Diktum Fiksimini 13: Di ujung kisahnya: kita seperti mendapati teka-teki abadi yang tak bertepi.
Diktum Fiksimini 14: Pelan-pelan kau menyadari, ia sebutir debu yang mampu meledakkan semesta.
Diktum Fiksimini terakhir: Lupakan semua diktum itu. Mulailah menulis fiksimini!
Bagi saya, 14 Diktum Fiksimini di atas adalah sebagai tolok ukur bagaimana kita menulis fiksimini. Tapi lebih penting dari itu semua, ada diktum fiksimini terakhir, yaitu:Â Lupakan semua diktum itu. Mulailah menulis fiksimini! Nah, dari sini yang luar biasa. Kita dituntut untuk menulis apa saja. Menulis bebas, namun terukur.
Informasi dari tulisan Agus Noor di atas, pertanda awal saya kenal fiksimini di twitter. Kronologisnya sederhana, saya suka blogwalking dan saya suka twitteran, ketemu deh! Dari situlah, lambat laun, akhirnya saya benar-benar keranjingan fiksimini. Coba saja cek twitter saya @faliqfaliq, di sana kau pasti menemukan bagaimana keranjingannya saya terhadap fiksimini. Satu hari saja, saya membuat 30 twit, padahal saya banyak kesibukan. Karena forum ini benar-benar forum untuk latihan menulis, sekaligus latihan bagaimana menulis dengan baik, meskipun dalam bentuk fiksimini. Di sini juga kita akan banyak teman, tentunya teman yang peduli dengan pengetahuan. Jadi, saya sama sekali tidak canggung untuk berpartisipasi dalam fiksimini, karena saya sudah jatuh hati. Mau coba? Silakan buat twitter dulu, lalu follow @fiksimini, seperti saya.
Selengkapnya bisa dibaca di huruf liar - Catatan Jurnal Seorang Pembelajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H