Bagi mereka yang kontra PR, ditiadakannya PR merupakan hal yang  memanusiakan  bukan hanya siswa namun juga orangtuanya yang bekerja, sehingga sesampai di tumah dapat beristirahat, tapi yang pro PR merasa pesimis bila PR ditiadakan sebab siswa akan menjadi banyak waktu luang dan terbuang
Dunia pendidikan memang tidak akan kiamat ketika siswa dibebaskan pekerjaan rumah (PR), meskipun sebetulnya awal mula pemberian PR oleh guru bertujuan mulia, yakni agar siswa dapat mengulang kembali tentang hal yang telah dipelajari di sekolah.
Saat di rumah, siswa diharapkan dapat lebih teliti dalam belajar. Bila di sekolah situasinya akan berbeda dengan di rumah, maka dengan pemberian PR siswa dapat lebih berkonsentrasi sehingga pemahaman terhadap pelajaran yang didapat lebih maksimal.
Faktor penyebab PR dianggap beban
Tujuan mulia PR yang semula mulia dan luhur menjadi amburadul alias berantakan di zaman instant sekarang ini. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, diantara lain adalah:
Orangtua sibuk bekerja
Ketika kedua orangtua sibuk bekerja, maka saat pulang ke rumah yang dirasakan adalah keletihan. Sehingga sesampai di rumah, tujuan satu-satunya hanyalah untuk beristirahat. Namun terkadang kelelahan orangtua tak bisa berhenti sampai disitu, sebab harus berperan kembali sebagai sosok yang membantu anaknya mengerjakan PR. Jika anak yang diajarkan PR satu mungkin tak mengapa, namun bila dua atau tiga anak, maka bisa dibayangkan kelelahan yang dialaminya pun akan berlipat.
Seandainya orangtua mampu membantu menjawab PR anak tentu sangat melegakan, sehingga dapat sedikit melupakan rasa letih yang dialami. Namun bila kemudian PR yang dihadapi  sulit dimengerti orangtua, maka mereka menempuh berbagai cara agar dapat beristirahat dengan tenang tanpa terganggu rengekan anak, yakni menyuruh anak berselancar ke dunia maya untuk mencari jawabannya. Meski kemudian acara browsing anak bisa saja menyeleweng kemana-mana. Yang menjadi kekhawatiran adalah apabila anak mengakses situs yang tidak benar seperti pornografi. Akibatnya tujuan orangtua yang semula bagus menjadi kacau-balau tak karuan.
Akibat yang ditimbulkan, bukan hanya anak yang stres karena tidak bisa mengerjakan PR, namun orangtuanya pun ikut stres karena sepulang kerja tidak bisa istirahat sebab harus membantu anak mengerjakan PR. Hal nilah yang akhirnya membuat orangtua marah-marah tak karuan, yang justru membuat anak kian tertekan.
PR yang diberikan ugal-ugalan
Terkadang guru dalam memberikan PR tidak tanggung-tanggung, tak ada pertimbangan kemanusiaan atas kemampuan siswa. Karena terlalu banyak akibatnya banyak menyita waktu siswa, Â dia akan mengerjakan sampai tengah malam hingga kelelahan.
Siswa menganggap PR ketinggalan zaman
Di zaman generasi sekarang ini, terutama gen Z, mereka teramat dekat dengan gawai dan gadgetnya. Sedemikian dekatnya sehingga ketika dicoba dijauhkan, maka akan menjadi tekananan psikologis bagi kehidupannya, yang kerap disebut nomophobia.
Nomophobia sebagai suatu keadaan traumatis, ketakutan saat dijauhkan dari handphone membuat anak-anak memiliki ketergantungan tinggi pada gawainya sehingga sulit dipisahkan. Sehingga ketika mereka harus mengerjakan PR, mereka merasa telah dipisahkan dari dunianya.
Bukan hanya orang dewasa, anak-anakpun juga dapat mngalami kelelahan. Kelelahan fisik karena bermain di sekolah, mengalami pembullian, atau diterpa permasalahan yang dirahasiakan, dan sebagainya.
Kelelahan jiwa raga yang dialami, apalagi bila sekolah menerapkan full day school, belajar hingga sore hari, tentu bisa kita bayangkan kelelahan sang anak sesampai di rumah. Apalagi bila anak sudah dituntut mencari penghasilan sendiri karena keadaan orangtua, kelelahan yang berlipat. Lalu kapan waktu mengerjakan PR?
Pro kontra PR dalam penerapan  kurikulum terbaru
Tidak semua orang menyukai PR, apakah itu orangtua murid atau justru anak-anaknya sendiri. Berbagai faktor penyebab, diantaranya kelelahanlah yang paling mendominasi hal tersebut.
Di saat silam sebelum dikenal hak asasi manusia (HAM), demikian juga hak anak belum diperkenalkan secara masif seperti sekarang, PR digambarkan sebagai sesuatu yang harus dikerjakan, tak ada yang berhak menolak. Sehingga meskipun siswa menganggap hal tersebut sebagai momok yang menakutkan, toh tetap harus dijalani.Â
PR sebagai sesuatu yang harus dijalani bukanlah sesuatu proses tanpa tekanan, hal tersebut menggerus mental siswa. Saat telah lelah pulang sekolah dengan segala macam tugas, belum lagi beban mental ketika ada konflik dengan teman, sampai di rumah harus menghadapi PR beragam. Bukan hanya dari satu mapel, namun dari beberapa mapel.
Orangtua yang diharapkan mampu membantu kesulitannya, justru pulang dalam kondisi kelelahan, atau bahkan mungkin pulang larut malam di saat anak sudah tidur. Bisa dibayangkan, ketika anak bangun keesokan harinya, tentu saja sudah harus buru-buru kembali berangkat sekolah, sedangkan orangtua juga sibuk menyiapkan segala sesuatu tanpa sempat memeriksa buku-buku anaknya karena tak ada waktu lagi dan harus kembali bekerja seperti biasa. Sehingga sewaktu anak sampai di sekolah, berbagai hukuman menanti dari beberapa mapel yang pekerjaan rumahnya tidak ia kerjakan.
Di masa silam, hukuman fisik untuk anak biasanya seperti berdiri dengan satu kaki, berdiri sambil memegang kedua telinga secara terbalik, sabetan rotan dari guru, dijemur di panas matahari, ataupun berlari keliling lapangan dianggap hal biasa. Meskipun dibalik hal tersebut ada tujuan mulia guru demi menyadarkan siswanya namun terkesan kejam dan tak manusiawi.
Hukuman-hukuman tak manusiawi diatas telah dianggap usang sebab hanya berupa penyiksaan yang tak mendidik. Sehingga diupayakan beragam pemikiran sebagai cara yang lebih manusiawi dan mendidik, akibatnya guru dituntut untuk sekreatif mungkin dalam memberikan hukuman namun dengan tidak lepas dari koridor kemanusiaan.
Setelah hak anak didengungkan dan disosialisasikan, kini semua orang makin cerdas empati. Mampu memahami seandainya berada di posisi si anak yang lemah tak berdaya saat dirampas hak-haknya.
Melalui penerapan  kurikulum terbaru, yakni Kurikulum Merdeka, maka siswa tidak lagi menjadi obyek, namun subyek. Bila dalam posisi obyek, maka dia harus siap menjalani beragam konsekwensi sebagai obyek, misalnya mengerjakan PR. Tetapi ketika dia di posisi  subyek, maka segala sesuatu berpusat pada siswa, ia diposisikan sebagai subyek, yang memiliki hak dan peranan, dimanusiakan, tidak menjadi obyek penderita. Bahkan tanpa pemberian PR pun, diharapkan akan terbangun kesadaran jiwa untuk mencerdaskan diri sendiri.
Bagi mereka yang pro PR merasa pesimis bila PR ditiadakan, alasan mereka adalah karena siswa akan menjadi banyak waktu luang dan terbuang, yang justru hanya akan dimanfaatkan untuk membuka gawai, bermain game, membuka situs porno, dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat untuk masa depannya.
Namun bagi mereka yang kontra PR, mereka merasa bahwa ditiadakannya PR merupakan hal yang sangat memanusiakan siswa. Bahkan bukan hanya siswa, namun juga orangtuanya yang bekerja, sehingga sesampai di tumah dapat beristirahat tenang tanpa harus dikejar-kejar waktu mengajari sang anak ataupun menyiksa anak mengikuti beragam les tambahan demi mampu menjawab tugas PRnya.
Saat PR diberikan, maka anak-anak setelah pulang sekolah tak ada lagi kesempatan untuk tidur siang, sebab dia harus bersiap lagi untuk mengikuti beragam les ataupun kursus tambahan.Â
PR dianggap membebani siswa karena dianggap bukan hanya membuat siswa tertekan dan tersiksa saat mengingatnya, apalagi mengerjakannya, namun juga orangtuanya. Terutama bagi siswa yang mengikuti sekolah lima hari, berangkat pagi dan pulang sore. Namun disisi lain, hal ini mengundang perdebatan bagi mereka yang pro PR, sebab mereka menganggap Sabtu dan Minggu adalah waktu tepat untuk mengerjakannya. Hingga yang kontra pun kembali menimpali bahwa dua hari itu untuk istirahat, waktu untuk keluarga, jangan sampai membuat bukan hanya anak yang stres namun orangtuanya.
Kini dapat dipahami bahwa tujuan peniadaan PR adalah agar bangsa ini tidak stres, terhindari dari beban berlebihan dan tekanan. Sehingga semua pihak dituntut dapat berpikir dengan jernih dan memikirkan dampak positif dan negatifnya. Bagaimana meskipun tanpa PR anak bangsa tetap cerdas dan dunia pendidikan kian maju, sehingga kian harum di kancah internasional.
Tampaknya hidup tenang, bebas tekanan dan tidak stres adalah kunci keberhasilan pendidikan, seperti di Finlandia sebagai barometer pendidikan dunia. Orangtua tenang, anak-anaknya tenang, sehingga pendidikan dapat dicerna dengan baik. Mungkinkah Indonesia akan menyaingi Finlandia? Semoga.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H