Pada hakikatnya, istilah hukum tersebut belakangan ini marak diperbincangkan hingga menjadi obrolan dalam warung kopi, omnibus sebenarnya tak lain hanyalah sebuah UU yang secara de jure dan de facto tidak menjadi sebuah hierarki baru dalam tata urutan perundang-undangan yang berlaku, hanya saja penyusunan omnibus law cenderung berbiaya mahal dan tidak sederhana karena substansinya multisektor dan dipersiapkan untuk super power.
Namun agar tak mudah terpukau dengan istilah baru, penting untuk mendudukkan kembali omnibus law di Indonesia ini pada tempat asalnya: ia adalah undang-undang. Penekanan bahwa omnibus law adalah undang-undang, bukanlah dalam rangka mengecilkan persoalan omnibus ini. Walau berstatus sama seperti UU lainnya, tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa omnibus law merupakan pendekatan khusus yang memiliki ciri dan khas nya sendiri, hal yang khusus dari pendekatan penyusunan omnibus law ini adalah substansi materinya dipersiapkan untuk menggabungkan berbagai isu lintas sektor, lintas peraturan, mengubah, mengatur ulang, ataupun mencabut kumpulan pasal yang dianggap menghambat atau tidak selaras untuk tujuannya.
Guna mencipta 'efektivitas' perundangan, pemerintah menghadirkan transplantasi bernama omnibus law. Pemerintah dalam Prolegnas setidaknya akan menggagas 5 (lima) Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU UMKN, RUU Kefarmasian, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Ibu Kota Negara.Â
Kelima RUU di atas tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks paradigma politik ekonomi pembangunan yang menjadi prioritas pemerintah saat ini.
Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan telah memberi penegasan akan pentingnya efektivitas perundangan-undangan guna menunjang pembangunan dan arus investasi di Indonesia.
Desakan penuntasan omnibus law ini dipertegas lagi oleh Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa dirinya akan "angkat dua jempol" jika DPR bisa menyelesaikan omnibus law ini dalam kurun waktu 100 hari. Sinyal dari Presiden ini tentu tidak dapat dipandang remeh, mengingat bahwa komposisi kursi di DPR 2019-2024 lebih dari separuhnya diduduki oleh koalisi partai pendukung Pemerintah.
Model pendekatan omnibus ini pernah dipraktikkan di beberapa negara lain yang menganut sistem Anglo-Saxon/Common Law.Â
Sebagai perbandingan, misalnya: Republik Irlandia adalah salah satu negara yang berhasil melakukan perampingan perundangan-undangan melalui omnibus law, di mana lebih dari 18.000 perundang-undangan berhasil dirampingkan. Dengan kata lain, omnibus law 'menimpa' undang-undang yang ingin diharmonisasikan, proses ini mirip dengan executive/legislative review perundang-undangan.Â
Namun perlu digarisbawahi bahwa proses transplantasi hukum tidak selamanya berjalan lancar; karena ada konteks yuridis, politik, sosio dan ekonomi yang perlu diperhatikan dalam pembentukan nya. Dalam konteks yuridis, Tamanaha (1999) menyatakan bahwa sistem perundang-undangan setidaknya harus berimbang dalam dua aspek, yakni "efektivitas dan akuntabilitas".Â
Dalam perspektif hukum dan masyarakat, hukum diletakkan dalam posisi dinamis yang dapat mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh anasir-anasir non-hukum, semisal politik, sosial, dan terlebih ekonomi. Tidak terkecuali dalam perundang-undangan, yang merupakan wujud normalisasi dari kebijakan-kebijakan kepentingan, sehingga pengaruh anasir non-hukum baik dalam proses perumusan norma sampai implementasi manifes terasa.
Dalam lintas sejarah negara-bangsa, aspek politik ekonomi tertulis dengan tinta emas peradaban sejarah konstitusi (hukum) negara-negara bangsa. Hal tersebut tergambar pada kajian hukum dan pembangunan (law and development) yang mencandra relasi saling topang dan saling isi antara hukum dan kepentingan ekonomi, yang terjadi dalam beberapa 'gelombang'.