Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menang Tawuran? Pahlawan Kesiangan Penyandang Aib

10 November 2021   07:24 Diperbarui: 10 November 2021   07:27 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi pemenang tawuran (pic: lpmhayamwuruk.org)

Masih doyan tawuran? Bersiaplah menjadi pahlawan kesiangan penyandang aib yang akan sangat memalukan bila disandingkan dengan perjuangan Bung Tomo dan pahlawan-pahlawan Indonesia lainnya 

Tak dapat dipungkiri bahwa Hari Pahlawan sangat berkaitan erat dengan Sumpah Pemuda, sebab tanpa adanya persatuan pemuda-pemuda Indonesia di tahun 1928, sudah pasti kemerdekaan yang telah diraih di 17 Agustus 1945 hanyalah sebuah impian, mustahil akan terwujud seperti sekarang ini.

Pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan telah terbukti dengan kemerdekaan yang kita nikmati, hal ini menunjukkan kemerdekaan tidak bisa diraih hanya dengan sentimen kesukuan, namun diperlukan peleburan jiwa kebangsaan.

Pecah belah dan jajahlah

Adanya banyak perkumpulan sebelum 1928, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera dan lainnya, menunjukkan bahwa kala itu para pemuda negara kita masih berjibaku dalam kesukuan.  

Berkat kemurahan Tuhan dengan dikaruniakannya sebuah  pemikiran cerdas berwawasan ke masa depan kepada pemuda pemudi Indonesia di 1928, akhirnya terbersitlah keinginan untuk bersatu dari pemuda pelajar seluruh negara kita, hingga membentuk satu perkumpulan pemuda yang betul-betul tidak berpijak hanya pada keegoisan satu daerah semata. Sebuah persatuan yang dilebur melalui kesamaan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air, Indonesia.

Persatuan yang dilandasi kesamaan nasib sebagai pemuda yang ditindas kolonialisme telah memunculkan tekat untuk bersatu, ditambah lagi dengan berkaca dari seluruh pengalaman pahlawan negara kita kala itu yang selalu gagal mewujudkan kemerdekaan karena berjuang sendiri-sendiri. Kelicikan penjajah dengan politik "devide et impera" (pecah belah dan jajahlah) hampir selalu sukses membuat perjuangan bangsa kita amburadul, belum lagi aksi "tipu-tipu" yang merupakan ciri khas kelicikan bangsa kolonial Belanda.

Tak terhitung berapa banyak jumlah pahlawan yang masuk dalam perangkap aksi tipu-tipu para serigala kolonial. Salah satunya adalah Pahlawan Diponegoro yang dijebloskan dalam penjara dan dibuang ke pulau nan jauh, padahal dalam tahap perundingan, ajakan berunding hanyalah sebuah tipuan agar dapat memancing sang pangeran ke dalam jebakan. Masih banyak lagi pahlawan-pahlawan lainnya yang tak terhitung jumlahnya, terperosok jatuh dalam kelicikan serigala kolonial.

Timbulnya kesadaran para pemuda Indonesia untuk membentuk organisasi-organisasi, meskipun hanya dalam bentuk kedaerahan, tetap patut diapresiasi, karena telah ada kesadaran bersatu di tengah kezaliman penjajah yang tak rela bangsa kita pintar. Sebab sudah bisa ditebak kalau bangsa kita pintar maka akan sangat mudah untuk menjungkirbalikkan kelaliman para penjajah.

Bahkan setelah pernyataan kemerdekaan di 17 Agustus 1945, ternyata belum menyurutkan keinginan Belanda untuk kembali menancapkan kuku penjajahan di negeri ini. Dengan bantuan konco-konconya, yang sudah pasti bisa ditebak bahwa penjajah adalah makhluk penakut yang sangat suka keroyokan, Belanda ingin menguasai kembali negara ini. 

Perang dengan bangsa sendiri

Surabaya sebagai sasaran yang paling diincar, membuat Belanda beserta antek-anteknya memaksa rakyat daerah setempat untuk menyerahkan diri, dengan beragam ancaman pembumihangusan dari udara, darat, dan laut.

Rakyat Surabaya yang sangat terkenal dengan jiwa pemberaninya melawan sampai titik darah penghabisan. Perlawanan yang dimotori oleh Bung  Tomo sangat terkenal dengan komando takbirnya demi membakar semangat rakyat Surabaya, dan hal itu terbukti ampuh dengan tewasnya Mallaby.

Semangat para pahlawan yang gegap gempita saat mempertahankan seluruh wilayah Indonesia dari keinginan bercokolnya kembali para penjajah tak sejalan dengan keadaan yang ada saat ini. Jika di jaman perjuangan meraih kemerdekaan, pahlawan  berusaha merebut tanah air dari kekuasaan penjajah, kini perjuangan di masa kemerdekaan saat ini, justru malah perang melawan bangsa sendiri demi merebut wilayah dan kekuasaan yang diinginkan.

Salah satu contoh termudah berperang dengan bangsa sendiri adalahi tawuran. Jika dipikirkan secara jernih, tawuran dipicu oleh sikap egoisme dan ingin menang sendiri, merupakan penjajahan model baru yang memicu perpecahan antar anak bangsa. Egoisme timbul karena dibumbui keinginan membela wilayah daerahnya, suku, dan kelompoknya sendiri, sangat pas menyuburkan bibit buruk sentimen primordialisme.

Di era penjajahan, bangsa kita tak pernah mampu mencapai kemerdekaan karena perjuangan hanya berdasar suku dan kedaerahan yang kuat. Tentunya kita ingat tentang Jong Java, dimana anggotanya adalah orang Jawa semua, demikian juga Jong Sumatera, Jong Ambon, dan masih banyak lagi. Hingga kemudian kesadaran untuk bersatu membuncah dngan kuat dari seluruh pemuda pelajar Indonesia, hingga melahirkan kongres Sumpah Pemuda yang menyatukan bangsa kita.

Di zaman kemerdekaan seperti sekarang, tragisnya justru yang sering kita tonton adalah tawuran, entah antar warga, yang notabene dewasa, yang seharusnya menjadi panutan dan contoh terbaik bagi generasi penerus bangsa, pada kenyataannya malah mengedepankan emosi daripada diskusi. Keinginan mempertahankan ego, kehormatan, serta wilayah kekuasaan menunjukkan sifat-sifat angkara murka yang lebih mementingkan kepentingan individu, kelompok, dan sepihak, dibanding kepentingan bangsa serta negara

Saat mereka yang disebut dewasa memberikan contoh emosi dan perilaku yang buruk, maka sudah pasti generasi penerus yang sedang bingung mencari identitas menyandarkan impiannya dengan salah kaprah meniru sosok dewasa yang doyan tawuran sebagai panutannya. Sehingga tidak mengherankan bila bangsa ini, mulai dari yang dewasa, hingga anak-anak doyan sekali tawuran dan keroyokan.

Seperti saat beberapa waktu lalu terjadi kasus pengeroyokan yang menimpa seorang murid sekolah dasar (SD) di Musi Rawas, Sumatera Selatan. Bocah berusia 12 tahun itu diduga dikeroyok oleh teman-teman sekolahnya hingga terluka parah dan koma. Sebagai siswa baru yang harusnya disambut dengan kehangatan dan keakraban karena belum memahami aturan di sekolah barunya, justru bocah kelas tiga ini  disambut cekcok oleh 3 siswa senior dan seorang adik kelas, sungguh mengenaskan!

Egoisme dan primordialisme

Belum lagi dengan banyaknya suguhan tawuran yang berseliweran di televisi. Ketersinggungan hanya karena merasa harga diri diinjak-injak, kepentingan individu dan kelompok dirampas, memicu pemikiran sesaat, berakibat tidak mengedepankan musyawarah. Padahal Indonesia dengan Demokrasi Pancasilanya mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

Akibatnya kita terjebak dalam penjajahan terhadap bangsa kita sendiri yang berwujud:

Primordialisme berlebihan

yaitu kecintaan terlalu besar terhadap suku, hingga menimbulkan sikap merendahkan dan berpikir negatif terhadap suku lain.

Egoisme

Keinginan diakui tentang segalanya, membuat terlalu berlebihan dalam menanggapi berita yang belum tentu benar, berakibat mudah mempercayai berita hoaks tanpa pemikiran mendalam, menyulut emosi yang menyulut solidaritas asal kelompok, jika ditanggapi secara negatif akan berujung tawuran.

Sisi positif kecintaan yang berlebih pada suku atau kelompok adalah keinginan untuk kompak bersatu demi membela kehormatan suku dan kepentingan kelompok.

Namun di balik hal positif ini tersimpan banyak akibat negatifnya, yang dapat memicu bom waktu tawuran dalam skala lebih besar lagi, berupa kerusuhan dan ketidakstabilan kondisi negara, bahkan lebih gawatnya dapat berujung genosida, seperti kerusuhan Dayak-Madura beberapa waktu lalu. Bahkan di belahan dunia lain juga pernah mengalami hal serupa, misalnya pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.

Pelaku tawuran dewasa sejatinya berjiwa bocah

Diperlukan pemikiran bijak dan jiwa-jiwa dewasa saat menghadapi suatu permasalahan, yang tidak mengedepankan otot, kekuasaan, dan kecintaan berlebih pada segala yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan aliran kepercayaan (SARA). Sungguh salah kaprah yang berlebihan jika kebencian terhadap kelompok lain harus dijawab dengan adu fisik dan hal-hal anarkhis, sebab hal itu bukanlah jiwa kepahlawanan yang sesungguhnya. 

Pahlawan bukanlah yang menang di atas penderitaan bangsa sendiri, demikian juga dengan tawuran, yang diklaim sebagai kemenangan sepihak, padahal sesungguhnya hanyalah kemenangan di atas penderitaan bangsa sendiri. 

Setali tiga uang dengan yang terjadi di Timur tengah, perang saudara di Irak, Libya, sesungguhnya bukanlah sebuah kemenangan, sebab menghancurkan sesama saudara bangsa. Lalu siapa yang telah menang? Yang telah pongah memenangkan adalah mereka yang sukses mengadudomba dan memecah belah.

Tawuran yang selalu terjadi di negeri ini, sesungguhnya tidak menghasilkan pemenang sejati, sebab sejatinya sama-sama kalah, kalah dalam mengalahkan hawa nafsu, kalah dalam menundukkan emosi, kalah dalam menyerap informasi yang benar, kalah melawan hoaks dan kebencian. Pemenangnya sudah pasti adalah mereka yang berhasil mengobarkan kebencian dan perpecahbelahan bangsa ini.

Tidak ada istilah bijaksana bagi pelaku tawuran. Mungkin pelakunya adalah orang-orang dewasa, dewasa dalam bentuk tubuh dan usia, namun dalam kematangan jiwa, mental, kepribadian, dan emosional, mereka hanyalah anak-anak yang terbalut tubuh dewasa. Demikian juga para remaja dan anak sekolah yang ikut terjebak melakukan tawuran, mereka para bocah yang tidak matang dalam pemikiran, namun berkelindan dalam plagiat orang orang bertubuh dewasa yang kekanak kanakan.

Diperlukan mental-mental dewasa dengan pemikiran bijaksana dalam mengambil tindakan di negeri ini. Jika hal itu dapat diwujudkan, maka akan damai dan sejahteralah Indonesia karena keselamatan berpikir tanpa harus ngeyel menjadi pahlawan kesiangan.

Masih doyan tawuran? Bersiaplah menjadi pahlawan kesiangan yang akan sangat memalukan dan menyandang aib bila disandingkan dengan perjuangan Bung Tomo, Bung Hatta, dan Bung Karno, dan pahlawan-pahlawan Indonesia lainnya. Mereka membela dan memperjuangkan negeri ini hingga titik darah penghabisan dengan berani melawan penjajah, bukan dengan tawuran melawan bangsa sendiri.

Semoga setelah 10 November hari ini, pejuangan pahlawan mempertahankan kemerdekaan Indonesia kembali menjadi inspirasi perjuangan kita semua, Merdeka! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun