Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Pancasila Menjadi Korban Pembenturan

19 Juni 2021   13:51 Diperbarui: 19 Juni 2021   14:03 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah bukan waktunya buang waktu gontok-gontokan lagi tentang dasar negara, sebab hal itu hanya akan membuat bangsa kita jalan di tempat tanpa kemajuan yang berarti

Setelah memasuki era kemerdekaan, bangsa Indonesia tenang menjalani kehidupan bernegara dalam persatuan dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara yang sah karena merupakan satu kesepakatan bersama, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4. 

Meski kemudian dalam perjalanannya mengalami berbagai upaya pendongkelan, seperti saat pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965 yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan komunis, namun selalu gagal karena tingginya semangat Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda yang mendarah daging pada bangsa ini.

Kesepakatan bersama tentang rumusan dasar negara

Merunut saat awal perumusan dasar negara belum disepakati, memang sempat terjadi perdebatan yang panjang.

Masih lekat dalam sejarah, awal pertama kali dasar negara dicetuskan pada tanggal 29 Mei 1945, yang dikemukakan secara bergantian oleh Soekarno, Soepomo dan Moh. Yamin.

Rumusan dasar negara Soekarno yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan yang Maha Esa, yang kemudian disebut Pancasila.

Sedangkan rumusan Soepomo adalah Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, Keadilan rakyat.

Sementara rumusan Mohamad Yamin secara lisan yaitu: Peri kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri ketuhanan, Peri kerakyatan, Kesejahteraan rakyat.

Sedangkan rumusan dasar negara yang diajukan secara tertulis, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Persatuan Indonesia, Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Bukan hal yang mudah untuk menyatukan  tiga pemikiran dasar negara dati tiga tokoh bangsa tersebut, ditambah dengan usulan dan perdebatan dari anggota sidang BPUPKI yang lainnya. Namun dengan itikad baik yang dilandasi rasa persatuan, kesatuan, kekeluargaan, serta musyawarah mufakat sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang sangat mulia ini, maka dicapailah kesepakatan bersama tentang rumusan dasar negara  Pancasila seperti yang ada saat sekarang ini.

Pembenturan Pancasila dengan Islam

Tercatat kuat dalam sejarah, saat sila kesatu Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta masih berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,  hingga memicu perdebatan bagi saudara-saudara kita di wilayah Indonesia bagian Timur, yang menginginkan kalimat menjalankan syariat Islam dihilangkan sebab perbedaan keyakinan. 

Alhasil, dengan kebesaran hati saudara-saudara kita yang beragama Islam akhirnya menyetujui keinginan itu, hingga akhirnya sila kesatu hanya berbunyi Ketuhanan Yang Mahq Esa.

Di zaman reformasi sekarang ini, kita sadari terdapat upaya terselubung yang berusaha membenturkan Pancasila dengan umat Islam, seakan terkesan mereka menolak dan menentangnya, padahal peran umat Islam saat perumusan dasar negara sangat jelas terlihat, termasuk jiwa besar mereka menyetujui penghilangan kalimat "menjalankan syariat Islam bagi pemelik-pemeliknya" demi menghargai kebhinekaan berdasar semangat persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa.

Satu hal yang patut menjadi catatan dan perenungan bersama bagi bangsa ini, adalah saat soal tes TWK untuk pegawai KPK beberapa waktu lalu bocor ke publik, yang salah satu diantaranya yaitu tentang pilihan  AlQuran atau Pancasila, sungguh sebuah pertanyaan yang ambigu, terkesan mengadu dan memepertentangkan Islam dengan Pancasila, padahal merunut sejarahnya, perumusan dan pengesahan Pancasila tidak lepas dari peranan  besar umat Islam di tanah air.

Pertanyaan ambigu seperti ini, hampir menyerupai peribahasa tentang buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah yang mati, sebuah pilihan yang menjebak, melukai, menyakitkan, dan menyulitkan.

Pembenturan Pancasila akibat kurang memahami sejarah

Di saat seluruh negara berpacu  agar negaranya mengalami kemajuan pesat dalam segala hal, sudah bukan waktunya kita buang waktu gontok-gontokan lagi tentang dasar negara, sebab hal itu hanya akan membuat bangsa kita jalan di tempat tanpa kemajuan yang berarti.

Kini sudah waktunya melangkah maju, Pancasila tetaplah dasar negara yang tak perlu diungkit-ungkit lagi karena telah disepakati bersama. Sedangkan Agama tetaplah sebagai sebuah keyakinan yang wajib ditaati dan dijalankan. Pembenturan yang dilakukan hanyalah menguras energi, padahal energi itu bisa digunakan untuk memajukan bangsa ini seribu langkah ke depan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.

Penyebab Pancasila kembali menjadi bahan pertentangan dan pembenturan, bisa karena kesalahpahaman akibat kurang memahami sejarah, sehingga menganggao Pnacasila sebagai sesuatu yang dipaksakan, apalagi kini setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila, yang dianggap ide sepihak Soekarno.

Padahal, maksud 1 Juni diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila adalah karena di tanggal tersebut, Soekarno mencetuskan istilah Pancasila terhadap dasar negara, hanya istilah penyebutan, sedangkan bunyi Pancasilanya pun adalah sebagaimana yang tercantum secara sah dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, dan bukanlah seperti bunyi dasar negara yang disajikan Soekarno saat sidang BPUPKI. Sehingga dapat disimpulkan, bunyi Pancasila yang sekarang ini adalah intisari dari semua usulan dasar negara yang dikemukakan tiga tokoh, ditambah usulan dan masukan dari semua putra-putra terbaik bangsa yang hadir saat sidang perumusan dasar negara.

Entah hanya sebuah kebetulan saja, jika disaat era pemerintahan Jokowi kelahiran istilah Pancasila diperingati secara resmi oleh negara. Meskipun kemudian hal ini memicu perdebatan publik karena Jokowi merupakan kader PDI-P pimpinan Megawati, yang merupakan anak Soekarno,.

Kini kita tahu betapa pentingnya mempelajari dan menelusuri sejarah, agar tidak mudah dikelabui para penyebar hoaks yang berupaya memutarbalikkan sejarah dengan mengorbankan mereka yang tidak paham sejarah demi ambisi kepentingan politik semata.

Negara ini tidak terbentuk dalam sehari semalam, ada cerita panjang sejarah di dalamnya, mulai dari penjajahan Belanda, Jepang, hingga perselisihan antar bangsa sendiri. Sejarah telah dilalui dengan darah dan air mata, masihkah ingin menghancurkan keutuhan  bangsa ini dengan menyimpangkan sejarah?

Bukan hal bijak jika hanya gara-gara pengaruh budaya dan politik dari luar negeri, hingga kemudian kita melupakan budaya luhur bangsa kita yang mengedepankan musyawarah mufakat.

Sudah seharusnya filter budaya kita makin kuat, bukannya malah makin bocor, agar kemerdekaan yang sudah susah payah diperjuangkan tidak hancur lebur akibat dahsyatnya penjajahan model baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun