Mohon tunggu...
Faldy Rizky Susanto
Faldy Rizky Susanto Mohon Tunggu... Freelancer - Penambang Harapan

Mantan Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Periode 2014-2016)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Obesitas Regulasi dan Lahirnya Omnibus Law di Indonesia

6 Februari 2020   00:56 Diperbarui: 6 Februari 2020   02:30 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Faldy R.

Banyaknya kontradiksi dan disharmoni perundang-undangan baik secara horizontal maupun vertikal menjadi latar belakang dibentuk nya transplantasi yang bernama omnibus law.

Kalimat sakral yang kerapkali kita dengar bahwa "Indonesia ialah negara hukum" bukan sebuah anomali semata, ia fakta yang yang tak pernah bisa terbantahkan. Penopang negara hukum ialah peraturan perundangan yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa.

Peraturan perundangan dibuat sebagai instrumen mencapai kesejahteraan bersama. Mestinya, semakin banyak jumlah peraturan perundangan kian sejahtera negeri ini. Fakta bicara lain, regulasi yang tambun malah membuat negeri ini lamban bergerak menggapai kesejahteraan rakyat.

Akhir-akhir ini publik gencar membicarakan omnibus law, implementasi konsep omnibus law dalam peraturan perundangan ini sebenarnya lebih mengarah pada tradisi Anglo-Saxon/Common Law.

Secara harfiah omnibus berasal dari bahasa Latin yang artinya "for everything" rujukan definisi ini tepat jika di ibaratkan pepatah "sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui".

Banyaknya kontradiksi dan disharmoni perundang-undangan baik secara horizontal maupun vertikal menjadi latar belakang dibentuk nya transplantasi yang bernama omnibus law. Sistem perundang-undangan alih-alih ringkas, padat, dan jelas, malah menderita 'obesitas regulasi' sehingga lamban bergerak memberi legitimasi.

Omnibus law bukanlah "sabda raja", secara konseptual, omnibus law bertujuan menata konflik norma dalam peraturan perundangan-undangan.

Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini Indonesia memiliki setidaknya 62.000 peraturan, yang terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:

  1. Bleidsregel/peraturan kebijakan.
  2. Beschikking/keputusan pejabat tata usaha negara.
  3. Regeling/peraturan.

Jenis peraturan itu diproduksi oleh DPR, Presiden, Kementerian hingga Pemerintah Daerah. Hal tersebut berakibat pada lunturnya marwah kepastian hukum di Indonesia.

Berdasarkan laporan Doing Business in Asia (2016), Indonesia tercatat sebagai salah satu negara di Asia yang sistem hukum dan perundang-undangannya terkenal sangat 'birokratis' sekaligus 'koruptif' bagi para investor lokal terutama asing. 

Pada hakikatnya, istilah hukum tersebut belakangan ini marak diperbincangkan hingga menjadi obrolan dalam warung kopi, omnibus sebenarnya tak lain hanyalah sebuah UU yang secara de jure dan de facto tidak menjadi sebuah hierarki baru dalam tata urutan perundang-undangan yang berlaku, hanya saja penyusunan omnibus law cenderung berbiaya mahal dan tidak sederhana karena substansinya multisektor dan dipersiapkan untuk super power.

Namun agar tak mudah terpukau dengan istilah baru, penting untuk mendudukkan kembali omnibus law di Indonesia ini pada tempat asalnya: ia adalah undang-undang. Penekanan bahwa omnibus law adalah undang-undang, bukanlah dalam rangka mengecilkan persoalan omnibus ini. Walau berstatus sama seperti UU lainnya, tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa omnibus law merupakan pendekatan khusus yang memiliki ciri dan khas nya sendiri, hal yang khusus dari pendekatan penyusunan omnibus law ini adalah substansi materinya dipersiapkan untuk menggabungkan berbagai isu lintas sektor, lintas peraturan, mengubah, mengatur ulang, ataupun mencabut kumpulan pasal yang dianggap menghambat atau tidak selaras untuk tujuannya.

Guna mencipta 'efektivitas' perundangan, pemerintah menghadirkan transplantasi bernama omnibus law. Pemerintah dalam Prolegnas setidaknya akan menggagas 5 (lima) Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU UMKN, RUU Kefarmasian, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Ibu Kota Negara. 

Kelima RUU di atas tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks paradigma politik ekonomi pembangunan yang menjadi prioritas pemerintah saat ini.

Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan telah memberi penegasan akan pentingnya efektivitas perundangan-undangan guna menunjang pembangunan dan arus investasi di Indonesia.

Desakan penuntasan omnibus law ini dipertegas lagi oleh Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa dirinya akan "angkat dua jempol" jika DPR bisa menyelesaikan omnibus law ini dalam kurun waktu 100 hari. Sinyal dari Presiden ini tentu tidak dapat dipandang remeh, mengingat bahwa komposisi kursi di DPR 2019-2024 lebih dari separuhnya diduduki oleh koalisi partai pendukung Pemerintah.

Model pendekatan omnibus ini pernah dipraktikkan di beberapa negara lain yang menganut sistem Anglo-Saxon/Common Law. 

