkan rakyat. Bukan teka-teki yang sulit, sebab dengan kedipan matapun orang akan tahu siapa tokoh teka-teki yang berhasil mengungguli Puan dalam merangkul hati publik.
Memang patut menjadi tanda tanya besar, mengapa Jokowi yang selama ini selalu identik dengan sebutan "petugas partai" tiba tiba tidak solid lagi terhadap putri mahkota petinggi partai. Benarkah ini sebuah kedurhakaan petugas partai terhadap penguasa partai yang membesarkannya?
Seperti kita ketahui, beberapa waktu terakhir tampaknya partai PDI Perjuangan sebagai partai petahana tak terkalahkan di negeri ini mengalami perpecahan suara. Semenjak Ganjar Pranowo selalu unggul dalam setiap pemilihan suara publik instant. Suara partai pun mulai terbelah, sebagian ingin mendukungnya, namun sebagian yang lain ingin tampuk kepemimpinan negeri ini dipegang sang putri mahkota. Yang tentu saja sebagai tanda hutang budi terhadap pemimpin partai kharismatik dan telah berjuang mati-matian membesarkan partai.
Tentu benak kita masih bisa mengingat, bagaimana sebuah rezim di masa lalu dapat memecah belah partai disaat berkuasa demi kelanggengan kekuasaan dan kerapuhan oposisi pesaingnya. Itulah yang terjadi kala PDI terpecah menadi kubu Suryadi dan Kubu Megawati. Dengan segala perjuangan, akhirnya Megawati berhasil menghantarkan partainya menjadi penguasa pemerintahan saat ini.
Terjadinya perpecahan suara di partai berkepala banteng saat ini, sebetulnya hanya sebuah permasalahan personalitas saja, karena bertujuan menunjuk sebuah sosok yang mewakili nama tertentu untuk maju menjadi kandidat capres. Toh selebihnya adalah tetap saja mewakili satu partai yang sama, dan itu sudah pasti, sebab tidak mungkin dan mustahil akan rela bila capres diberikan pada partai lain, apalagi partai yang berseberangan.
Bisa jadi permasalahan yang terjadi adalah sebuah skenario yang sengaja diciptakan demi menyedot perhatian publik. Dengan cara demikian masyarakat awam akan penasaran terhadap dua tokoh yang dianggap sedang mengalami pertentangan. Rasa penasaran akan membuat publik suka rela mencari latar belakang dua tokoh, menelusuri, yang lama kelaman akan menciptakan rasa baru, dan mengangkat tokoh yang diskenariokan menjadi viral.Â
Sebagaimana kita mafhum, artis-artis tanah air kerap mnjadikan cara seperti ini demi mendongkrak popularitas yang mulai memudar, atau juga untuk mengangkat nama artis baru yang namanya belum populer. Dengan cara demikian maka nama artis akan terangkat ke permukaan, menjadi trending topic pencarian. Bila sudah begini maka bisa ditebak, bukan hanya nama menjadi populer, namun segala macam kegiatan yang sedang dilakukannya pun akan terangkat, misal sinetron terbaru, endorse yang dibintangi, dan beragam kepentingan lainnya.
Jadi sebetulnya inti dari semua itu adalah faktor kepentingan, yang ujung-ujungnya "fulus". Demikian juga dengan politik, sudah pasti ada faktor kepentingan. Itulah knapa tidak ada persahabatan sejati bila dikaitkan dengan politik. Kawan bisa jadi lawan, lawan pun bisa jadi kawan. Kadang tak perlu menunggu lama, dalam hitungan jam pun, kawan bisa menjadi lawan. Itulah kenapa tidak ada persahabatan yang abadi dalam politik.
Demikian pula manuver politik yang sekarang terjadi, jelas terendus sebuah trik politik demi merangkul suara pasar. Ketika berhasil menguasai pangsa pasar, maka bisa dibayangkan keuntungan dan keberhasilan yang diraup. Meskiun bukan dalam dunia entertainment, tapi tetap saja tujuan politik akan bermuara pada  harta, tahta, dan wanita.Â
Inti dari semua itu adalah kekuasaan. Ketika kekuasaan ada di tangan, berbuat apapun tak terlalu mendatangkan permasalahan. Tapi ketika tak berkuasa apa-apa, hanya sebagai selilit, wong cilik, lawan politik, pihak berseberangan, maka niatan baik pun kadang masih dicurigai. Sehingga dapat dipahami indahnya sebuah kekuasaan, ibarat peribahasa wong cilik berusaha memberi tapi selalu dikoreksi, tapi wong sugih kentut pun masih dirasa pantas dan bisa dimaklumi.
Menjelang genderang politik pemilihan capres negeri ini, sudah selayaknya rakyat makin cerdas menyikapi segala manuver yang terjadi. Mempelajari skenario dan intrik-intrik politik yang sedang dimainkan. Sebab tak ada yang bisa dilakukan oleh wong cilik selain cerdas memahami politik, karena mereka tak mampu untuk ikut bersaing menjadi capres. Tak ada partai yang mengusungnya, atau bahkan tak cukup uang dan dukungan bila maju sebagai incumbent.
And so, mari cerdas berpolitik, agar tak menjadi boneka pemberi suara tanpa tahu kenapa harus memberi suara. Ingat! suara anda sangat mahal, jangan mudah memberi suara bila tak memahami kenapa harus memberi. Suara anda menentukan arah negeri ini ke depannya, jangan sampai terjadi penyesalan mendalam akibat anda  terjebak budaya mengekor popularitas instant.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H