Siswa menganggap PR ketinggalan zaman
Di zaman generasi sekarang ini, terutama gen Z, mereka teramat dekat dengan gawai dan gadgetnya. Sedemikian dekatnya sehingga ketika dicoba dijauhkan, maka akan menjadi tekananan psikologis bagi kehidupannya, yang kerap disebut nomophobia.
Nomophobia sebagai suatu keadaan traumatis, ketakutan saat dijauhkan dari handphone membuat anak-anak memiliki ketergantungan tinggi pada gawainya sehingga sulit dipisahkan. Sehingga ketika mereka harus mengerjakan PR, mereka merasa telah dipisahkan dari dunianya.
Bukan hanya orang dewasa, anak-anakpun juga dapat mngalami kelelahan. Kelelahan fisik karena bermain di sekolah, mengalami pembullian, atau diterpa permasalahan yang dirahasiakan, dan sebagainya.
Kelelahan jiwa raga yang dialami, apalagi bila sekolah menerapkan full day school, belajar hingga sore hari, tentu bisa kita bayangkan kelelahan sang anak sesampai di rumah. Apalagi bila anak sudah dituntut mencari penghasilan sendiri karena keadaan orangtua, kelelahan yang berlipat. Lalu kapan waktu mengerjakan PR?
Pro kontra PR dalam penerapan  kurikulum terbaru
Tidak semua orang menyukai PR, apakah itu orangtua murid atau justru anak-anaknya sendiri. Berbagai faktor penyebab, diantaranya kelelahanlah yang paling mendominasi hal tersebut.
Di saat silam sebelum dikenal hak asasi manusia (HAM), demikian juga hak anak belum diperkenalkan secara masif seperti sekarang, PR digambarkan sebagai sesuatu yang harus dikerjakan, tak ada yang berhak menolak. Sehingga meskipun siswa menganggap hal tersebut sebagai momok yang menakutkan, toh tetap harus dijalani.Â
PR sebagai sesuatu yang harus dijalani bukanlah sesuatu proses tanpa tekanan, hal tersebut menggerus mental siswa. Saat telah lelah pulang sekolah dengan segala macam tugas, belum lagi beban mental ketika ada konflik dengan teman, sampai di rumah harus menghadapi PR beragam. Bukan hanya dari satu mapel, namun dari beberapa mapel.
Orangtua yang diharapkan mampu membantu kesulitannya, justru pulang dalam kondisi kelelahan, atau bahkan mungkin pulang larut malam di saat anak sudah tidur. Bisa dibayangkan, ketika anak bangun keesokan harinya, tentu saja sudah harus buru-buru kembali berangkat sekolah, sedangkan orangtua juga sibuk menyiapkan segala sesuatu tanpa sempat memeriksa buku-buku anaknya karena tak ada waktu lagi dan harus kembali bekerja seperti biasa. Sehingga sewaktu anak sampai di sekolah, berbagai hukuman menanti dari beberapa mapel yang pekerjaan rumahnya tidak ia kerjakan.