Negara kita tentunya harus benar-benar konsisten menjaga netralitas karena tak memiliki nuklir. Tanpa harus diperdebatkan, nuklir dengan banyak dampak negatifnya membuat negara kita memanfaatkan nuklir hanya untuk kepentingan tekhnologi dan pengetahuan. Terbukti dampak negatif dari nuklir, hingga Jerman telah lama meninggalkannya. Bahkan berita bocornya Chernobyl di Ukraina, yang hingga saat ini masih memiliki radiasi tinggi.
India, meskipun dari segi ekonomi dinilai ngos-ngosan, namun dari segi persenjataan, Â sepertinya negara Brahmana ini tidak mau kalah dengan negara lain, terutama Pakistan, dalam hal kepemilikan nuklir.
Jika India tidak mau kalah, apa tah lagi negara-negara besar yang sudah mapan. Sebagai cikal bakal pemula kepemilikan nuklir, pastinya memiliki nuklir lebih banyak demi ambisi besar menstabilkan dunia. Terutama bagi negara yang memiliki kecenderungan membentuk blok ataupun sekutu, memiliki nuklir adalah suatu keharusan sebelum mati kutu.
Meskipun Perang Dunia Dua telah usai, dan kabarnya dunia telah damai, tapi toh dunia tetap berada dalam sikap blok yang berbeda. Amerika dengan kekuatan sekutu terbesar pastinya berdiri di atas angin dengan tergulungnya blok timur Kremlin di masa lalu. Namun saat ini, AS sepertinya paranoid berhadapan dengan negara-negara yang dianggap setali tiga uang dengan blok Timur, yakni China, Rusia, Korea Utara, dan Iran.
Tak ada negara yang berani melawan kebijakan AS dan sekutu-sekutunya, sebab jika  berani, maka akan dikeroyok beramai-ramai. Siapa sih yang berani melawan Amrik? Berani melawan, berarti berani menghadapi konsekwensinya, entah dipropaganda, diembargo, dan sebagainya. Kuba adalah salah satu contoh negara yang ngos-ngosan dan miskin karena hukuman AS.  Â
Namun akan beda jauh perlakuan dan sikap jika menjadi sekutu AS, apalagi anak kesayangan. Misalnya Israel, tentunya tak akan ada embargo dan kekejaman propaganda, meskipun melakukan kejahatan kemanusiaan genosida di Palestina.Â
AS dan sekutu-sekutunya memang sedang berada di atas angin setelah jatuhnya Uni Soviet di era komunisnya. Namun, seandainya pun saat ini yang memenangkan adalah blok timur dan konco-konconya, tak menutup kemungkinan perlakuan sewenang-wenang juga bisa didapatkan warga dunia, bahkan bisa jadi lebih parah dari AS dan sekutunya. Contoh paling mudah adalah kejamnya perlakuan China terhadap suku Uighur, demikian juga perlakuan Rusia terhadap aktivis Alexein Navalni setelah diekstradisi kembali ke negaranya, ataupun bengisnya perlakuan Kim Jong Un di Korea Utara terhadap pamannya sendiri, hanya karena ketakutan takhtanya raib.
Tanpa harus memuja AS dan konco-konconya, sebab tak semua yang mereka lakukan positif, namun masih ada sedikit sisi kemanusiaan yang mereka miliki, mungkin karena mereka lebih memahami Hak asasi manusia (HAM) bila dibandingkan dengan China, Korea Utara, dan negara penganut komunis lainnya.
Belitan harta, tahta, dan wanita Putin
Â
Yang menjadi korban terbesar dari peperangan adalah wanita, anak-anak, dan kaum lanjut usia. Â Jika wanita mungkin masih dianggap tangguh dan kadang berpartisipasi dalam perang, namun anak-anak dan orang lanjut usia, mereka dipaksa kehilangan rumah, kelaparan, kedinginan di tempat pengungsian, dan tak jelas harus kemana.