Sebagai perbandingan, misalnya: Republik Irlandia adalah salah satu negara yang berhasil melakukan perampingan perundangan-undangan melalui omnibus law, di mana lebih dari 18.000 perundang-undangan berhasil dirampingkan. Dengan kata lain, omnibus law 'menimpa' undang-undang yang ingin diharmonisasikan, proses ini mirip dengan executive/legislative review perundang-undangan. 

Namun perlu digarisbawahi bahwa proses transplantasi hukum tidak selamanya berjalan lancar; karena ada konteks yuridis, politik, sosio dan ekonomi yang perlu diperhatikan dalam pembentukan nya. Dalam konteks yuridis, Tamanaha (1999) menyatakan bahwa sistem perundang-undangan setidaknya harus berimbang dalam dua aspek, yakni "efektivitas dan akuntabilitas". 

Dalam perspektif hukum dan masyarakat, hukum diletakkan dalam posisi dinamis yang dapat mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh anasir-anasir non-hukum, semisal politik, sosial, dan terlebih ekonomi. Tidak terkecuali dalam perundang-undangan, yang merupakan wujud normalisasi dari kebijakan-kebijakan kepentingan, sehingga pengaruh anasir non-hukum baik dalam proses perumusan norma sampai implementasi manifes terasa.

Dalam lintas sejarah negara-bangsa, aspek politik ekonomi tertulis dengan tinta emas peradaban sejarah konstitusi (hukum) negara-negara bangsa. Hal tersebut tergambar pada kajian hukum dan pembangunan (law and development) yang mencandra relasi saling topang dan saling isi antara hukum dan kepentingan ekonomi, yang terjadi dalam beberapa 'gelombang'.

Dalam 'gelombang pertama' negara bangsa yang bernapas ekonomi (merkantinisme), hukum modern dicipta untuk memberi kepastian hukum yang berfungsi menopang ekonomi industrial. Hukum sengaja dibuat kaku dan jelas dalam ayat kontrak bisnis dan dagang untuk 'menakuti' dan sekaligus 'menundukkan' pelaku dagang dan buruh. Dengan kata lain, hukum dipandang sebagai kekuatan yang memaksa sekaligus memanipulasi relasi dan perilaku ekonomi manusia agraris menuju manusia industrialis. Semua atas nama pembangunan industrialis.

Pada 'gelombang kedua' negara bangsa masih bernapas ekonomi, namun dengan modifikasi instrumentalis yang lebih canggih, dengan menggandeng dua kekuatan: kapitalis dan oligarki negara ketiga. Pasca runtuhnya Uni Soviet, neo-liberal didaku menjadi satu-satu jalan keselamatan ekonomi negara bangsa. Reformasi hukum berorientasi pada kebijakan non-intervensi negara pada pranata ekonomi lewat kebijakan privatisasi dan deregulasi. 

Dengan bergabungnya dua kekuatan ekonomi kapitalis dan politik oligarkis, daya rusak 'gelombang kedua' lebih sistemik sekaligus masif. Hukum dipandang hanya sebagai 'hamba' dari tuan kepentingan predatorik semata. 

Sedang dalam 'gelombang ketiga', perspektif hukum dan ekonomi mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai etik-transendental dan kemanusiaan universal yang tidak semata berorientasi pada keuntungan materiil, namun juga immaterial.

Paradigma pembangunan ini tidak bisa di lepaskan dari peran dan intervensi minimalis negara, postulat penting yang merupakan anti-tesis dari 'netralitas penuh' negara atas ekonomi khas neo-liberal maupun negara ekonomi merkantinisme klasik yang kaku.

Dari ketiga deskripsi 'gelombang' di atas, paradigma hukum yang saling berkelindan adalah legalistik dan instrumentalis, sama-sama meletakkan negara sebagai 'alat' atau 'instrumen'. Namun legalistik abai (atau pura-pura abai) terhadap kepentingan non-yuridis, sedangkan instrumentalis sangat kaya dengan kepentingan non-yuridis yang tentu dapat berdampak baik maupun buruk. Dengan meletakkan 'gelombang hukum-ekonomi' sebagai batu uji, dapat dianalisis, dalam 'gelombang' apa Indonesia akan berselancar lewat omnibus law.

Perundangan-undangan omnibus law dapat berperan efektif membabat halangan-halangan disharmonisasi dan konflik norma dalam perundang-undangan, namun di sisi lain juga memiliki legitimasi demokratis yang akuntabel lewat mekanisme uji publik dan partisipasi publik yang luas dan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. 

Guna menjamin prinsip kehati-hatian dalam perumusan perundangan-undangan, omnibus law harus dirumuskan dengan terlebih dulu melakukan upaya konsolidasi norma-norma, definisi-definisi konseptual, dan menetapkan subjek yang akan menjalankan undang-undang omnibus law tersebut.

Melalui transplantasi omnibus law harapannya Indonesia akan berselancar dalam 'gelombang' yang relatif aman, karena hukum masih berjangkar pada asas-asas perundang-undangan yang bersemangat rule of law, serta taat pada nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan yang berkelanjutan. 

Omnibus law perlu diadvokasi oleh seluruh elemen bangsa, dengan tetap kritis dalam perumusan dan implementasi. Perspektif kritikal terhadap perundang-undangan tetap harus dipupuk dan dikembangkan, semata karena hukum dibuat demi kesejahteraan manusia, bukan agar segelintir (baca: elite) sejahtera karena merekayasa hukum.

Bogor, 6 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun