Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PR Biang Kerok Penyebab Stres Orangtua dan Anak?

3 November 2022   09:42 Diperbarui: 3 November 2022   09:47 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua dan anak stres karena PR (pic: familylife.com)

Di masa silam, hukuman fisik untuk anak biasanya seperti berdiri dengan satu kaki, berdiri sambil memegang kedua telinga secara terbalik, sabetan rotan dari guru, dijemur di panas matahari, ataupun berlari keliling lapangan dianggap hal biasa. Meskipun dibalik hal tersebut ada tujuan mulia guru demi menyadarkan siswanya namun terkesan kejam dan tak manusiawi.

Hukuman-hukuman tak manusiawi diatas telah dianggap usang sebab hanya berupa penyiksaan yang tak mendidik. Sehingga diupayakan beragam pemikiran sebagai cara yang lebih manusiawi dan mendidik, akibatnya guru dituntut untuk sekreatif mungkin dalam memberikan hukuman namun dengan tidak lepas dari koridor kemanusiaan.

Setelah hak anak didengungkan dan disosialisasikan, kini semua orang makin cerdas empati. Mampu memahami seandainya berada di posisi si anak yang lemah tak berdaya saat dirampas hak-haknya.

Melalui penerapan  kurikulum terbaru, yakni Kurikulum Merdeka, maka siswa tidak lagi menjadi obyek, namun subyek. Bila dalam posisi obyek, maka dia harus siap menjalani beragam konsekwensi sebagai obyek, misalnya mengerjakan PR. Tetapi ketika dia di posisi  subyek, maka segala sesuatu berpusat pada siswa, ia diposisikan sebagai subyek, yang memiliki hak dan peranan, dimanusiakan, tidak menjadi obyek penderita. Bahkan tanpa pemberian PR pun, diharapkan akan terbangun kesadaran jiwa untuk mencerdaskan diri sendiri.

Bagi mereka yang pro PR merasa pesimis bila PR ditiadakan, alasan mereka adalah karena siswa akan menjadi banyak waktu luang dan terbuang, yang justru hanya akan dimanfaatkan untuk membuka gawai, bermain game, membuka situs porno, dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat untuk masa depannya.

Namun bagi mereka yang kontra PR, mereka merasa bahwa ditiadakannya PR merupakan hal yang sangat memanusiakan siswa. Bahkan bukan hanya siswa, namun juga orangtuanya yang bekerja, sehingga sesampai di tumah dapat beristirahat tenang tanpa harus dikejar-kejar waktu mengajari sang anak ataupun menyiksa anak mengikuti beragam les tambahan demi mampu menjawab tugas PRnya.

Saat PR diberikan, maka anak-anak setelah pulang sekolah tak ada lagi kesempatan untuk tidur siang, sebab dia harus bersiap lagi untuk mengikuti beragam les ataupun kursus tambahan. 

PR dianggap membebani siswa karena dianggap bukan hanya membuat siswa tertekan dan tersiksa saat mengingatnya, apalagi mengerjakannya, namun juga orangtuanya. Terutama bagi siswa yang mengikuti sekolah lima hari, berangkat pagi dan pulang sore. Namun disisi lain, hal ini mengundang perdebatan bagi mereka yang pro PR, sebab mereka menganggap Sabtu dan Minggu adalah waktu tepat untuk mengerjakannya. Hingga yang kontra pun kembali menimpali bahwa dua hari itu untuk istirahat, waktu untuk keluarga, jangan sampai membuat bukan hanya anak yang stres namun orangtuanya.

Kini dapat dipahami bahwa tujuan peniadaan PR adalah agar bangsa ini tidak stres, terhindari dari beban berlebihan dan tekanan. Sehingga semua pihak dituntut dapat berpikir dengan jernih dan memikirkan dampak positif dan negatifnya. Bagaimana meskipun tanpa PR anak bangsa tetap cerdas dan dunia pendidikan kian maju, sehingga kian harum di kancah internasional.

Tampaknya hidup tenang, bebas tekanan dan tidak stres adalah kunci keberhasilan pendidikan, seperti di Finlandia sebagai barometer pendidikan dunia. Orangtua tenang, anak-anaknya tenang, sehingga pendidikan dapat dicerna dengan baik. Mungkinkah Indonesia akan menyaingi Finlandia? Semoga.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun