Bukan hal mengejutkan bila tunjangan profesi guru selalu menjadi wacana terulang yang didengungkan untuk dihapus oleh pemerintah karena dianggap membebani anggaran negara, sementara disisi lain mutu pendidikan di negara ini tak ada peningkatan signifikan.Â
Isu krusial penghapusan tunjangan guru yang santer terdengar adalah akibat ketidakmampuan guru di Indonesia meningkatkan mutu pendidikan siswa-siswanya, padahal telah diberi uang lebih, berupa tunjangan profesi.
Di satu sisi memang tak bisa menyalahkan pemerintah tentang wacana penghapusan tunjangan profesi, sebab pemerintah merasa sebagai pemberi uang tambahan penghasilan. Namun disisi lain juga menimbulkan pertanyaan, mengapa pemerintah sedemikian tidak ikhlasnya meningkatkan penghasilan guru, sehingga selalu mengungkit-ungkit untuk menghapusnya?Â
Pemerintah telah beberapa kali mewacanakan hilangnya tunjangan profesi. Seperti pada tahun 2015, Kemendikbud ingin menghapuskan tunjangan profesi guru saat rapat bersama Komisi X DPR RI.Â
Kemudian tahun 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyebut bahwa besarnya tunjangan profesi dalam bentuk sertifikasi tidak mencerminkan kualitas pendidik, dan menganggap tunjangan profesi hanya membebani APBN. Bahkan pada tahun 2021, pemerintah berencana hanya memberikan tunjangan profesi kepada guru yang berprestasi.
Pemerintah menilai guru tidak becus meningkatkan mutu pendidikan padahal sudah diberi uang berlebih adalah dilihat dari ketidakmampuan pendidikan di Indonesia bersaing dengan pendidikan di luar negeri. Apalagi di era globalisasi, perdagangan bebas, mau tak mau pendidikan menjadi sebuah bisnis yang harus mampu menghasilkan nilai lebih.
Kesalahan besar munculnya sejumlah pasal kontroversial dalam RUU Sisdiknas diduga akibat tidak dilibatkannya guru dalam proses penyusunannya. Padahal, para guru dan dosen adalah tulang punggung utama sistem pendidikan di Indonesia, yang terjun langsung di lapangan, berbeda dengan pembuat RUU yang kurang memahami situasi lingkungan tempat guru dan dosen mempraktekkan ilmunya. Akibatnya muncullah RUU yang terkesan diam-diam, terburu-buru, dan tidak transparan.
Dari hal ini kita akhirnya mengetahui bahwa Omnibus Law juga merangsek dalam dunia pendidikan. Selama sekian waktu kita selalu beranggapan bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya berimbas pada buruh dan sektor-sektor perekonomian. Kini setelah kita cermati ternyata berimbas pada dunia pendidikan di Indonesia.Â
Menimbulkan pertanyaan, mampukah pendidik di Indonesia bersaing dengan pendidik dari luar negeri? Mungkinkah hal itu yang menjadi sumber kegelisahan pemerintah. Sebab seperti persaingan dalam dunia perburuhan, bahwa tenaga kerja dari luar negeri banyak merangsek masuk ke negara kita, maka dengan disahkannya Omnibus Law, demikian juga yang akan terjadi pada dunia pendidikan.Â
Omnibus Law membuka peluang lebar bagi pendidik luar negeri untuk masuk dan mencari pekerjaan di Indonesia, yang dikhawatirkan adalah jika mereka dianggap lebih bermutu, maka lama kelamaan akan bisa menggeser pendidik-pendidik yang justru anak bangsa sendiri.
Di era perdagangan bebas, apalagi ditambah adanya UU Ketenagakerjaan yang baru memang membuka peluang globalisasi pekerjaan secara luas, siapa bermutu, siapa cepat, siapa mampu bersaing, dialah yang menjadi pemenangnya. Tak dapat dipungkiri, hal itulah yang akan terjadi.